sejawat indonesia

Diet dan Olahraga Meningkatkan Pengaruh Kemoterapi Leukemia

Anak-anak dan remaja dengan leukemia yang melakukan diet terbatas serta olahraga ketika memulai kemoterapi, menunjukkan reaksi terhadap pengobatan yang lebih baik dibanding dengan kondisi mereka sebelum mengikuti kegiatan tersebut. Reaksi ini tampaknya menunjukkan kemungkinan untuk meningkatkan kemanjuran pengobatan tanpa menaikkan dosis - atau toksisitas - dari kemoterapi. "Sepengetahuan kami, ini adalah studi pertama dalam keganasan hematologis untuk menunjukkan potensi dan manfaat dari pembatasan kalori, melalui diet dan olahraga untuk meningkatkan kemanjuran kemoterapi dan meningkatkan respons terhadap penyakit,” para penulis melaporkan. Temuan ini berasal dari uji coba IDEAL, yang dilakukan pada 40 pasien muda (rata-rata usia 15 tahun; kisaran 10-21 tahun) yang didiagnosis dengan leukemia limfoblastik akut sel B berisiko tinggi (B-ALL). Studi ini diterbitkan secara online pada 1 April 2021 di Blood Advances. Saat ini, diet yang dibarengi dengan olahraga rutin adalah rekomendasi untuk pasien dengan leukemia. "Ini akan menggeser paradigma utama – hingga saat ini, banyak ahli onkologi menganjurkan 'makanan menyenangkan' dan meningkatkan kalori untuk melewati kekakuan kemoterapi," kata penulis pertama Etan Orgel, MD, dari Children's Hospital Los Angeles dan Keck School of Medicine of USC, kepada Medscape Medical News. Anjuran ‘makanan menyenangkan’ dilakukan karena berkurangnya nafsu makan pasien dan berubahnya selera makan selama proses kemoterapi, pasien dapat makan apapun yang mereka suka sepanjang mereka tetap menjaga pada pola makan dengan banyak protein dan kalori, buah-buahan serta sayur-sayuran, dan rendah lemak serta daging merah. Pasien harus makan saat merasa lapar bahkan di saat tidak ingin makan dan minum banyak air. Hasil dari contoh uji coba ini menunjukkan bahwa, "Anjuran pada pasien untuk mengkonsumsi ‘makanan menyenangkan’ harus ditinggalkan; karena kelebihan nutrisi dapat berbahaya. Sedangkan, diet dibarengi olahraga adalah hal penting untuk dilaksanakan selama kemoterapi," katanya. Orgel menambahkan bahwa anak-anak dengan ALL dipilih karena kanker darah merupakan yang paling umum terjadi pada anak, tetapi temuan ini juga bisa diterapkan pada jenis kanker lain pada anak-anak serta orang dewasa. Mengomentari penelitian ini, Patrick Brown, MD, direktur Program Leukemia Anak di Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Maryland, mengatakan temuan ini penting, walaupun masih sangat awal. "Saya pikir kontribusi terpenting dari studi ini adalah menunjukkan kemungkinan mengubah nutrisi dan kebiasaan olahraga pada anak-anak dan remaja selama bulan awal perawatan untuk ALL," katanya. "Kita tetap harus berhati-hati menyimpulkan penemuan awal bahwa perubahan ini memiliki hasil yang lebih pasti - perlu dikonfirmasi dalam studi yang lebih besar," tambah Brown, yang tidak terlibat dengan penelitian. Orgel mencatat bahwa uji coba prospektif acak, IDEAL-2, diluncurkan akhir tahun ini untuk mengevaluasi lebih lanjut tentang intervensi.   Obesitas Memberi Respon Kemoterapi Yang Buruk Di antara anak-anak dan remaja yang memulai perawatan untuk B-ALL, sebanyak 40% memiliki kelebihan berat badan atau obesitas. Mereka dengan bawaan obesitas, memiliki risiko dua kali lipat lebih besar mengalami minimal residual disease (MRD) di akhir kemoterapi, yang dianggap sebagai penyebab terbesar pasien memiliki hasil terapi yang buruk. Masalahnya hasil kemoterapi yang buruk dapat diperparah dengan kenaikan berat badan yang umumnya terjadi selama perawatan, karena pengaruh proses kemoterapi yang berkepanjangan. Melalui studi tentang tikus obesitas yang dihubungkan dengan pembatasan kalori dan lemak serta peningkatan kelangsungan hidup