Lifestyle Medicine, Jawaban atas Segala Penyakit Kronis?
Pernah mendengar "lifestyle medicine"? Jika belum, itu wajar. Pengobatan jenis ini baru berkembang di Amerika Serikat selama satu dekade terakhir. Bahkan, kata “pengobatan/kedokteran untuk gaya hidup”, sebutan bahasa Indonesia untuk “lifestyle medicine”, masih terdengar asing di telinga banyak orang.
Lalu apa itu? American College of Lifestyle Medicine (ACLM) sudah menetapkan standar kedokteran gaya hidup sejak tahun 2015. Mereka mendefinisikannya sebagai "praktik berbasis bukti untuk membantu individu dan keluarga mengadopsi dan mempertahankan perilaku sehat yang memengaruhi kesehatan dan kualitas hidup."
Di sisi lain, Jeffrey I. Mechanick dan Robert F. Kushner dalam buku Lifestyle Medicine: A Manual for Clinical Practice (2016) menulis bahwa "lifestyle medicine" adalah cabang kedokteran yang berfokus pada langkah preventif untuk mengendalikan risiko penyebab penyakit. Mulai dari kekurangan nutrisi, minim aktivitas fisik, alami stres kronis, kebiasaan merokok dan minum alkohol.
Kenapa harus lima hal tersebut? Sudah jadi rahasia umum bahwa kebiasaan dan perilaku seseorang sehari-hari amat memengaruhi kesehatan dan kualitas hidup individu dalam jangka pendek atau jangka panjang. Sejumlah penelitian perihal bagaimana kebiasaan dan tindakan memberi dampak pada pencegahan dan pengobatan penyakit menjadi penggerak aktivitas "lifestyle medicine."
Meningkatnya minat pada "lifestyle medicine" selama beberapa tahun terakhir bisa dikaitkan dengan fakta bahwa kini masyarakat semakin proaktif menjaga kesehatan mereka. Ini tak lepas dari meningkatnya kesadaran atas manfaat gaya hidup sehat. Dengan demikian, muncullah kebutuhan tenaga kesehatan profesional untuk memberi bimbingan dan bantuan pada orang-orang yang ingin lepas dari gaya hidup yang buruk.
Siapa sangka, "cabang baru" dunia kedokteran ini ternyata sangat membantu. Situs Medical Futirist pada 29 Juni melaporkan bahwa seorang dokter pembimbing bisa selalu sukses memberi peningkatan substansial pada penderita diabetes tipe 2. Kadar gula darahnya bisa dikembalikan ke tingkat normal tanpa menggunakan obat. Ini berkat perubahan gaya hidup yang diawasi langsung oleh dokter. Selain itu, penyakit kardiovaskular juga bisa disembuhkan dengan perubahan gaya hidup.
Alhasil, "lifestyle medicine" dianggap sebagai angin segar sebab sudah mendekati perawatan medis penyakit tidak menular kronis. Gaya hidup pasien bisa menjadi parameter menentukan tindakan seperti apa yang akan diambil oleh sang dokter pendamping. Tapi belakangan, muncullah alternatif baru untuk dibebani tugas mengubah gaya hidup pasien : teknologi digital.
Jika melihat ke PlayStore Indonesia, terdapat beberapa aplikasi "lifestyle medicine" yang masuk daftar populer. Sebut saja LifeSum, BodyFast, Fita, MeetYou, Calorit Counter, Cardiogram, dan masih banyak lagi. Aplikasi ini bertugas membantu kita menjaga asupan nutrisi dan kalori, menjaga aktivitas fisik dengan program workout mingguan hingga menghindari konsumsi hal-hal yang berpotensi memberi efek buruk.
Dalam publikasi "Lifestyle Medicine: The Health Promoting Power of Daily Habits and Practices", yang diterbitkan American Journal of Lifestyle Medicine pada akhir tahun 2018, kardiologis James M. Rippe menyebut bahwa hal terebut adalah jawaban atas lambannya komunitas medis memberi solusi atas perubahan gaya hidup.
Bagi James, menerapkan prinsip pengobatan untuk gaya hidup dalam praktik kedokteran sehari-hari adalah peluang besar untuk mendongkrak kualitas hidup pasien dan jadi jawaban atas biaya pengobatan yang selangit.
Memang, publikasi tersebut terkesan bias lantaran diterbitkan langsung oleh organisasi yang berfokus pada "lifestyle medicine." Sikap berseberangan ditunjukkan 27 peneliti asal Amerika Serikat di dalam publikasi jurnal berjudul "Prioritized Research for the Prevention, Treatment, and Reversal of Chronic Disease: Recommendations From the Lifestyle Medicine Research Summit" yang terbit pada Desember 2020.
Mereka menulis bahwa cara tersebut seolah-olah bisa membalikkan penyakit kronis yang dipengaruhi banyak faktor. Padahal banyak hal yang berada di luar kendali sang individu seperti tren ekonomi, kesenjangan sosial, pekerjaan, pendidikan, budaya, lingkungan sekitar, akses pada teknologi, kualitas udara hingga air yang dikonsumsi setiap hari. Semuanya saling berkaitan.
Mereka menjelaskan bahwa persentase orang bisa berolahraga di luar rumah secara aman di ruang publik berkurang di wilayah-wilayah dengan tingkat kriminalitas tinggi. Belum lagi jika menyoal kualitas udara penduduk yang bermukim dekat pabrik-pabrik. Sebuah bukti tentang kesenjangan pelayanan kesehatan, masalah terbesar di negara berkembang seperti Indonesia, jadi faktor penentu juga sulit dibantah.
Kembali pada kesenjangan sosial, banyak penelitian tentang "lifestyle medicine" justru menepikan kelompok marjinal seperti perempuan, anak-anak, mereka yang hidup dengan ekonomi pas-pasan.
Padahal, cara terbaik untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang harus dimulai dari sang ibu. Mereka menulis bahwa persiapan kehamilan dan masa kehamilan justru jadi momen tepat untuk mendidik sang ibu tentang gaya hidup sehat. Ini tak cuma memengaruhi kesehatan ibu, tapi juga memengaruhi perkembangan dan pertumbuhan embrio.
Banyak variabel yang mengganggu sistem endokrin ibu yang sedang mengandung. Mulai dari kurangnya asupan nutrisi, kekurangan suplementasi asam folat, stres, paparan toksik dari lingkungan, merokok (aktif atau pasif), hingga alkohol.
Lebih jauh, ada juga "toxic stress" yang memengaruhi kondisi kesehatan seseorang. "Toxic stress" mencakup trauma, peristiwa yang mengubah hidup seseorang, dan paparan terus-menerus terhadap pelecehan, penelantaran, kekerasan dan kemiskinan. Dampaknya akan terasa dalam perkembangan neurologis pada tingkat molekuler, hingga meningkatkan risiko penyakit medis kronis dan psikologis di masa depan.
Selain itu, perawatan anak-anak dengan kondisi medis serius harus dilakukan secara bersamaan dengan penanganan perilaku psikososial. Gaya hidup pasien dan keluarga saling berkaitan karena menjadi asal pengalaman traumatis.
Di sisi lain, perbedaan kelompok ras, etnis, dan budaya disebut sebagai "kekuatan, tantangan, dan keyakinan khusus yang harus diakui, dimanfaatkan, dan ditangani." Artinya, bias-bias non-teknis memberi pengaruh yang tak kalah besar. Belum lagi menyinggung aspek sosiokultural dari kepercayaan religius.
Harus diakui, agama atau kepercayaan religius jadi tujuan orang untuk menghilangkan stress, kenyamanan emosional dan spiritual. Beberapa bahkan mengajarkan pengendalian pola makan dan hidup dengan alasan manusia dan alam adalah bagian dari ekosistem yang sama. Kendati demikian, penetrasi pesan-pesan ala "lifestyle medicine" yang modern dianggap akan susah menembus kepercayaan religius, sehingga butuh studi lebih lanjut.
Sekali lagi, "lifestyle medicine" masih menjalani proses penelitian lebih lanjut yang komprehensif. Tapi, misi yang ia bawa senada dengan prinsip klasik: "mencegah lebih baik daripada mengobati."
Referensi :
- Rippe J. M. (2018). Lifestyle Medicine: The Health Promoting Power of Daily Habits and Practices. American journal of lifestyle medicine, 12(6), 499–512.
- Vodovotz Yoram, et al. (2020). Prioritized Research for the Prevention, Treatment, and Reversal of Chronic Disease: Recommendations From the Lifestyle Medicine Research Summit. Frontiers in Medicine, Sec.Translational Medicine.
- Malter Cohen, M., Jing, D., Yang, R. R., Tottenham, N., Lee, F. S., & Casey, B. J. (2013). Early-life stress has persistent effects on amygdala function and development in mice and humans. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 110(45), 18274–18278.
- Lifestyle Medicine Could Be The Key To Digital Health Adoption. (2022, June 22). The Medical Futurist. https://medicalfuturist.com/lifestyle-medicine-could-be-the-key-for-digital-health-adoption/
Log in untuk komentar