Etika Penelitian: Integritas Sains, Subjek, hingga Penulis
Etika dalam penelitian, khususnya di bidang Kesehatan, tidak hadir begitu saja. Ia diiringi kesalahan atau bahkan kejahatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Pengadilan Nuremberg (The Nuremberg Trials) yang digelar November 1945 menjadi satu titik penandanya. Pengadilan yang mengungkap berbagai kejahatan yang dilakukan para anggota dan pengurus NAZI tersebut, salah satunya mengadili 23 dokter yang terlibat (The Doctor’s Trials), dalam melakukan percobaan medis, eutanasia, dan kejahatan lain kepada tahanan di kamp konsentrasi.
Pengadilan tersebut kemudian melahirkan Kode Nuremberg yang berisi 10 poin yang berfokus pada perlindungan terhadap hak-hak subjek penelitian. Kode Nuremberg menjadi instrumen Internasional pertama yang mengatur tentang Kode etik penelitian kesehatan.
Kode Nuremberg kemudian disusul oleh berbagai deklarasi yang turut menguatkan pijakan bagi etika dalam penelitian kesehatan. Tahun 1948, PBB menetapkan Universal Declaration of Human Rights serta tahun 1964, World Medical Association (WMA) menetapkan Deklarasi Helsinki yang lebih rinci mengatur tentang prinsip-prinsip etika dalam penelitian kesehatan yang melibatkan manusia sebagai subjeknya.
Selain itu, ada The Belmont Report yang lahir sebagai respon atas skandal Tuskegee Syphilis Study. Studi tersebut mempelajari adanya epidemi sifilis di daerah Alabama, Amerika Serikat. Selama studi dari tahun 1930 hingga 1972, ada 400 orang yang mengidap sifilis tidak diberikan obat (Penisilin G) agar perkembangan penyakit tersebut bisa dipelajari lebih lanjut.
The Belmont Report berisi tiga poin yang mengatur prinsip etika umum penelitian kesehatan: Menghormati harkat martabat manusia (Respect for Persons), mengutamakan asas manfaat (Beneficence), dan memenuhi prinsip Keadilan (Justice). Laporan ini juga menetapkan tentang kewajiban lembaga penelitian untuk membentuk Komisi Etik Penelitian kesehatan (KEPK). Salah satu tugasnya adalah menentukan persetujuan etik (Ethical Approval).
Ethical Approval inilah yang kemudian seringkali memicu kontroversi dalam penentuan subjek penelitian. Pada mulanya, penelitian dilakukan oleh peneliti dari dan dilakukan di negara maju, namun kemudian berkembang ke negara-negara dengan latar budaya dan kondisi yang sangat berbeda, sehingga memerlukan berbagai pendekatan yang berbeda pula.
Namun, menurut Olle Ten Cate, Profesor dan Peneliti senior dari University Medical Center Utrecht, panduan dan prinsip-prinsip etika dari berbagai lembaga pada akhirnya harus diinternalisasi oleh para peneliti, dikembangkan dari waktu ke waktu, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Kuncinya, terletak pada tiga aspek dasar: Menjaga integritas sains, Integritas subjek, dan integritas kepengarangan (Authorship).
Menjaga Integritas Sains
Sains, sebagai salah satu dasar yang membentuk perkembangan budaya dan masyarakat, sudah sepatutnya selalu bisa untuk dipercaya. Sekaligus, selalu mengutamakan kemajuan demi kesejahteraan populasi. Pandemi COVID-19, misalnya, telah menunjukkan bagaimana kemajuan sains dapat menyelamatkan banyak nyawa, sekaligus menunjukkan bagaimana ketidakpercayaan dan penolakan informasi ilmiah dapat menyebabkan kematian yang bisa diantisipasi.
Untuk menjaga kredibilitasnya, sains harus disuplai oleh kemajuan-kemajuan berarti. Pertanyaan penelitian yang relevan dan bijaksana, desain studi yang cerdas, pelaksanaan yang cermat, analisis data yang tepat, dan laporan yang dapat diakses dan tanpa kompromi diperlukan untuk mendukung kepercayaan terhadapnya. Pelanggaran prinsip-prinsip tersebut adalah pelanggaran etika dan integritas penelitian.
Berbagai tantangan yang dihadapi masih banyak. Misalnya kecurangan (fraud) seperti falsifikasi dan fabrikasi data masih terjadi, begitupun praktik penelitian yang menghabiskan dana besar dengan kontribusi yang sangat kurang. Penelitian asal-asalan (Sloopy Science) meningkat drastis akibat superiornya metrik penelitian untuk kemajuan karir, benturan dengan kepentingan komersial, serta berbagai faktor eksternal lainnya.
Menjaga Integritas Subjek Penelitian
Satu aspek penting dari perlindungan subjek adalah mendapatkan persetujuan yang tepat. Ini biasanya lebih sulit daripada yang tampak. Tentu saja subjek harus diinformasikan sepenuhnya, tetapi ini harus dilakukan dengan cara yang tidak membuat mereka kewalahan. Persetujuan (Consent) harus memperhatikan tiga hal, biasanya disingkat sebagai 3C:
- Clear (Jelas): gunakan bahasa yang sederhana dan dapat dimengerti
- Concise (Ringkas): jangan membanjiri subjek dengan informasi yang tidak perlu
- Continous (Berkelanjutan): jangan menganggap persetujuan adalah peristiwa satu kali. Periksalah berkali-kali, terutama saat penelitian berlangsung untuk mengonfirmasi bahwa subjek masih ingin untuk melanjutkan.
Perlindungan subjek penelitian saat ini semakin besar, khususnya persoalan data pribadi. Kemudahan teknologi dalam pengolahan data, kerap tidak diikuti dengan tingkat keamanan data pribadi yang memadai.
Menjaga Integritas Kepengarangan (Authorship)
Etika penelitian juga mencakup kelayakan dan keadilan bagi peneliti. Hal tersebut tidak memengaruhi integritas sains maupun subjek penelitian, tetapi memengaruhi pengakuan dan penghargaan yang pantas diterima peneliti atas produktivitas kreatif mereka. Jelas, plagiarisme, sebagai contoh, mengangkat satu peneliti dengan mengorbankan peneliti lain. Mencuri ide, melanggar hak cipta, dan dengan sengaja menghilangkan referensi adalah pelanggaran etis.
Melindungi integritas kepengarangan harus dibaca sebagai memperlakukan semua peneliti secara adil dan mengakui apa yang layak untuk mereka. Beberapa kasus yang umum ditemukan namun cukup samar adalah soal ‘penulis kehormatan’ (Honorary Author), mencantumkan nama penulis yang sudah ‘punya nama’ dengan tujuan utama meningkatkan peluang publikasi atau pengutipan (citation). Itu dapat menguntungkan produksi ilmiah penulis pada kesan pertama, tetapi mengurangi validitas sebagai ukuran prestasi ilmiah yang sebenarnya.
Plagiarisme dapat menghancurkan karier seseorang dan peneliti harus memahami bahwa praktik ini tidak akan pernah bisa dimaafkan.
International Committee of Medical Journal Editors memberi panduan untuk persoalan kepenulisan dan kontributor, bahwa setiap penulis harus:
- Berkontribusi secara substansial pada konsepsi, desain, perolehan, analisis, atau interpretasi data dari karya tersebut;
- Menulis atau merevisi secara kritis karya tersebut untuk konten intelektual yang penting;
- Telah memberikan persetujuan akhir dari versi yang akan diterbitkan; dan
- Bertanggung jawab atas semua aspek dan integritas dari apa yang dikerjakan.
Perihal etis dalam penelitian telah dan akan terus berkembang seiring kemajuan teknologi yang digunakan, serta perkembangan standar nilai yang ada dalam kehidupan kita. Sudah sepatutnya, segala macam penelitian dilakukan untuk kemajuan bersama dan dengan cara yang saling menghargai pula. Baik terhadap subyek, para sesama peneliti, tanggung jawab sains, dan yang terpenting adalah penghargaan terhadap diri sendiri. Baik sebagai peneliti, maupun sebagai seorang manusia.
Untuk lebih jauh memahami tentang Etika Penelitian dan elemen-elemen lain penulisan karya ilmiah di Jurnal Internasional, ikuti Live CME dari Sejawat Indonesia bersama Prof. Dr. Irawan Yusuf, PhD.
Klik tautan berikut untuk informasi lebih lanjut: Get Published in International Scientific Journal
- Research with human subjects: Ethics and integrity, Epigeum, 2012
- Artino AR Jr, Driessen EW, Maggio LA. Ethical shades of gray: International frequency of scientific misconduct and questionable research practices in health professions education
- International Committee of Medical Journal Editors. Defining the role of authors and contributors
- The Ethics of Health Professions Education Research: Protecting the Integrity of Science, Research Subjects, and Authorship
- Ten Cate O. Health professions education scholarship: The emergence, current status, and future of a discipline in its own right. September 2021.
Log in untuk komentar