setelah kemoterapi, para penulis berteori bahwa diet atau pembatasan lemak dan olahraga, dapat membantu meningkatkan hasil baik setelah kemoterapi pada manusia. Peserta mengikuti kegiatan ini di Children's Hospital Los Angeles dan City of Hope National Medical Center di dekat Duarte. Setelah mereka memulai tahap kemoterapi, mereka melakukan diet rendah karbohidrat, rendah lemak, dan rendah gula yang disesuaikan dengan kebutuhan dan preferensi pasien, serta berolahraga harian rutin, dan berlanjut pada tahap-tahap kegiatan ini sepanjang fase induksi selama 4 minggu. Setelah masa intervensi, tidak ada pengurangan signifikan yang diamati dalam perolehan median massa lemak dibandingkan dengan baseline (P = .13). Namun, dalam subkelompok pasien yang kelebihan berat badan atau obesitas di baseline, pengurangan massa lemak memang signifikan dibanding dengan baseline ( 1,5% vs  9,7% di baseline; P = .02). Yang penting, setelah penyesuaian pada faktor prognostik, kepatuhan pasien melakukan pola diet dan olahraga dapat dikaitkan dengan pengurangan signifikan risiko MRD, dibandingkan dengan uji coba baru-baru ini yang menerima terapi induksi yang sama di lembaga yang sama juga, tetapi tidak ada intervensi (rasio peluang [OR], 0,30; P = .02). Pola penelitian juga dikaitkan dengan MRD yang terdeteksi lebih rendah dibandingkan dengan uji coba sebelumnya (OR, 0,16; P sisi satu = .002). "Yang terpenting, intervensi IDEAL mengurangi risiko MRD pada akhir induksi pada semua pasien, terlepas dari memulai BMI dan setelah memperhitungkan fitur prognostik," penulis mencatat.   Kesanggupan Untuk Diet Tinggi, Tapi Olahraga Rendah Sebanyak 82% peserta studi mencapai tujuan 20% atau lebih melakukan kalori defisit sepanjang kemoterapi. "Kepatuhan terhadap diet sangat baik, dengan kalori defisit dan penghitungan protein, karbohidrat, dan lemak sesuai tujuan dapat dicapai pada hampir semua pasien, termasuk dalam kelompok kecil," hasil laporan penulis. Orgel menambahkan bahwa keluarga punya kesempatan untuk berperan aktif dalam terapi kanker. "Dalam pandangan kami, selama ini keluarga tidak bisa mengendalikan penyakit atau kemoterapi pasien, tetapi kini, mereka bisa," katanya. Sebaliknya, kepatuhan pasien terhadap olahraga yang ditentukan, hasilnya rendah - hanya 31,2%, ketidakaktifan pasien selama bulan pertama menjadi penyebab hilangnya massa otot yang terjadi hampir sama pada kedua kelompok, Orgel mencatat. "Sayangnya [kepatuhan olahraga rendah] bukan kejutan, karena seringkali pasien sulit untuk berolahraga selama aktif kemoterapi," katanya. Aspek utama aktivitas fisik akan disempurnakan dalam studi lebih lanjut, tambah Orgel.   Sensitivitas Insulin, Faktor Kunci Adiponectin? Pasien yang melakukan pola penelitian ini juga menunjukkan peningkatan sensitivitas insulin dalam tubuh, pada umumnya insulin dikaitkan dengan mekanisme yang melawan chemoresistance. Selain itu, penurunan insulin disertai dengan meningkatnya peredaran adiponectin - hormon protein yang diproduksi dan dikeluarkan oleh sel-sel lemak. "Meningkatnya adiponectin merupakan sebuah kejutan, karena sampai saat ini diketahui tidak memiliki peran utama dalam ketahanan sel kanker ketika menjalani kemoterapi," kata Orgel. Meskipun terlalu cepat untuk menyimpulkan faktor sensitivitas insulin dan peredaran adiponectinebagai pengaruh pusat kemoterapi, tetapi perbedaan besar dalam adiponectin dan sensitivitas insulin yang ditemukan melalui hasil penelitian pada anak-anak ini pasti akan menjadi bagian penting untuk penelitian selanjutnya.   Dipublikasikan pada 1 April 2021. Teks lengkap. Sumber: https://www.medscape.com/
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaIndeks Glikemik Tinggi Sebagai Pemicu Penyakit Kardiovaskular

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar