sejawat indonesia

Diagnosis Penyakit menggunakan Biomarker

Sel secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, secara konstan menyesuaikan struktur dan fungsinya untuk mengakomodasi perubahan kebutuhan serta stres ekstraseluler.  Ketika sel menghadapi stres fisiologis atau kondisi yang berpotesnsi menimbulkan jejas, sel dapat melakukan adaptasi.

 

Jika kemampuan adaptasi terlampaui atau stres eksternal terlalu berbahaya atau berlebihan, maka terjadilah jejas sel.  Sampai batas tertentu, jejas sel bersifat reversibel, dan sel dapat kembali ke kondisi awal yang stabil. Namun, jika stres terlalu berat, terjadi terus-menerus atau mendadak maka dapat menimbulkan jejas sel yang irreversibel yang berujung pada kematian sel.

 

Penyebab jejas sel sangat bervariasi, dari trauma fisik berat, seperti kecelakaan kendaraan bermotor, hingga defek gen tunggal yang menghasilkan enzim non fungsional pada suatu penyakit metabolik spesifik.

 

Kematian sel yang dapat mengakibatkan jejas pada organ dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis dan pencitraan. Namun, pada keadaan tertentu seperti pada kasus-kasus kegawatdaruratan yang membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat, pendekatan diagnosis dengan penggunaan biomarker sangat dianjurkan.

 

Keuntungan dalam penegakkan diagnosis dengan pendekatan biomarker, di antaranya:

  • Biomarker sering ditemukan dalam cairan tubuh yang dapat diakses menggunakan teknik minimal invasif.
  • Biomarker dapat memberikan ukuran yang objektif menggunakan instrumentasi biaya relatif rendah.
  • Konsentrasi biomarker digunakan untuk menyimpulkan tingkat keparahan cedera dan perkembangannya.
  • Biomarker memiliki potensi untuk memprediksi hasil atau dapat digunakan untuk deteksi dini cedera/infeksi sekunder.
  • Perubahan konsentrasi biomarker dapat digunakan untuk mengevaluasi kemanjuran pengobatan atau terapi eksperimental.

Biomarker molekuler adalah indikator cedera pada organ atau keadaan penyakit. Penanda ini biasanya memiliki konsentrasi tertinggi dalam organ yang terkena. Biomarker molekuler dapat berupa protein atau fragmen yang telah dibelah, protein pasca-translasi, protein termodifikasi, messengerRNA (mRNA) atau microRNA (miRNA).


Baca Juga:

Dua akurasi diagnostik yang paling sering dilaporkan dari biomarker adalah sensitivitas dan spesifisitas.

Biomarker untuk Traumatic Brain Injury

Biomarker untuk Traumatic Brain Injury (TBI), baik cairan serebrospinal (CSF) maupun serum/plasma, telah digunakan untuk penemuan dan validasi adanya kerusakan jaringan.

 

Sedangkan protein yang bersirkulasi seperti sitokin, kemokin, dan protein fase akut lainnya telah dilaporkan memiliki potensi diagnostik pada TBI terisolasi, jika terdapat cedera lain akan membahayakan spesifisitas ini. Penanda serum otak yang paling banyak dipelajari adalah S100, NSE, UCHL1, dan GFAP.


Biomarkers cedera paru-paru akut

Acute Lung Injury (ALI) dapat terjadi akibat pengaruh secara langsung, seperti: aspirasi, atelektasis, dan menghirup asap dan racun. Sementara ALI dapat terjadi dalam beberapa jam hingga beberapa hari dan berkontribusi signifikan terhadap morbiditas.

Pada beberapa kondisi, diagnosis pasien terbukti sulit untuk diprediksi perkembangannya secara akurat. Namun, beberapa biomarker yang menjanjikan telah diidentifikasi terkait dengan keparahan cedera dan berkorelasi dengan peningkatan kematian akibat cedera paru.

 

Glikoprotein yang disintesis oleh endotel sel, limfosit, dan makrofag, adhesi antar sel molekul-1 (ICAM-1) secara nyata meningkat dengan paparan sitokin proinflamasi seperti IL-1 dan TNF. Serumn tingkat ICAM-1 telah terbukti meningkat pada ALI, meskipun tidak dianggap sebagai penanda spesifik untuk cedera paru-paru.

 

Biomarker cedera pada hati

Hati merupakan organ abdomen yang paling sering mengalami cedera, dan cedera hati karena traumatis akut (tumpul atau tembus) menempati sekitar 5% pasien yang berada pada ruang gawat darurat.

 

Sistem klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk penilaian awal trauma hepar adalah skala American Association for the Surgery of Trauma, yang menilai cedera pada skala I hingga VI (I-subkapsular, tidak meluas) hematom <10cm2; VI-vaskular avulsi).

 

Banyak biomarker telah diperiksa kegunaannya dalam mendiagnosis cedera hati, termasuk yang biasa diuji seperti alanin dan aspartat aminotransferase (ALT dan AST, masing-masing), alkaline phosphatase (ALP), gamma glutamyl transferase (GGT), dan bilirubin.

 

Sayangnya, tidak satu pun dari biomarker ini yang terbukti secara individual sensitif atau cukup spesifik untuk mendiagnosis cedera hati, dan oleh karena itu sering diperiksa dalam bentuk kombinasi. Dari jumlah tersebut, ALT dan AST telah banyak digunakan sebagai indikator kerusakan hati.

 

Biomarker cedera pada ginjal

Trauma tumpul (misalnya kecelakaan kendaraan bermotor) menyumbang 80-90% dari cedera ginjal dan trauma tembus (misalnya tembakan senjata) terhitung 10%. Pemeriksaan histologis dianggap sebagai standar emas untuk evaluasi kerusakan ginjal.

 

Namun, karena secara histologis evaluasinya invasif, memakan waktu, dan mahal, biomarker pengganti yang menilai fungsi ginjal sering digunakan untuk mendeteksi cedera ginjal.

 

Kreatinin serum secara rutin digunakan sebagai penanda untuk mendeteksi AKI akibat trauma atau toksisitas terkait obat. Jika fungsi ginjal terganggu, kreatinin serum biasanya meningkat. Namun, kreatinin serum memiliki sensitivitas yang buruk untuk mendeteksi cedera ginjal karena kadarnya mungkin tidak naik di atas kisaran normal jika cedera ringan.            

             

Biomarker cedara pada jantung

Saat ini, kombinasi dengan riwayat medis dan pemeriksaan fisik, beberapa teknik diagnostik umumnya dipilih untuk penilaian trauma jantung, termasuk radiografi, elektrokardiografi, ekokardiografi, pencitraan nuklir, dan penilaian biomarker.

 

Beberapa biomarker telah dievaluasi dalam diagnosis dan prognosis pasien cedera jantung, di antaranya isoenzim otot/otak berupa creatine kinase (CK-MB) dan troponin jantung.

 

Creatine kinase-myocardian band (CK-MB) diekspresikan dalam jaringan miokard dan dilepaskan dengan cepat dari sel nekrotik ke dalam sirkulasi (empat sampai enam jam) setelah cedera. Rasio CK-MB >5% terhadap total CK diketahui abnormal.

 

Troponin, protein sitosol yang terlibat dalam mediasi Ca2+ Kontraksi otot rangka dan otot jantung terdiri dari tiga subunit yang berbeda (T, I, dan C). Troponin jantung memiliki ambang batas yang lebih sensitif untuk mendeteksi kerusakan jantung daripada CK-MB, dan telah diindikasikan memiliki angka negatif yang sangat baik pada nilai prediksi.

 

Biomarker cedera pada abdomen

Sekitar 1-10% dari semua pasien trauma tumpul abdomen memiliki cedera viskus berongga yang mengakibatkan mortalitas yang lebih tinggi (20% vs. 12%) dan morbiditas (27% vs. 13%) dibandingkan pasien yang tidak mengalami trauma pada usus.

 

Hal tersebut dapat dimengerti dengan kontaminasi yang dihasilkan, seperempat luka tembus usus menyebabkan infeksi serius. Beberapa kandidat biomarker cedera usus saat ini dalam tahap validasi dan evaluasi untuk kemungkinan diterjemahan ke penentuan klinis pasien.

 

Asam lemak tipe usus protein pengikat (I-FABP) adalah penanda awal yang mungkin untuk iskemia usus. I-FABP tidak terdeteksi dalam plasma individu yang sehat, tetapi telah terbukti meningkat pada darah dan urin setelah respon inflamasi sistemik sindrom (SIRS), syok, dan sepsis. Tingkat IFABP plasma berkorelasi dengan tingkat trauma abdomen.

 

Biomarker cedera pada pankreas

Penyebab paling umum dari cedera pankreas adalah luka tusuk, dengan hanya 25% dari total kasus dari trauma tumpul. Ancaman utama dari cedera pankreas adalah sepsis, fistula, dan abses.

 

Serum lipase, amilase, dan miR-216a adalah beberapa penanda yang saat ini sedang dievaluasi sebagai biomarker molekuler untuk cedera pankreas.

 

Tinjauan terbaru menemukan bahwa kombinasi serum amilase dan lipase dapat mendiagnosis trauma tumpul pada pankreas dengan spesifisitas 100% dan sensitivitas 85% ketika dievaluasi > 6 jam setelah cedera.



Perkembangan saat ini & masa depan

Meskipun penggunaan teknik pencitraan modern dan evaluasi klinis semakin maju, diagnosis yang terlewat atau tertunda tetap menjadi masalah. Misalnya, pemeriksaan fisik hanya 60% dapat diandalkan dalam mendeteksi cedera perut dan evaluasi klinis berpotensi terjadi kesalahan ketika pasien tidak sadar. Kemajuan terbaru dalam teknik proteomik dan genomik telah mengidentifikasi sejumlah biomarker yang menjanjikan dapat mendeteksi cedera pada berbagai organ.          

 

Studi klinis mengevaluasi sensitivitas dan spesifisitas penanda yang telah dituliskan ini untuk mendiagnosis bentuk cedera organ. Namun, penelitian tambahan diperlukan untuk menemukan biomarker baru yang mungkin memiliki akurasi diagnostik yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tersedia saat ini, dan untuk menilai keakuratan biomarker pada pasien dengan cedera multiple organ.


Penulis:  Suci Sasmita, S.Ked.

Referensi:

 

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaMelihat lagi Anemia Defisiensi Besi (ADB)

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar