sejawat indonesia

Penggunaan Biomarker sebagai Faktor Prognostik pada Pasien Pediatri dengan Sepsis

Sepsis, khususnya sepsis berat dan syok septik, merupakan penyebab utama kematian pediatrik di dunia. Di Amerika Serikat sendiri, terdapat 72.000 anak yang dirawat inap dengan spesis dengan mortality rate yang dilaporkan sebanyak 25%. 

Definisi sepsis pada pediatri terus mengalami perkembangan dan terdapat perbedaan deifinisi klinis maupun pada penelitian yang menyebabkan sulitnya menerapkan penelitian yang ada di praktik sehari-hari.

Pada tahun 2005, international pediatric sepsis consensus conference (IPSCC) yang mendefinisikan sepsis dan syok sepsis pada pediatri diterima secara internasional dan digunakan secara luas dalam praktik klinis. IPSCC mendefinisikan sepsis sebagai systemic inflamatory response syndrome (SIRS) yang berhubungan dengan infeksi.

SIRS ditegakkan jika memenuhi dua dari empat kriteria berikut :

  • Suhu tubuh > 38.5 C atau < 36 C.
  • Takikardia yang didefinisikan sebagai rata-rata frekuensi denyut jantung > 2 standar deviasi (SD) atau diatas nilai normal menurut umur.
  • Frekuensi pernafasan > 2 SD menurut umur.
  • Leukositosis atau leukopenia berdasarkan umur atau ditemukannya > 10% neutrofil imatur.
Namun karena definisi tersebut kurang memuaskan dalam mendifinisikan SIRS, maka pada tahun 2016 terbentuk definisi baru sepsis oleh SEPSIS 3 di mana sepsis didefinisikan sebagai keadaan mengancam jiwa akibat disfungsi organ yang disebabkan oleh disregulasi sistem imun akibat infeksi.

Disfungsi organ didasarkan pada sistem skoring SOFA (Sequential Organ Failure Assessment) di mana didapatkan disfungsi organ jika skor SOFA > 2. Definisi SEPSIS 3 sebenarnya digunakan pada pasien dewasa. Namun karena definisi sepsis oleh IPSCC belum tervalidasi sempurna, beberapa klinisi menggunakan SEPSIS 3 karena belum terdapat gold standard dalam definisi sepsis pada pediatri.

Adanya biomarker yang terbentuk akibat respon infeksi dapat digunakan sebagai screening, diagnosis, prognosis (stratifikasi risiko), monitoring respon terapi, dan pemanduan penggunaan antibiotik yang rasional.

Sayangnya, studi terhadap biomarker pada sepsis pediatri masih terbilang jarang. Beberapa studi menggunakan biomarker seperti C-Reactive protein (CRP), prokalsitonin, interleukin 6,8, dan 18, human neutrophil gelatinase (HNG) dan proadrenomedullin.

Pemantauan biomarker ini mungkin berguna dalam tatalaksana sepsis pediatri. Biomarker merupakan karakteristik yang dapat diukur dan diamati secara objektif sebagai indikator dari respon biologis yang normal, proses patologi, dan penilaian respon terhadap terapi.

Bukti penggunaan biomarker telah dipelajari dan penggunaannya harus secara efisien untuk kepentingan evaluasi klinis. Penggunaan biomarker untuk screening dan diagnosis telah diteliti dalam beberapa tahun terakhir.

Biomarker untuk mendeteksi secara dini kondisi sepsis dengan prognosis yang buruk maupun kemungkinan adanya perbaikan dari kondisis sepsis telah tersedia. Biomarker ini tampak menjanjikan dalam penggunaannya untuk mendeteksi risiko maupun prognosis sepsis pada anak. 

Biomarker pada Sepsis Pediatri

C-Reactive Protein (CRP)

C-Reactive Protein (CRP) merupakan salah satu biomarker yang telah lama digunakan pada sepsis pediatri. CRP merupakan protein fase akut non-spesifik yang meningkat 4-6 jam setelah paparan inflamasi (akibat infeksi atau non-infeksi) dan meningkat dua kali lipat tiap 8 jam dengan waktu puncak 36 hingga 50 jam setelah paparan stimulus.

Kadar CRP akan menurun dengan cepat ketika keadaan inflamasi telah mengalami resolusi. Kadar CRP ini juga tinggi pada infeksi bakteri invasif. Studi oleh Mc william (2010) pada neonatus maupun balita ditemukan peningkatan kadar CRP kurang dari 10 mg/L pada sampel yang diambil dalam interval 24 jam sangat berguna untuk menepis kemungkinan adanya infeksi dan/atau sepsis.

