Deep Brain Stimulator (DBS): Alternatif Perawatan Parkinson
Simulasi komputer 3D dari otak manusia: Implantasi elektroda DBS memungkinkan peneliti untuk mendapatkan wawasan tentang peran fungsional dari ganglia basal dan saluran saraf terkait (struktur dan saluran saraf di dalam lingkaran oranye). Sumber: Neumann/Charité
Smart Deep Brain Stimulator Baru-baru ini, para peneliti di University of Houston telah menemukan neuro biomarker untuk penyakit Parkinson. Temuan tersebut akan membantu untuk menciptakan stimulator ‘cerdas’ baru bagi otak (Next Generation Deep Brain Stimulator) yang mampu merespons kebutuhan spesifik pasien penyakit Parkinson. Mereka yang menderita penyakit ini sering menjalani stimulasi otak frekuensi tinggi. Terapi tersebut kerap digunakan untuk gangguan sistem saraf progresif yang memengaruhi gerakan. Namun, hasilnya masih kurang presisi. Saat ini, stimulator hanya dapat diprogram secara klinis dan tidak dapat beradaptasi dengan gejala penyakit yang berfluktuasi, meliputi kelambatan tremor atau ketidakmampuan untuk berjalan. Biomarker adalah kunci untuk meningkatkan teknologi agar lebih responsif. "Kami sekarang dapat membuat stimulator loop tertutup yang adaptif untuk merasakan gejala pasien, sehingga dapat membuat penyesuaian terhadap fluktuasi secara real time, dan pasien tidak lagi harus menunggu selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan sampai dokter dapat menyesuaikan perangkat," kata Nuri Ince, profesor teknik biomedis. Dia dan mahasiswa doktoral Musa Ozturk, penulis utama makalah ini, menerbitkan temuan mereka dalam jurnal Movement Disorders. Hampir 10 juta orang di seluruh dunia hidup dengan penyakit Parkinson. Di Indonesia, menurut data Perhimpunan Spesialis Saraf Indonesia, angka penderita Parkinson telah sampai pada 400.000 orang. Bahkan, di tahun 2030, secara global diprediksi penderitanya akan menyentuh angka 6,17 orang. Mendefinisikan ulang kopling Tim juga melaporkan pemahaman baru tentang elektrofisiologi penyakit Parkinson setelah memeriksa kopel frekuensi silang di nukleus subthalamic pada pasien dengan penyakit Parkinson, baik dalam keadaan OFF (sebelum pengobatan) maupun keadaan ON (setelah pengobatan). Kopel, interaksi antara gelombang otak, telah dilaporkan di masa lalu, tetapi signifikansi dan peran fungsionalnya belum dipahami dengan baik. Tim melaporkan bahwa dalam keadaan OFF, amplitudo osilasi gelombang otak frekuensi tinggi dalam kisaran 200-300Hz digabungkan dengan fase beta rendah (13-22Hz) pada semua pasien. Setelah transisi ke keadaan ON, tiga pola kopling yang berbeda diamati antara subjek. Di antara ini, pasien yang menunjukkan kopling ON antara osilasi tinggi-beta (22-30Hz) dan frekuensi tinggi dalam kisaran 300-400Hz memiliki peningkatan yang lebih besar secara signifikan di bradikinesia, atau lambatnya pergerakan, salah satu efek utama penyakit Parkinson. "Penelitian sebelumnya menunjukkan kopel hanya ada di ganglia basal dari pasien yang tidak diobati dan dianggap menghalangi otak untuk berfungsi dengan baik," kata Ozturk. "Kami menemukan bahwa kopel kuat juga ada pada pasien yang dirawat, meskipun pada frekuensi yang berbeda, jadi pada dasarnya kami menunjukkan frekuensi yang terlibat dalam dampak kopel, apakah efeknya negatif atau positif."Sumber:
-
Movement Disorders, 2019; DOI: 10.1002/mds.27800
-
Brain, 2018; DOI: 10.1093/brain/awy206
Log in untuk komentar