sejawat indonesia

Risiko Patah Tulang pada Pengobatan Diabetes Melitus

Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang terjadi ketika kadar glukosa meningkat dalam darah karena ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi hormon insulin, atau ketidakmampuan mempergunakan hormone insulin secara efektif. 

Saat ini, diperkirakan ada 463 juta penderita Diabetes Melitus (DM) yang berkisar di antara usia 20-79 tahun. Kelompok usia ini terdiri dari 9,3% dari populasi dunia. Seiring waktu diperkirakan jumlah tersebut akan terus mengalami peningkatan hingga 578 juta (10,2%) pada tahun 2030 dan pada tahun 2045 mencapai angka 700 juta jiwa, atau sekitar 10,9%. 

Diabetes melitus sebagai penyakit degeneratif memberikan implikasi klinis yang berarti pada organ tubuh lainnya seperti: otak, ginjal, saraf tepi, mata, kaki dan baru-baru ini para peneliti menghubungkan antara kejadian Diabetes Melitus yang sering kali beriringan dengan osteoporosis. Telah diketahui bahwa baik Diabetes Melitus maupun osteoporosis merupakan gangguan metabolisme yang rumit. 

Selain itu, terdapat lebih dari 100 jenis komplikasi yang terlibat dalam penyakit, saat ini diabetes dikenal sebagai penyakit yang memiliki komplikasi terbanyak. 

Peneliti-peneliti di Amerika dan Eropa melakukan penelitian mengenai risiko patah tulang pada pasien Diabetes Melitus dengan menjelasakan mekanisme kerapuhan akibat pengobatan anti diabetes. Sebuah meta-analisis sebelumnya menunjukkan bahwa pada Diabetes Melitus menunjukkan adanya peningkatan patah tulang (risiko relatif). Selain itu, frekuensi patah tulang pada pasien DM tipe 1 lebih besar dari DM tipe 2. 

Ditinjau dari patogenesis perubahan kualitas tulang, didapatkan hasil yang Multifactoral di antaranya:

  1. Deposition of Advance Glycation End-Products (AGEs) pada matriks tulang,
  2. Perubahan mikro-arsitektur dan kekuatan tulang.
  3. pergantian marker serum tulang. 
Baca Juga:

Beberapa terapi atau pengobatan Diabetes Melitus yang berpotensi memberi efek pada kesehatan tulang:

Sulfonilurea

Sulfonilurea, yang namanya berasal dari bentuk fenil-sulfonilurea, menginduksi peningkatan sekresi insulin dengan mengikat K+ yang bergantung pada adenosine trifosfat (ATP) pada membran sel beta pankreas. 

Sulfonilurea telah terbukti menjadi pengganti yang cukup rasional.  Sebuah meta-analisis dari 11 studi yang mengevaluasi peran sulfonilurea pada risiko patah tulang lebih dari 255.644 pasien dengan diabetes menunjukkan bahwa penggunaan sulfonylurea saat ini dikaitkan dengan peningkatan 14% dalam risiko patah tulang. 

Namun, pada studi praklinis, dampak langsung sulfunilurea terhadap patah tulang telah dihilangkan sehingga dianggap sebagai suatu alternatif pengobatan yang baik. Kendati demikian, studi terbaru menunjukkan risiko patah tulang pada pasien DM hampir dua kali lipat. Dengan demikian, pemberian sulfunirurea harus melalui tahapan screening yang ketat terhadap pasien terlebih dahulu. 

Thiazolidinedione

Thiazolidinedione (TZD), yang meliputi rosiglitazone dan pioglitazone, memfasilitasi penyerapan insulin dan umumnya digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus. TZD diketahui memiliki peran penting selain mengatasi masalah terkait resistensi insulin, seperti sindrom ovarium polikistik. 

Penggunaan TZD saat ini dikaitkan dengan peningkatan risiko patah tulang pinggul dalam studi kohort yang melibatkan lebih dari 5.000 pasien yang menjalani pengobatan TZD. Dalam uji coba acak, double-blind, placebo terkontrol, pengobatan dengan pioglitazone sedikit meningkatkan risiko patah tulang. 

Selanjutnya, pada studi meta-analisis, juga telah dilaporkan risiko peningkatan patah tulang dan jauh lebih serius risiko yang didapat pada pasien wanita dibandingkan dengan laki-laki.  

Penelitian lebih jauh menemukan bahwa frekuensi patah tulang per 100 orang/tahun sekitar 2,74 untuk rosiglitazone. Para peneliti menemukan bahwa pengobatan rosiglitazone jangka panjang pada wanita pramenopause dan pasca menapouse akan terjadi peningkatan risiko patah tulang.  

Terapi Berbasis Incretin  

Hormon gastrointestinal berupa insulin yang disekresikan pada usus halus sebagai respon terhadap konsumsi makanan: glukosa dependent insulinotropic polypeptide (FIP) dan glucagon like peptide-1 (GLP-1). Dua pilihan terapi yang berbeda telah didentifikasi untuk mengkompensasi efek incretin rendah pada pasien DM, baik dengan cara menghambat dipeptidyl dipeptidase-4 (DPP-4), enzim yang dengan cepat menonaktifkan GIP dan GLP-1 seperti sitagliptin, vildagliptin, saxagliptin, linaglipitin, aloggliptin atau dengan menghambat duplikasi GLP-1 (liraglutide, exenatide, dulaglutide, lixisenatide). 

Obat ini meningkatkan regulasi glukosa dengan risiko rendah hipoglikemia dan dapat digunakan secara efesien dalam pemakaian jangka panjang. Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa incretin dapat memiliki dampak yang menguntungkan pada massa dan kekuatan tulang, dan penelitian terbaru telah mengungkapkan bahwa agonis reseptor GLP-1 (GLP1RA) dan inhibitor DPP-4 tidak memiliki dampak klinis yang substansial pada tulang rangka. 

Sebagai perbandingan, studi epidemologi menunjukkan bahwa penggunaan inhibitor DPP-4 bersamaan dengan metformin pada pasien dengan DM telah dikaitkan dengan penurunan risiko patah tulang. Penanda serum homeostatis kalsium (ALP, kalsium, dan fosfat) tetap tidak berubah selama terapi exenatide dalam satu uji klinis. Selain itu, tidak ada hubungan substansial antara penggunaan GLP1RA dan risiko patah tulang pada DM pada manusia. 

Insulin

DM tipe 2 ditandai dengan peningkatan glukosa serum dan kadar insulin. Dengan perkembangan penyakit yang terus dapat terjadi resistensi insulin, menyebabkan penurunan insulin secara progresif, sehingga harus diobati dengan insulin tambahan. 

Terapi insulin pada uji coba tikus meningkatkan kontrol glikemik, tetapi tidak meningkatkan kepadatan tulang. Insulin dikaitkan dengan 1,4 hingga 2 kali lipat peningkatan risiko patah tulang dibandingkan tanpa penggunaan insulin. 

Namun, tidak semua penelitian menunjukkan efek negatif insulin dan risiko patah tulang yang tinggi mungkin disebabkan oleh peningkatan risiko jatuh pada episode hipoglikemik yang dikombinasikan dengan terapi insulin. Temuan dari HABC (Health, Aging, and Body Composition) menunjukkan risiko penurunan pada pasien yang diobati dengan insulin pada tingkat HbA1C 6%. 

Dari uraian di atas, menunjukkan kemungkinan multifactorial fraktur pada DM. Peningkatan risiko muncul dari banyak faktor. Pada pasien DM harus melakukan screening osteoporosis karena risiko patah tulang yang lebih tinggi, dan akan diperparah dengan beberapa pengobatan DM yang memiliki pengaruh terhadap metabolisme tulang. 

Data klinis lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi dampak pencegahan risiko patah tulang dalam strategi manajemen yang tersedia. 

Klik di sini untuk mengetahui tatalaksana terbaru Diabetes Melitus.

Penulis: Suci Sasmita, S.Ked. 

Referensi: 


Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPuasa dan Diabetes: Menentukan Tingkat Risiko dan Asupan Nutrisi

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar