Peran Kortikosteroid pada Pasien Pneumocistis Jiroveci Koinfeksi HIV
Pneumocystis jiroveci pneumonia (PCP) merupakan infeksi oportunistik paling sering pada pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pada pasien dengan infeksi PCP dan HIV, tingkat mortalitasnya berkisar antara 10-20% saat infeksi awal, lama kelamaan meningkat seiring dibutuhkannya ventilasi mekanik. PCP dikaitkan dengan angka mortalitas yang tinggi pada pasien dengan gangguan imunitas selular maupun pada pasien dengan tumor solid, dan merupakan penyebab terjadinya gagal napas akut yang sering pada pasien yang dirawat ICU.
Salah satu terapi yang sering digunakan sebagai terapi tambahan pada kondisi ini adalah Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid sebagai terapi anti-inflamasi tambahan pada pasien PCP diduga untuk mengurangi cedera pada paru. Penggunaan Steroid diindikasikan sebagai terapi tambahan pada pasien PCP berat, yaitu pasien dengan tekanan oksigen arteri kurang dari 70 mmHg. Teori penggunaan steroid pada pasien PCP didasarkan penelitian yang menemukan neutrofil dan produk-produk neutrofil pada cairan bronchoalveolar lavage (BAL) pasien dengan PCP berat. Tingkat neutrofil tersebut berkorelasi dengan risiko keluaran/prognosis yang buruk. Produk-produk neutrofil merupakan mediator yang penting dalam cedera paru pada Respiratory Distress Syndrome (RDS).
Kortikosteroid mengurangi migrasi neutrofil menuju tempat inflamasi dan mengurangi kemampuan penghancuran oleh neutrofil dan makrofag. Kortikosteroid juga mengganggu pelepasan dan kerja dari banyak mediator inflamasi dan sekuelnya. Proses inflamasi Pneumocystis menyebabkan kerusakan akut yang reversible dan terkadang juga menyebabkan kerusakan paru yang ireversibel pada beberapa pasien. Respon inflamasi mencakup invasi sel mononuklear pada interstisiel paru, dan juga akumulasi cairan protein dan organisme pada alveoli.
Mekanisme kortikosteroid pada PCP didasarkan pada mekanisme anti-inflamasi dan pengaruhnya terhadap imunosupresif. Kortikosteroid menekan proses inflamasi baik akut maupun kronik dengan menghambat beberapa komponen esensial dalam reaksi inflamasi. Klinisi meyakini pemberian anti pneumocystis menyebabkan percepatan inflamasi dan lebih jauh lagi desaturasi oksigen sering terjadi pada tiga hingga lima hari awal terapi.
Masih belum dapat dijelaskan mengapa terapi mencetuskan gangguan pada fungsi paru, namun hipotesanya, obat anti pneumocystis mencetuskan eksaserbasi inflamasi pada paru. Berdasarkan hipotesa tersebut, dilakukan beberapa studi untuk menilai keuntungan penggunaan kortikosteroid pada pasien PCP dengan HIV. Studi dilakukan pada tahun 1990 di lima tempat berbeda, yaitu Vancouver, California, Miami, Eropa, dan San Fransisco. Hasil studi tersebut digunakan sebagai konsensus yang selama ini dipakai klinisi dalam memberikan terapi tambahan KS pada pasien PCP-HIV. Sejak itu, banyak klinisi yang melakukan studi-studi lain untuk menindaklanjuti studi tersebut.
Baca Juga:
- Pro dan Kontra Penggunaan Kortikosteroid pada Pasien Tuberkulosis
- Kortikosteroid, Mencegah Peradangan Setelah Operasi Katarak
Manfaat pemberian kortikosteroid lebih awal (EACST: early adjunctive corticosteroid therapy) masih kontroversial. Studi yang dilakukan oleh Pareja et. al. pada tahun 1998 menemukan bahwa EACST dapat memperpendek durasi penggunaan ventilasi mekanik dan lama perawatan ICU pada pasien PCP, namun tidak menunjukkan adanya manfaat klinis dari tingkat mortalitas, namun beberapa beberapa penelitian lain menunjukkan terapi kortikosteroid tambahan dapat mengurangi angka kematian, kegagalan napas ataupun desaturasi oksigen pada pasien dengan PCP moderate-severe.
Sebuah meta-analisis dari 6 penelitian acak terkontrol pada pasien PCP-HIV menemukan penurunan angka relatif kematian pada penggunaan terapi tambahan kortikosteroid sebanyak 46% selama 1 bulan, dan 33% pada bulan ke 3-4. Namun penelitian ini hanya berlaku di negara maju di mana penggunaan anti-retroviral aktif dgunakan sebagai terapi (HAART: Highly Active Anti-retroviral Therapy).
Banyak kekhawatiran dari para klinisi, bahwa penggunaan KS pada kondisi immunocompromized seperti HIV dapat memperburuk dan membuka peluang infeksi opportunistik lain sehingga menimbulkan komplikasi yang fatal, Namun pemberian kortikosteroid tambahan terbukti tidak meningkatkan risiko infeksi oportunistik lain pada pasien HIV.
Sebuah penelitian Cohort Besar yang dilakukan oleh Pareja (1998) dengan memabandingkan pemberian KS standar selama 21 hari dengan tappering off, tidak menemukan perbandingan dari segi komplikasi infeksi opportunistik yang terjadi pada pasien PCP-HIV. Walaupun pada penelitian ini terjadi peningkatan insiden kandidiasis esofagus pada kedua grup sampel.
PCP adalah infeksi yang berpotensi mengancam jiwa yang dapat terjadi pada individu dengan immunocompromised. Insiden PCP terus menurun dengan berkembangnya guideline dan implementasi profilaksis PCP. Beberapa penelitian menunjukkan terapi kortikosteroid tambahan dapat mengurangi angka kematian, kegagalan napas ataupun desaturasi oksigen pada pasien dengan PCP moderate-severe. Terapi kortikosteroid sebaiknya dilakukan saat memulai terapi anti-pneumocystis dalam 24 sampai 72 jam setelah diberikan. Mekanisme kortikosteroid pada PCP didasarkan pada mekanisme anti-inflamasi terutama perannya dalam menghambat neutrofil.
Banyak klinisi meyakini pemberian anti pneumocystis menyebabkan percepatan inflamasi. Dikarenakan proses inflamasi meningkat saat terapi anti pneumocystis dimulai, maka terapi kortikosteroid bermanfaat sebelum terjadi inflamasi yang menyebabkan kerusakan luas pada paru. Hingga saat ini penelitian mengenai pemberian terapi kortikosteroid pada pasien non-HIV jarang dilakukan sehingga rekomendasi untuk pemberian terapi kortikosteroid tersebut belum ada.
Patofisiologi dan respon imunitas berbeda antara pasien PCP dengan atau tanpa infeksi HIV. Hal ini yang menjelaskan perbedaan respon terapi kortikosteroid pada kedua grup. Beberapa studi sebelumnya melaporkan bahwa pasien HIV memiliki jumlah neutrofil yang lebih rendah dan eosinofil yang lebih tinggi dibandingkan pasien PCP immunocompromised tanpa HIV. Hal ini yang menyimpulkan bahwa pemberian terapi tambahan kortikosteroid tidak bermanfaat pada pasien dengan PCP-non HIV.
Ketahui lebih banyak berbagai informasi mengenai penanganan kondisi/penyakit yang terkait dengan sistem pernapasan dari artikel-artikel yang ada di Sejawat Indonesia. Jangan lupa juga untuk mengakses berbagai topik di Sejawat CME untuk menambah pemahaman tentang penanganan terbaru dari berbagai kondisi dan penyakit.
Referensi:
- Briel M, Bosacci R, Furrer H. Adjunctive corticosteroids for Pneumocystis jiroveci pneumonia in patients with HIV infection: a meta-analysis of randomised controlled trials. 2005.
- Pareja JG, Garland R, Koziel H: Use of adjunctive corticosteroids in severe adult non-HIV Pneumocystis carinii pneumonia. Chest. 1998.
- Overview of Pneumocystis jiroveci Pneumonia, Shelley A Gilroy, MD, FACP, FIDSA, 2019.
Penulis: dr. Dody Abdullah Attamimi
Log in untuk komentar