Menilai Pemberian Antibiotik pada Pasien Pneumonia
Pneumonia salah satu penyakit yang menjadi ancaman kesehatan di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Secara global, pneumonia menginfeksi sekitar 450 juta orang per tahun dan telah berkontribusi sebanyak 7% dari total kematian global setiap tahun. Di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2018, pneumonia termasuk ke dalam sepuluh penyakit teratas dengan penerimaan rumah sakit yang tinggi dengan proporsi kasus sebesar 53,95% untuk laki-laki dan 46,05% untuk perempuan dengan angka kematian sekitar 7,6%.
Pneumonia adalah infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus, dan parasit yang menyebabkan peradangan pada jaringan paru-paru.
Pada kebanyakan kasus, pneumonia disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae (pneumococcus), penyebab paling umum dan saat ini menjadi topik hangat penelitian oleh karena tingkat resistensi yang tinggi pada antibiotik.
Munculnya strain Streptococcus Pneumonia yang resisten terhadap penicillin, akibat dari mutasi kromosom dan perubahan protein pengikat antibiotik di dinding sel bakteri, sehingga menimbulkan dampak yang luas dalam penggunaan klinis obat tersebut. Pertama kali ditemukan bahwa resistensi pneumococcus terhadap penicilin pada tahun 1970-an di Afrika Selatan dan hingga saat ini telah menyebar ke seluruh dunia.
Selain penicilin, sebuah studi di Brasil yang dilakukan oleh Zettler et al. di lima rumah sakit di kota Porto Alegre dan diterbitkan dalam jurnal Pulmonology Brasil mengungkapkan bahwa 5,2% dari strain penumococcus yang diisolasi, resisten terhadap eritromisin dengan mekanisme perubahan ribosom bakteri, dengan penurunan afinitas terhadap antimikroba.
Baca Juga:
- Peran Kortikosteroid pada Pasien Pneumocistis Jiroveci Koinfeksi HIV
- 18 Resistensi Antimikroba Paling Mengancam
Penurunan sensitivitas antimikroba penumokokkus yang masih merupakan penyebab utama pneumonia pada orang dewasa telah menyebabkan tinjauan terapi antibiotik, baik pada infeksi dengan etiologi yang diketahui maupun dalam pengobatan empiris pneumonia yang didapat dari komunitas.
Dampak negatif dari penggunaan antibiotik yang berlebihan sudah diketahui. Dalam hal ini, penggunaan jangka panjang yang telah dikaitkan dengan tingkat resistensi yang lebih besar, jumlah efek samping yang lebih tinggi, kepatuhan pengobatan yang lebih buruk dan biaya yang lebih tinggi.
Beberapa penelitian telah diterbitkan untuk mengevaluasi keamanan pengurangan durasi pengobatan antibiotik pada pasien pneumonia. Dalam meta-analisis baru-baru ini yang dilakukan oleh Dimopoulus et.al dengan melibatkan lima uji klinis yang melibatkan orang dewasa dengan pneumonia ringan hingga sedang yang membandingkan jenis antibiotik yang sama, pemberian rejimen antara 3 sampai 7 hari yang dibandingkan dengan 7 sampai 10 hari.
Para peneliti tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam kesembuhan pasien, kematian, dan efek samping. Anehnya, meta-analisis baru dilakukan oleh Tansarli et.al yang membandingkan pemberian antara 6 hari dan 7 hari, mengamati tingkat kematian yang lebih rendah pada kelompok rejimen yang lebih pendek.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Ane Uranga et. al menilai dampak jangka panjang dari pengurangan durasi pengobatan antibiotik pada pasien yang dirawat karena community-acquired pneumonia (CAP). Metode yang dilakukan adalah dengan mengevaluasi komplikasi yang terjadi hingga 1 tahun kemudian. Nilai utama dari penelitian ini menunjukkan keamanan jangka menengah dan jangka panjang dalam pengurangan durasi pengobatan antibiotik pada pasien CAP, berdasarkan dari kriteria stabilitas klinis.
Distribusi dari etiologi potensial pada CAP:
Mikroorganisme | Masyarakat (%) | Rumah Sakit (%) | ICU (%) |
Streptococcus pneumoniae | 14 | 25 | 17 |
Mycoplasma pneumoniae | 16 | 6 | |
Virus | 15 | 10 | 4 |
Chlamydophila pneumoniae | 12 | 3 | |
Legionella spp. | 2 | 3 | 10 |
Haemophilus influenzae | 1 | 5 | 3 |
Gram-negative bacilli | 5 | ||
Staphylococcus aureus | 5 | ||
Tidak teridentifikasi | 44 | 37 | 41 |
Penggunaan biomarker prokalsitonin (PCT) telah menjadi biomarker yang paling banyak dipelajari untuk mengurangi pengobatan antibiotik. De Jong et.al melakukan uji klinis pada pasien kritis di mana pemberian antibiotik tak lagi dilanjutkan jika nilai PCT turun minimal 80% atau dibawah 0,5 g/L
Efek menguntungkan dari penggunaan durasi pengobatan antibiotic telah dipelajari secara luas. Di s’atu sisi, ini mengurangi resistensi antimikroba, kemungkinan efek samping, biaya dan meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan.
Dengan adanya penelitian-penelitian yang mendukung pengurangan durasi penggunaan antibiotik untuk pasien pneumonia komunitas atau CAP menyimpan beberapa kekurangan dan keterbatasan, pertama pengumpulan data dari 30 hari sampai 1 tahun dilakukan secara retrospektif. Kedua, komplikasi yang diamati pada sampel dengan biomarker sangat sedikit dimungkinkan karena penggunaan sampel yang sedikit pula.
Penggunaan antibiotik yang bijaksana pada pasien pneumonia, baik bakteri yang didapatkan di rumah sakit maupun didapatkan di komunitas, memberikan kontribusi yang besar pada pengurangan tingkat resistensi pasien terhadap antibiotik.
Dapatkan Tatalaksana terbaru Pneumonia dengan mengikuti Live CME Update Pneumonia Dewasa hanya di Sejawat Indonesia.
Penulis: Suci Sasmita, S.Ked.
Referensi:
- Uranga A, Artaraz A, Bilbao A et al. Impact of reducing the duration of antibiotic treatment on the long-term prognosis of community acquired pneumonia. BMC Pulm Med 2021.
- Menéndez R, Cilloniz C, España PP, Almirall J, Uranga A, Méndez R, et al. Community-Acquired Pneumonia. Spanish Society of Pulmonology and Thoracic Surgery (SEPAR) Guidelines. 2020 Update. Arch Bronconeumol. 2020.
Log in untuk komentar