Peningkatan CRP kurang dari 10 mg/L juga berguna untuk menghentikan penggunaan antibiotik dan mencegah penggunaan antibiotik dalam jangka waktu yang lama. Sebuah studi dilakukan oleh Patil S (2016) pada neonatus dengan sepsis. Pada studi tersebut, ditemukan bahwa dengan pengukuran kadar CRP dalam 48 jam pertama pemberian antibiotik dapat dilihat apakah agen kausatif penyebab sepsis sensitif dengan pemberian regimen antibiotik atau tidak.

Oleh karena itu, pengukuran CRP serial dapat menjadi prediktor yang bagus guna pemberian antibiotik empiris yang adekuat .


Prokalsitonin (PCT)

Prokalsitonin (PCT) merupakan prekusor dari hormon kalsitonin yang normalnya disekresikan oleh sel neuroendokrin C pada tiroid yang biasanya kadarnya rendah dalam serum.

Pada kondisi infeksi sistemik, kadar PCT ini juga disekresikan oleh beberapa jaringan lain sehingga menyebabkan peningkatan kadarnya dalam serum. Oleh karena itu PCT dianggap sebagai biomarker yang dapat diandalkan dalam membedakan antara sepsis dan kondisi SIRS non infeksi.

PCT dapat berguna untuk menentukan apakah pasien perlu diberikan antibiotik ataukah tidak, karena kadarnya dalam serum rendah pada kondisi infeksi virus akibat adanya interferon gamma. Jadi kadar PCT sangat tergantung dari ada tidaknya infeksi bakteri.

Nilai PCT < 0.5 ng/ml menandakan adanya inflamasi yang tidak disebabkan oleh infeksi, dan nilai PCT >2.0 ng/mL sugestif untuk sepsis. Sebuah meta analisis pada tahun 2014 melihat kadar PCT pada anak dengan demam (7 studi dengan 2317 total sampel).

Dari studi ini didapatkan kadar PCT kurang dari 0.3 ng/dl berguna untuk menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi berat ketika di gunakan bersamaan dengan evaluasi klinis pasien. Kadar PCT dengan pertimbangan klinis dapat menjadi kunci dalam menentukan pendekatan terapeutik pada pasien.

Penelitian-penelitian yang menggunakan pengukuran PCT serial pada pasien rawat inap menemukan hubungan yang spesifik dalam penggunaan PCT sebagai biomarker tingkat keparahan penyakit, adanya kegagalan organ multipel dan peningkatan mortalitas. Studi ini membuktikan pengukuran PCT serial dapat dijadikan sebagai marker untuk prognosis.  


Interleukin-6 (IL-6)

IL-6 (interleukin 6) merupakan sitokin pro inflamasi yang telah dipelajari dalam beberapa tahun terakhir sebagai salah satu biomarker pada sepsis. Walaupun begitu, hanya sedikit studi yang dilakukan pada pasien pediatri.

Kadar IL-6 ditemukan lebih tinggi pada anak dengan sepsis dibandingkan kondisi inflamasi sistemik non-infeksi. Akurasi dalam diagnostik akan meningkat jika IL-6 diukur bersamaan dengan biomarker lain, seperti CRP.

Lebih jauh lagi, peningkatan IL-6 juga dikaitkan dengan prognosis sepsis yang lebih buruk, dan penggunaannya dalam praktik klinis dapat memberikan predikisi ada tidaknya sepsis berat. Walaupun begitu, penggunaan IL-6 dalam praktik klinis masih terbatas karena bukan hanya ketersediaan dan harganya yang mahal, tapi juga karena kurangnya studi yang mempertegas penggunaan biomarker ini pada studi pediatrik.

Interleukin-8 (IL-8)

Interleukin 8 (IL-8) merupakan sitokin pro inflamasi yang digunakan sebagai faktor prediksi derajat keparahan pada anak. IL-8 berfungsi untuk kemotaksis dan aktivasi neutrofil sehingga dapat dipakai sebagai biomarker dalam stratifikasi risiko.

Pada sebuah studi oleh wong HR (2007), ditemukan kadar IL-8 yang lebih tinggi pada pasien anak yang meninggal akibat syok septik dibandingkan yang hidup. Penelitian sama yang dilakukan oleh wong juga menemukan kadar serum IL-8 lebih rendah sama dengan 220 pg/ml dapat meningkatkan kemungkinan hidup pasien dengan syok septik sebanyak 95%.  

Interleukin-18 (IL-18)

Interleukin 18 (IL-18) merupakan sitokin pro inflamasi yang diproduksi oleh makrofag yang berperan dalam imunitas selular. Peningkatan kadar IL 18 ditemukan pada penyakit inflamasi seperti rheumatoid arthritis, infeksi pada neonatus, maupun sepsis.

Studi pada pasien dewasa dengan sepsis ditemukan peningkatan kadar IL-18 yang dikaitkan dengan faktor prognosis yang buruk. Walaupun begitu, studi yang dilakukan pada pasien pediatri hanya sedikit, oleh karena itu diperlukan studi lebih lanjut untuk penggunaan IL 18 sebagai biomarker pada sepsis pediatri.  

Human Neutrophil Gelatinase

Human neutrophil gelatinase atau NGAL (neutrophil gelatinase-associated lipocalin) merupakan biomarker yang sangat berguna untuk mendeteksi adanya gangguan ginjal akut.

NGAL urine telah disetujui sebagai biomarker dini untuk mendeteksi adanya gangguan ginjal akut. Sayangnya, penggunaan NGAL serum disetujui sebagai biomarker adanya gangguan ginjal akut pada pediatri dengan syok septik. Penggunaan NGAL pada kondisi syok septik pediatri membutuhkan penitian lebih lanjut.

Penggunaan NGAL urine maupun serum sebagai biomarker adanya gangguan ginjal dini bermanfaat untuk menentukan terapi dini. Contoh dengan memeriksakan NGAL yang lebih awal kita dapat menghindari penggunaan antibiotik nefrotoksik, pembatasan intake cairan, atau bahkan sebagai penentuan terapi pada proses hemodialisis.

Oleh karena itu, dengan memeriksa biomarker NGAL dapat meningkatkan prognosis pasien-pasien sepsis dengan gangguan ginjal.  

Adrenomedullin (ADM)

Adrenomedullin (ADM) merupakan peptida yang diproduksi oleh berbagai jaringan ketika terjadi stress fisiologis. Peptida ini memiliki sifat anti-inflamasi, anti-mikrobial, dan vasoregulasi.

Walaupun menguntungkan, biomarker ini cepat dimetabolisme dalam sirkulasi sehingga sulit untuk diukur. Oleh karena itu prekusor peptida ini, yaitu proadrenomedullin (proADM) lebih diperhatikan penggunaannya sebagai biomarker karena kadarnya yang stabil dalam darah sehingga lebih mudah diukur.

Peningkatan ADM pada sepsis terjadi akibat:

  1. Adanya ekspresi gen kalsitonin saat terjadinya infeksi sehingga sintesis ADM meningkat.
  2. Endotoksin dari bakteri dan sitokin pro inflamasi yang meningkatkan ekspresi ADM pada beberapa jaringan.

Sebuah studi observasional yang dilakukan pada 95 pasien sepsis pediatri yang membutuhkan ventilasi mekanik dan farmakologi inotropik menunjukkan peningkatan level MR-pro ADM.

Biomarker ini berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit dan dapat digunakan dalam stratifikasi risiko dan prognosis dengan angka prediktif rata-rata lebih tinggi dibandingkan PCT dan CRP.

Penggunaan biomarker untuk stratifikasi risiko pada pasien pediatri dengan sepsis tampak menjanjikan di masa depan walaupun diperlukan lebih banyak penelitian. Sejauh ini, belum ada satu biomarker yang dapat digunakan sebagai prognostik sepsis.

Dengan respon imun yang kompleks dan berbeda pada tiap-tiap anak, maka mustahil dengan penggunaan satu jenis biomarker saja untuk menentukan prognosis pasien sepsis.

Sejauh ini penggunaan biomarker CRP dan PCT dianggap sebagai kunci penentuan prognosis dan terapi dalam praktik klinis. Contohnya, pada pengukuran prokalsitonin dapat menjadi panduan dalam memulai maupun menghentikan pemberian terapi antibiotik pada pasien infeksi berat.

Referensi:

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaSkoring Terbaru Badai Sitokin pada Pasien COVID-19

Event Mendatang

Komentar (1)
User
Posted at 28 December 2021 14:22

Siap

Komentar

Log in untuk komentar