Artificial Intelligence (AI) sedang mengubah pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan efektif. Kita telah melihatnya selama beberapa tahun terakhir seiring hadirnya alat yang mudah digunakan, seperti ChatGPT dan Midjourney. Gelombang awal tersebut berkembang menjadi gelombang besar yang merevolusi banyak hal dalam pelayanan kesehatan, Gelombang yang dalam spekulasi banyak pihak akan menyapu keberadaan Tenaga Kesehatan.
Kekhawatiran terhadap teknologi baru yang revolusioner akan selalu ada, mulai dari kecerdasan buatan yang menggantikan dokter di berbagai spesialisasi atau robot yang melampaui keterampilan ahli bedah, hingga mengambil alih pekerjaan di perusahaan farmasi.
Namun, terlepas dari otomatisasi dan digitalisasi yang meluas, manusia akan selalu dibutuhkan untuk tugas-tugas tertentu. Solusi berbasis kecerdasan buatan hanya akan menghilangkan kebutuhan akan tenaga kerja manusia dalam pekerjaan medis yang memang tidak disukai banyak orang. Administrasi, atau pengkodean medis, dan desinfeksi ruang rumah sakit.
AI akan hadir secara nyata dalam dunia kesehatan dalam 10-15 tahun ke depan. Kita sudah melihat contoh-contoh yang baik, seperti algoritma sepsis watch yang menurunkan angka kematian akibat sepsis hampir 30%, atau deteksi kanker kulit dengan akurasi hampir sempurna yang membantu dokter kulit, atau algoritma yang memprediksi fibrilasi atrium 30 menit sebelum onset sehingga memberikan waktu untuk intervensi preemtif.
AI akan mengubah arti menjadi seorang dokter; beberapa tugas akan hilang, sementara yang lain akan ditambahkan ke rutinitas kerja. Namun, tidak akan pernah ada situasi di mana perwujudan otomatisasi, baik robot maupun algoritma, akan menggantikan peran seorang dokter.
Berikut lima alasan mengapa AI tidak akan menggantikan Tenaga Kesehatan, khususnya dokter.
1) Empati tidak dapat diganti
Sekalipun berbagai teknologi menawarkan solusi brilian, akan sulit bagi mereka untuk meniru empati. Mengapa? Karena inti dari kepedulian adalah proses membangun kepercayaan: mendengarkan orang lain, memperhatikan kebutuhan mereka, mengungkapkan rasa pengertian, dan merespons dengan cara yang membuat orang lain merasa dipahami.
Saat ini, Anda tidak akan memercayai robot atau algoritma pintar untuk membuat keputusan yang mengubah hidup; bahkan mungkin tidak untuk keputusan minum obat pereda nyeri atau tidak. Kita tidak memercayai mesin untuk tugas-tugas yang lebih baik daripada manusia – seperti mengambil sampel darah. Kita membutuhkan dokter yang mendampingi kita sambil memberi tahu tentang diagnosis yang mengubah hidup, panduan mereka selama terapi, dan dukungan mereka secara keseluruhan. Algoritma tidak dapat menggantikan hal tersebut.
2) Dokter memiliki metode kerja non-linier
Ada sebuah episode di Rumah Sakit Umum di mana tim dokter tidak dapat memahami bagaimana seorang anak laki-laki bisa keracunan. Mereka mempertimbangkan berbagai pilihan: obat-obatan, keracunan makanan, keracunan pestisida. Untuk setiap kemungkinan diagnosis, mereka menyarankan pilihan pengobatan yang berbeda. Masing-masing memperburuk kondisi pasien – sampai mereka secara tidak sengaja menemukan bahwa anak laki-laki itu terkena phosmet, sejenis insektisida, dari celana jins yang dibelinya dari pedagang kaki lima yang menyimpan celana tersebut di dalam truk. Anak laki-laki itu tidak mencuci celana tersebut sebelum memakainya, karena itulah kulitnya dapat menyerap racun.
Tidak ada algoritma yang mampu membuat diagnosis seperti itu. Data, pengukuran, dan analitik kuantitatif merupakan bagian krusial dari pekerjaan seorang dokter. Hal itu akan menjadi lebih krusial lagi di masa mendatang. Menetapkan diagnosis dan merawat pasien bukanlah proses linear. Proses ini membutuhkan kreativitas dan keterampilan memecahkan masalah yang tidak akan pernah dimiliki oleh algoritma dan robot.
Pasien dan gaya hidup mereka bervariasi, sesuai dengan perbedaan masing-masing individu. Penyakit memiliki karakteristik yang sama. Dengan demikian, tidak ada kasus yang sama; setiap kasus membutuhkan perhatian dokter manusia. Hingga munculnya solusi digital yang kompleks, dokter menerjemahkan data dari perangkat medis sederhana menjadi keputusan medis. Di masa depan, tugasnya akan sama – mereka hanya akan menggunakan teknologi yang lebih rumit.
3) Teknologi digital yang kompleks membutuhkan profesional yang kompeten
Solusi kesehatan digital yang semakin canggih akan membutuhkan kompetensi profesional medis yang berkualifikasi, tidak peduli apakah itu tentang robotika atau AI.
Otak manusia begitu kompleks dan mampu mengelola pengetahuan serta data dalam skala yang begitu luas sehingga tidak layak mengembangkan AI yang mengambil alih tugas ini – otak manusia sudah melakukannya dengan sangat baik. Lebih baik memprogram tugas-tugas repetitif berbasis data tersebut, dan menyerahkan analisis/keputusan yang rumit kepada manusia. Bukan hanya mustahil, itu juga tidak layak.
Tidak ada robot atau algoritma yang mampu menafsirkan tantangan kompleks dan berlapis – yang melibatkan jiwa. Meskipun mereka akan menyediakan data, namun interpretasi akan selalu menjadi bagian manusia.
4) Akan selalu ada tugas yang tidak dapat diselesaikan oleh algoritma dan robot
Dokter, perawat, dan staf medis lainnya menghadapi banyak tugas yang rumit, monoton, dan repetitif setiap hari. Sebuah studi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, rata-rata dokter menghabiskan 8,7 jam per minggu untuk administrasi. Psikiater menghabiskan proporsi jam kerja tertinggi untuk dokumen (20,3%), diikuti oleh dokter penyakit dalam (17,3%) dan dokter keluarga/umum (17,3%). Tugas dan prosedur seperti ini dapat diotomatisasi – dan memang seharusnya demikian.
Namun, ada tanggung jawab dan tugas yang tidak dapat dilakukan oleh teknologi. Meskipun AI dapat memilah jutaan halaman dokumen dalam hitungan detik, ia tidak akan pernah mampu melakukan manuver Heimlich. Akan selalu ada tugas-tugas di mana manusia akan lebih cepat, lebih andal – atau lebih murah daripada teknologi.
5) Tidak pernah ada teknologi vs manusia
Pembentukan citra musuh yang konsisten dan terus-menerus harus dihentikan untuk selamanya. Ini bukan lagi tentang teknologi versus manusia karena inovasi teknologi selalu bertujuan untuk membantu manusia. Kolaborasi antara manusia dan teknologi adalah respon terbaik .
Sebuah studi untuk mengidentifikasi kanker payudara metastasis melalui Deep Learning menunjukkan hal serupa. Ketika prediksi sistem pembelajaran digabungkan dengan diagnosis ahli patologi manusia, klasifikasi gambar dan skor lokalisasi tumor meningkat secara signifikan. Lebih lanjut, tingkat kesalahan manusia menurun hingga 85 persen. Temuan ini menunjukkan bahwa kecerdasan buatan dan manusia paling efektif ketika keduanya bekerja sama.
Catur adalah contoh yang bagus. Catur diyakini menemui ajalnya setelah Garry Kasparov dikalahkan oleh superkomputer. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Saat ini, lebih dari 600 juta orang bermain catur setiap hari, dan AI telah menjadi alat yang sangat diperlukan bagi para pemain, penggemar, dan pelatih.
AI telah terbukti meningkatkan catur dengan menciptakan lingkungan yang lebih kompetitif, populer, dan pada akhirnya, lebih efektif. AI juga memiliki potensi transformatif di bidang kesehatan, di mana adopsinya menjanjikan kemajuan serupa.
Bayangkan apa yang bisa dicapai layanan kesehatan jika kreativitas dan kemampuan memecahkan masalah manusia dipadukan dengan daya komputasi dan sumber daya kognitif teknologi yang tak terbatas. Pilihan ini sudah ada. Kita hanya perlu merangkulnya.
Referensi:
- Woolhandler S, Himmelstein DU. Administrative work consumes one-sixth of U.S. physicians' working hours and lowers their career satisfaction. Int J Health Serv. 2014;44(4):635-42. doi: 10.2190/HS.44.4.a. PMID: 25626223.
- Humans Plus Robots: Why the Two Are Better Than Either One Alone. Knowledge at Wharton. July 2018.
- Deep Learning for Identifying Metastatic Breast Cancer. Dayong Wang, Aditya Khosla, Rishab Gargeya, Humayun Irshad, Andrew H. Beck.