sejawat indonesia

Mengenal Gastroparesis, Gangguan Saluran Cerna Kronis Yang Tidak Biasa

Bulan Agustus merupakan Gastroparesis Awareness Month. Ia pertama kali ditetapkan oleh IFFGD (International Foundation for Gastrointestinal Disorder) pada 2016. Pasien yang datang dengan gastroparesis biasanya hanya didiagnosis sebagai pasien dengan dyspepsia atau gangguan pencernaan yang lain. Gastroparesis di Indonesia sendiri belum cukup dikenali di kalangan dokter umum, tidak seperti penyakit saluran cerna lainnya seperti gerd atau gastritis. Gejala yang muncul post-prandial bersama dengan mual dan muntah tidak hanya menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolic. Gastroparesis merupakan penyakit yang jarang. Dari 100.000 pasien, terdapat 10 pria dan 40 wanita yang mengalami gastropareseis. Tetapi jika dibiarkan tidak terdiagnosis dalam waktu lama, ia bisa menyebabkan pasien memerlukan rawat inap yang berulang dan lama di rumah sakit sehingga bisa menjadi beban sosio-ekonomi tersendiri untuk pasien. Gastroparesis adalah terhambatnya pengosongan lambung karena kurang atau tidak adanya motilitas mekanik gaster dan memiliki gejala khas berupa mual, muntah, rasa cepat kenyang, kembung, dana tau nyeri perut bagian atas.1 Pada salah satu penelitian dengan populasi yang besar, didapatkan 3604 kasus potensial gastroparesis, yang 83 di antaranya memenuhi kriteria diagnosis pasti gastroparesis, dengan insiden 2.4 per 100.000 pria tiap tahun, dan 9.8 per 100.000 wanita tiap tahun, dan 6.3 tiap 100.000 orang per tahun untuk kombinasi kohort.2 Keseluruhan tingkat survival lebih rendah pada pasien dengan diabetes mellitus.3 Gastriparesis memiliki dampak yang besar pada kualitas hidup seseorang. Sayangnya, gastroparesis masih merupakan penyakit yang belum banyak dipelajari. Karena memiliki gejala yang menyerupai dyspepsia fungsional atau gangguan pencernaan yang lain.4 Gastroparesis (gaster = lambung, pareses = lumpuh) merupakan kondisi yang telah lama ditemukan. Ia memiliki beberapa etiologi seperti idiopatik, diabetik, post-operasi, dan post-infeksi, atau autoimun. Selain kondisi tersebut, penelitian beberapa tahun terakhir juga menunjukkan bahwa gastroparesis juga terdapat pada keadaan penggunaan obat-obat tertentu, gangguan neurologis, gangguan jaringan konektif, bahkan pada insufisiensi renal.5 Patofisiologi terjadinya gastroparesis bervariasi, tergantung dari etiologi penyakitnya. Gastroparesis dapat berupa abnormalitas neuromuscular dari fungsi motoric gaster. Makanan yang sampai di dalam lambung dipecah dan dicerna melalui mekanisme sinergis antara pengeluaran asam dan kontraksi antral, sehingga ia menjadi bentuk yang lebih homogen dengan ukuran 0.5 – 2 mm diameter yang dapat berlanjut ke usus duodenum. Sebelum masuk ke duodenum, makanan disimpan di fundus gaster dan dimodulasi oleh inervasi vagal. Kontraksi antral gaster juga dimodulasi oleh serabut saraf vagal, juga dengan kolinergik neuron instrinsik, dimana neuron memodulasi relaksasi sfingter pylorus dan aktivitas peristaltic gaster. Abnormalitas yang melibatkan mekanisme ini menyebabkan gastroparesis dengan cara hipomotilitas antral dan disfungsi pylorus. 5 Selain mekanisme tersebut, faktor lain juga diduga memiliki andil dalam gastroparesis. Contohnya, pada pasien dengan hiperglikemia terjadi inhibitor kontraktilitas antral, menyebabkan tertundanya pengosongan lambung, dan menyebabkan disritmia gaster.6 Pengosongan lambung juga dapat terganggu oleh obat-obat opioid.7 Gastroparesis juga bisa diamati pada keadaan yang lebih jarang, seperti pada post-infeksi virus , khususnya pada wanita usia pertengahan.8 Tetapi data yang tersedia masih sangat terbatas sehingga diduga gastroparesis masih merupakan kasus yang belum banyak diketahui. Secara umum, gastroparesis memiliki gejala seperti mual, muntah, kehilangan nafsu makan, rasa cepat kenyang, kembung, distensi abdomen bagian atas, dan nyeri. Karena gejala yang menyerupai gangguan pencernaan lainnya, maka diperlukan pemeriksaan yang menyeluruh untuk menyingkirkan diagnosis lain dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis gastroparesis. Pasien dapat mengalami keluhan dengan berbagai derajat. Waseem et al.9 membagi ke dalam tiga tipe klinis keparahan gastroparesis:
  1. Gastroparesis ringan: gejala yang mudah ditangani dan tidak terdapat penurunan berat badan.

  2. Gastroparesis sedang: gejala lebih sering, dapat ditangani dengan antiemetic, prokinetik, dan modifikasi diet dan kontrol glukosa

  3. Gastroparesis berat: gejala terjadi setiap hari walaupun telah mendapat penanganan medis, terdapat malnutrisi dan penurunan berat badan.

Selain itu juga terdapat alat untuk memeriksa keparahan gejala yaitu Gastroparesis Cardinal Syumptoms Index (GCSI).10 GCSI terdiri dari 9 item, yang terbagi dalam tiga subskala: Mual/muntah, rasa cepat kenyang, dan kembung. Gejala ini dievaluasi dalam dua minggu terakhir. Skoring pada tiap item meliputi 0 – 5 (0 berarti tidak ada ,dan 5 berarti sangat berat), yang diisi oleh pasien. Skor lalu dihitung dan angka yang tinggi berbanding lurus dengan tingkat keparahan gastroparesis yang diderita. Terdapat beberapa tes yang perlu dilakukan untuk menyingkirkan gejala atau untuk mengetahui adanya keterlambatan pengosongan gaster. Sebelum melakukan beberapa tes ini, pasien tidak boleh mengkonsumsi obat yang dapat memperlambat pencernaan (opioid, antikolinergik) atau mempercepat (prokinetik, eritromisin) pengosongan lambung. Obat-obat ini dihentikan 48-72 jam sebelum melakukan tes. Guideline terbaru juga mengatakan bahwa pasien tidak dites jika gula darah lebih daripada 275 mg/dL. Pemeriksaan penunjang sebagai gold standard untuk mendiagnosis Gastroparesis adalah Gastric Emptying Scintigraphy (GES). Tes dilakukan dengan menggunakan makanan tertentu yang mengandung agen radionuklir teknetium 99m yang akan diperiksa meggunakan kamera gamma. Makanan dicerna setelah puasa satu malam dan dipindai pada saat jam 0, 1, 2, dan 4. Hasilnya berupa persentasi retensi yang dicatat pada 2 dan 4 jam setelah makan.  Jika terdapat >60% gaster retensi pada 2 jam dana tau >10% retensi pada 4 jam, maka dianggap abnormal atau terdapat keterlambatan pengosongan gaster.11 Selain GES, beberapa tes yang dapat digunakan untuk diagnosis gastroparesis yaitu:
  1. Esophagogastroduodenoskopi

  2. Double-contrast upper gastrointestinal radiography

  3. Gastric emptying breath test

  4. Wireless motility capsule (WMC)

  5. Gastric Emptying of radiopaque markers

  6. Electorgastrography

  7. Antroduodenal manometry

Pengobatan gastroparesis bergantung sepenuhnya pada modifikasi pola makan, secara farmakologik, dan beberapa alternatif seperti endoskopi, stimulasi listrik, ataupun pembedahan. Anamnesis tentang diet nutrisi secara keseluruhan harus diperhatikan. Pendekatan secara nutrisi biasanya terdiri dari pemberian makanan sedikit tapi sering yang terbatas kandungan lemak dan seratnya. Pada pasien dengan penurunan berat badan dan malnutrisi, dipertimbangkan pemberian suplemen vitamin. Pada pasien diabetes, tujuannya adalah untuk mengontrol kadar gula darah dengan menggunakan obat anti diabetik. Terapi farmakologis bisa menggunakan obat-obatan prokinetik seperti obat antiemetic, eritromisin, ghrelin agonist, atau acotiamide. Pada pasien yang tidak responsive dengan obat-obatan biasanya memerlukan intervensi dengan tindakan yang lebih invasive seperti endoskopi atau stimulasi listrik. Stimulasi listrik gaster dikembangkan untuk menguatkan pengosongan lambung dengan menggunakan stimulasi frekuensi tinggi yang berkaitan dengan sensoris transduksi ke otak. 12 Sementara pembedahan bisa dilakukan dengan pyroloplasti. Pyrolopaslati dapat mengurangi gejala pada pasien gastroparesis yang tidak merespon terapi yang lain. Penelitian terbaru menunjukkan laparoskopi piloroplasti menunjukkan pengosongan gaster yang normal pada 60% kasus dan secara signifikan mengurangi keparahan gejala pada pasien gastroparesis. 13 Gastroparesis dapat menyebabkan beberapa komplikasi, seperti dehidrasi berat dan malnutrisi. Makanan yang tidak tercerna juga dapat mengeras dalam lambung sehingga menjadi sebuah massa padat yang disebut bezoar. Jika dibiarkan berlama-lama, ia bisa mengancam jiwa karena menghambat pergerakan makanan untuk dikeluarkan dari dalam usus.            
Referensi
  1. Camilleri M, Parkman HP, Shafi MA, et al. Clinical guideline: management of gastroparesis. Am J Gastroenterol 2013; 108:18.
  2. Jung HK, Choung RS, Locke GR 3rd, et al. The incidence, prevalence, and outcomes of patients with gastroparesis in Olmsted County, Minnesota, from 1996 to 2006. Gastroenterology 2009; 136:1225.
  3. Ye Y, Jiang B, Manne S, et al. Epidemiology and outcomes of gastroparesis, as documented in general practice records, in the United Kingdom. Gut 2021; 70:644.
  4. Syed AR, Wolfe MM, Calles-Escandon J. Epidemiology and Diagnosis of Gastroparesis in the United States: A Population-based Study. J Clin Gastroenterol. 2020;54:50–54
  5. Camilleri M, Chedid V, Ford AC, Haruma K, Horowitz M, Jones KL, Low PA, Park SY, Parkman HP, Stanghellini V. Gastroparesis. Nat Rev Dis Primers. 2018;4:41
  6. Du P, Grady GO, Paskaranandavadivel N, Tang SJ, Abell T, Cheng LK. High-resolution Mapping of Hyperglycemia-induced Gastric Slow Wave Dysrhythmias. J Neurogastroenterol Motil. 2019;25:276–285.
  7. Müller-Lissner S, Bassotti G, Coffin B, Drewes AM, Breivik H, Eisenberg E, Emmanuel A, Laroche F, Meissner W, Morlion B. Opioid-Induced Constipation and Bowel Dysfunction: A Clinical Guideline. Pain Med. 2017;18:1837–1863
  8. Thorn AR. Not just another case of nausea and vomiting: a review of postinfectious gastroparesis. J Am Acad Nurse Pract. 2010;22:125–133
  9. Waseem S, Moshiree B, Draganov PV. Gastroparesis: current diagnostic challenges and management considerations. World J Gastroenterol. 2009;15:25–37
  10. Stein B, Everhart KK, Lacy BE. Gastroparesis: A Review of Current Diagnosis and Treatment Options. J Clin Gastroenterol. 2015;49:550–558.
  11. Camilleri M, Parkman HP, Shafi MA, Abell TL, Gerson L American College of Gastroenterology. Clinical guideline: management of gastroparesis. Am J Gastroenterol. 2013;108:18–37.
  12. Heckert J, Sankineni A, Hughes WB, Harbison S, Parkman H. Gastric Electric Stimulation for Refractory Gastroparesis: A Prospective Analysis of 151 Patients at a Single Center. Dig Dis Sci. 2016;61:168–175
  13. Mancini SA, Angelo JL, Peckler Z, Philp FH, Farah KF. Pyloroplasty for Refractory Gastroparesis. Am Surg. 2015;81:738–746
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPerubahan Farmakologi dan Farmakokinetik Obat Psikotropika pada Pasien dengan Gangguan Liver

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar