Tes DNA: Tingkat Partisipasi hingga Kekhawatiran Pasien
Tes DNA memungkinkan perempuan, baik yang terkena maupun berisiko kanker, untuk mempertimbangkan langkah-langkah menurunkan risiko mereka. Beberapa spesialis mengatakan bahwa masih terlalu sedikit perempuan yang bisa mendapatkan pengujian BRCA.
Sebagian besar kanker tidak disebabkan oleh mutasi BRCA--kanker ini menyumbang 5% hingga 10% kanker payudara dan 15% kanker ovarium--sehingga tes tersebut pun tidak untuk semua orang. Tetapi, adanya mutasi gen dalam keluarga, membuat berbagai pihak merekomendasikan agar dokter memeriksa perempuan yang memiliki kerabat dengan kanker yang terkait BRCA.
Mereka yang berisiko, harus didorong untuk melakukan pengujian genetik. Selain rekomendasi adanya anjuran yang lebih ketat dari dokter, kategori yang disarankan untuk melakukan pengujian genetika perlu diperluas. Dari kanker payudara atau kanker terkait BRCA lainnya seperti kanker ovarium, tuba fallopi, dan kanker peritoneum, perempuan yang dari garis leluhurnya cenderung mewarisi mutasi BRCA berisiko tinggi--seperti Yahudi Ashkenazi, hingga mereka yang pernah menderita kanker sejenis di masa lalu.
Mengapa masih perlu melakukan screening? “Sebab seorang pasien yang memiliki tumor yang diangkat pada satu payudara pada usia 40-an satu dekade yang lalu, ketika tes genetik belum hadir seperti sekarang, masih memiliki risiko lebih tinggi untuk kanker ovarium, atau menghadapi risiko yang lebih tinggi dari biasanya untuk tumor lain di jaringan payudara mereka yang tersisa, ataupun jenis lain yang terkait dengan mutasi BRCA,” kata Dr. Carol Mangione, seorang spesialis penyakit dalam di UCLA.
Tes ini juga dapat memperingatkan anak-anak perempuan atau kerabat lainnya akan potensi risiko bersama. “Kita perlu menyampaikan berita kepada dokter perawatan primer untuk melakukan penilaian ini dan untuk membuat rujukan.” Kelompok kanker memiliki rekomendasi yang serupa untuk pengujian BRCA, dan semakin mendesak agar pasien yang baru didiagnosis juga diuji, karena risiko yang diwariskan dapat memengaruhi pilihan yang mereka buat tentang operasi dan perawatan lainnya. Mengidentifikasi pembawa mutasi BRCA "dapat menyelamatkan nyawa, dan harus menjadi bagian dari perawatan medis rutin," ungkap Dr. Susan Domchek dari University of Pennsylvania.
Tetapi, masih terlalu sedikit perempuan berisiko tinggi yang mengetahui jika mereka memiliki mutasi BRCA. Termasuk, mereka yang telah memiliki pengetahuan awal tentang kanker. Sebagai contoh, berbagai kelompok/komunitas kanker telah lama merekomendasikan bahwa semua pasien kanker ovarium harus dites, tetapi beberapa penelitian telah menemukan pengujian dilakukan hanya pada kurang dari sepertiga pasien.
Tersedia beragam tes gen, termasuk beberapa yang hanya mencari mutasi BRCA dan lainnya yang menguji lusinan gen tambahan pada saat bersamaan. Metode pengujian genetika pun kini telah beragam, bahkan bisa dilakukan dari rumah dengan memanfaatkan layanan kit pengujian dari penyedia layanan.
Memupus Kekhawatiran
Pengujian genetika untuk kanker payudara, kini semakin kompleks--mengevaluasi panel dari beberapa gen. Terdapat kekhawatiran bahwa itu bisa menimbulkan lebih banyak ketidakpastian terkait hasilnya. Tetapi, sebuah studi baru menemukan bahwa tes baru yang lebih luas tidak menyebabkan pasien lebih khawatir tentang risiko kanker mereka.
"Pengujian genetik menjadi semakin kompleks, tetapi justru semakin tepat. Ini telah menyebabkan beberapa ambiguitas dalam hasil tes. Tantangannya adalah memasukkan informasi ini ke dalam keputusan perawatan tanpa menimbulkan kekhawatiran yang tidak perlu," kata penulis studi utama Steven J. Katz, MD, MPH, profesor kedokteran umum dan manajemen kesehatan dan kebijakan di University of Michigan.
Awalnya, pengujian genetik untuk kanker payudara berfokus secara eksklusif pada gen BRCA1 dan BRCA2. Sekarang, tes panel multigene yang lebih baru mencari kelainan pada sel atau lebih gen yang memainkan peran dalam risiko kanker payudara. Dengan menguji lebih banyak gen, kemungkinan besar pasien akan memiliki tes positif atau varian yang tidak diketahui signifikansinya. Kekhawatirannya adalah bahwa variasi yang lebih besar ini dapat menyebabkan pasien terlalu khawatir tentang risiko kambuhnya kanker payudara ketika hasil tes genetik ambigu.
Para peneliti mensurvei 1.063 perempuan yang dirawat karena kanker payudara stadium awal yang telah menerima tes genetik antara 2013-2015, periode di mana pengujian panel menjadi lebih populer. Sekitar 60 persen pasien diuji hanya untuk BRCA1 dan BRCA2, sementara 40 persen memiliki tes panel multigene. Pasien ditanya berapa banyak dan seberapa sering mereka khawatir tentang kanker mereka kembali dan dampak yang ditimbulkan pada kehidupan mereka. Secara keseluruhan, 11 persen pasien melaporkan bahwa kekhawatiran kanker memiliki dampak tinggi pada kehidupan mereka dan 15 persen sering khawatir atau hampir selalu. Baik dampak maupun frekuensi kekhawatiran bervariasi secara substansial berdasarkan pada jenis pengujian genetik atau hasil pengujian.
"Temuan ini meyakinkan," kata Katz. "Kami menemukan bahwa pasien tidak bereaksi berlebihan apakah mereka mendapatkan tes panel yang lebih baru atau hanya uji BRCA, dan mereka tidak bereaksi berlebihan terhadap hasil tes. Kekhawatiran kanker di masa depan mereka tidak berbeda apakah mereka memiliki tes negatif atau varian dengan signifikansi yang tidak diketahui. " Hampir semua pasien yang disurvei menerima beberapa bentuk konseling genetik. "Konseling genetik sangat penting untuk memaksimalkan manfaat pengujian bagi pasien dan keluarga mereka," kata penulis studi senior Allison W. Kurian, M.D., M.Sc., profesor kedokteran dan penelitian kesehatan serta kebijakan di Universitas Stanford.
"Tetapi konseling tepat waktu setelah diagnosis kanker payudara semakin menjadi tantangan karena lebih banyak pasien yang dites dan hasilnya juga semakin kompleks."
Di Indonesia sendiri, angka kejadian penyakit kanker adalah 136.2/100.000 penduduk. Angka yang berada pada urutan 8 di Asia Tenggara, sedangkan di Asia urutan ke 23. Angka kejadian untuk perempuan yang tertinggi adalah kanker payudara yaitu sebesar 42,1 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 17 per 100.000 penduduk yang diikuti kanker leher rahim sebesar 23,4 per 100.000 penduduk dengan rata-rata kematian 13,9 per 100.000 penduduk.
Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi tumor/kanker di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1.4 per 1000 penduduk di tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun 2018. Berbagai upaya tent uterus dilakukan. Baik dari kebijakan pemerintah maupun di level individu. Pengujian genetika sebagai langkah awal, bisa diupayakan oleh keduanya. Pengujian genetika untuk mendeteksi mutasi BRCA secara akurat dan terjangkau, bisa dilakukan di Genetics Indonesia.
Sumber:
-
Association of Germline Genetic Test Type and Results With Patient Cancer Worry After Diagnosis of Breast Cancer. JCO Precision Oncology, 2018; (2): 1 DOI: 10.1200/PO.18.00225
-
Michigan Medicine - University of Michigan
-
Genetics Indonesia
Log in untuk komentar