sejawat indonesia

Polemik RUU Pendidikan Kedokteran Antara Kualitas dan Kuantitas Yang Tidak Searah

Perbedaan pandangan yang tajam antara pemangku kepentingan mengenai Revisi Undang-Undang Pendidikan Kedokteran, yang naskah akademiknya dirilis tahun 2017 lalu, tak menyisahkan penyelesaian. Bahkan, akhir-akhir ini kondisi perbedaan pandangan semakin memanas, mengingat RUU Pendidikan Kedokteran  telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU prioritas 2021. Pada dasarnya, masalah perbedaan pandangan ini hadir bukan karena Revisi dari UU Pendidikan Kedokteran Tahun 2013. Karena, pada kenyataannya roda ekosistem terus bergulir, sedikit banyaknya tatanan social juga terbentuk. Dari distribusi penyakit, gaya hidup, lingkungan, kuatnya perdagangan bebas dab globalisasi. Senantiasa mengharuskan adanya pembaruan, sama halnya dengan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran. Bebrapa yang menjadi substansi yang menjadi point issue yang harus dilakukan revisi diantaranya, pendirian Fakultas Kedokteran (FK) dan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG), seleksi calon mahasiswa, pembiayaan pendidikan kedokteran,standar kompetensi dokter, dokter magang, uji kompetansi, adaptasi, pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan, ijazah, sertifikasi,kompetensi,sertifikasi profesi,organisasi profesi,konsul kedokteran Indonesia, Dokter Layanan Primer dan distribusi dokter. Dari beberapa substansi yang ada, merupakan celah yang akan ditambal. Setidaknya sebagai usaha memenuhi hak rakyat atas pelayanan kesehatan, diantaranya diurai dalam beberapa tujuan, memberi kepastian hukum kedokteran,mewujudkan kesempatan pemerataan pendidikan, mewujudkan penjaminan mutu, menghasilkan dokter yang kompeten, dan memenuhi keberadaan dokter di Indonesia. Salah satu bagian penting pada unsur pemberian hak masyarakat atas kualitas kesehatan. Kualitas dimaksudkan bahwa pelayanan kesehatan harus memenuhi standar layak bagi kemanusiaan.  Keberadaan dokter di seluruh Indonesia, dari perkotaan sampai pelosok wilayah masih menjadi masalah yang sukar untuk diselesaikan. Berdasarkan standar yang ditetapkan oleh WHO perbadingan kebutuhan dokter berdasarkan pada jumlah masyarakat adalah 1 : 1000, saat ini Indonesia masih berada pada perbandingan 0,6:1000. Setiap tahunnya kapasitas lulusan dokter yang siap praktek hanya 12.000 jika dibandingan dengan jumlah penduduk sebanya 2,4 juta maka dibutuhkan waktu 10 tahun untuk bisa memenuhi perbandingan ideal, dalam kapasistas jumlah penduduk saat ini. Namun, hal yang tak bisa kita nafikkan bahwa jumlah penduduk dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, mortality rate mengalami penurunan. Jadi, angka 10 tahun ini masih memilki potensi yang besar untuk terus bertambah. Dalam hal pembukaan Fakultas Kedokteran bukan hal yang salah dan keliru, melainkan dengan penambahan kuantitas sebagai solusi dari kurangnya pemerataan dokter di Indonesia harus pula diiringi oleh peningkatan kualitas. Demi menjawab kurangnya distribusi pemerataan dokter di wilayah Indonesia, salah satu solusi yang dihadirkan adalah dengan pembukaan fakultas kedokteran. Pada awal tahun 2000, Indonesia memilki 33 Fakultas kedokteran. Tahun 2007, telah bertambah menjadi 71 Fakultas Kedokteran. Pada tahun 2009, naik secara signifikan hingga menjadi 71 Fakultas Kedokteran Swasta yang tersebar di seluruh Indonesia. Pada pertengahan tahun 2016, jumlah Fakultas kedokteran suddah mencapai 75. Jumlah yang terus mengalami peningkatan dengan dibukanya ijin pendirian bagi 8 Fakultas Kedokteran baru pada tahun 2017, sehingga pada tahun 2018 ini, terdapat 83 Fakultas Kedokteran di Indonesia dengan 35 Fakultas Kedokteran Negeri dan 48 Fakultas Kedokteran Swasta. Dan hingga pada tahun 2021 total jumlah Fakultas Kedokteran 91, terdiri dari 40 Fakultas Kedokteran Negeri dan 51 Fakultas Kedokteran Swasta. Namun, dengan pembukaan Fakultas Kedokteran yang baru, tak urung turut pula menyisahkan perbedaan pandangan yang cukup tajam, pembukaan Fakultas Kedokteran maharuskan kualitas lulusan jalan beriringan. Lemahnya pengawasan, pembinaan dan pengelolaan dari kemenristek dan Dikti menyababkan kurang progresifnya peningkatan mutu dari FK yang sudah ada. Hal ini terlihat dari peningkatan akreditasi yang tidak signifikan dari FK-Fk yang berdiri. Dari data Kementrian Pendidkan, Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi Akreditasi Program Studi S1 dan Profesi Kedokteran dari total Program Studi akreditasi A mencapai 33%, Akreditasi B 47%, dan Akreditasi C 20 %. Selain itu, belum ada aturan yang tegas mengenai syarat pembentukan Fakultas Kedokteran, akibatnya banyak FK yang didirikan tidak sesuai dengan kaidah dan tidak berdasar pada analisis kebutuhan. Sentralisasi pembukaan Fakultas Kedokteran adalah salah tindakan yang tidak memuat analisa keadaan, pembukaan berpusat di perkotaan besar, sedangkan kebutuhan dokter lebih banyak dikeluhkan pada wilayah pelosok negeri. Selain pembukaan Fakultas kedokteran yang menyisahkan banyak tanda Tanya. Ujian Kompetensi pada UU Pendidikan Kedokteran nomor 20 Tahun 2013 yang mangharuskan setiap mahasiswa pendidikan profesi kedokteran (MPPD) mengikuti Ujian Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Dokter (UKMPPD). Pada naskah akademik Revisi Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini, dihilangkan. Peniadaan penjaminan mutu pendidikan dan layanan secara objektif ini, memberikan pandangan yang berbeda secara tajam utamanya,di antara Kementrian pendidikan,kebudayaa, riset dan tekhnologi (kemendikbud); Kementiaran kesehatan (kemenkes); mahasiswa profesi pendidikan dokter ((MPPD). Landasan tentang Uji Kompetensi harus tetap diatur dalam Undang-Undang ini adalah upaya dalam meningkatkan kualitas lulusan dokter. Dan, salah satu landasan objektif dalam kualifikasi dokter yang siap memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan standar yang berlaku secara umum di semua Fakultas Kedokteran. Dengan mengedepankan kompetensi capaian dokter umum. Namun, di sisi yang lain Kelulusan Mahasiswa Kedokteran dalam Ujian Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Dokter (UKMPPD) dari 2014 sampai dengan 2020 mengalami peningkatan dari 67% mencapai 81 % untuk mahaisiswa ujian kompetensi pertama kali. Namun, beda halnya dengan mahasiswa jumlah retaker yang sama sekali tidak include di dalam angka 81% ini. Dari data terakhir julah mahasiswa retaker, yang belum mebdapatkan izin berpraktek karena belum melulusi UKMPPD adalah 3.500. solusi yang dihadirkan dengan peniadaan Ujian Kompetensi yang terdiri dari CBT dan OSCE adalah dengan objektifitas penilaian mahasiswa dalam rotasi klinik yang dijalani kurang lebih 2 tahun. Untuk angka 3.500 mahasiswa yang tidak mendapatkan izin berpraktek, memberikan sumbangsi yang nyata dalam pendistribusian dokter di seluruh wilaya Indonesia. Jangka waktu 10 tahun sebagai ramalan perbandingan dokter dan masyarakat akan semakin panjang. Pada dasarnya, setiap kebijakan yang diadakan adalah sebuah upaya dalam mencapai titik temu peningkatan pelayanan kesehatan pada masyarakat di seluruh wilayah negeri, dari perkotaan sampai pedesaan, dari masyarakat dengan kelas ekonomi tinggi sampai rendah. Pengadaan jalur-jalur afirmasi untuk sampai pada titik tersebutlah yang memberikan sudut pandang yang berbeda. Namun, apapun perbedaan tersebut sejatinya harus berdasar pada evidence based policy.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaEfek Anti-Inflamasi Asam Lemak Omega 3 (EPA Dan DHA) Terhadap Jaringan Otak

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar