Keberhasilan dan Kegagalan Kesehatan Global

Keberhasilan dan Kegagalan Kesehatan Global

14 Agt 2025 106
SE
Sejawat Editorial

Ketika kita bertemu frasa ‘Kesehatan Global’, bisa jadi yang tampak adalah gambaran para dokter heroik yang menyembuhkan Ebola di Afrika Barat, LSM yang membawa vaksin ke desa-desa terpencil di Himalaya, dan mahasiswa kedokteran yang bermimpi menjadikan dunia tempat yang lebih baik. Namun, cobalah gali sedikit lebih dalam dan kita akan menemukan realitas yang berantakan, kontradiktif, dan seringkali birokratis di balik cita-cita mulia tersebut. 

Dari korupsi yang menyedot dana bantuan, ketimpangan akses, hingga beban mental pada petugas kesehatan, kesehatan global berada dalam ruang liminal—di mana kepedulian seringkali bertabrakan dengan kompleksitas, melahirkan persimpangan yang rumit antara apa yang seharusnya menjadi kesehatan global dan apa yang sebenarnya terjadi.

Impian tentang Kesehatan Global 

Kesehatan global lahir dari sebuah ide yang indah—bahwa di mana pun kita dilahirkan, kita seharusnya memiliki hak untuk hidup sehat. Berbeda dengan kesehatan masyarakat, yang berfokus pada isu-isu tingkat populasi di satu negara, kesehatan global mencari solusi yang melampaui batas negara. 

Organisasi seperti WHO, UNICEF, Médecins Sans Frontières (MSF), dan banyak LSM lainnya telah memperjuangkan misi ini. Mereka telah memerangi polio, menangani tuberkulosis, dan mengirimkan pasukan relawan ke daerah bencana. Dunia telah menyaksikan peningkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam hal harapan hidup, kesehatan ibu, dan tingkat vaksinasi anak. 

Namun, seiring kesehatan global mendapatkan perhatian, uang, dan prestise, ia juga menarik kompleksitas. Dan di situlah impian itu mulai menunjukkan keretakannya. 


BACA JUGA:

Melihat Kembali Pentingnya Pendekatan One Health

Masa Depan Pengobatan Berbasis Bukti


Bias Kolonial 

Salah satu isu terdalam dalam kesehatan global adalah akar kolonialnya. Banyak negara Barat memasuki arena kesehatan global dengan Messiah Complex—negara-negara maju yang "menyelamatkan" negara-negara berkembang. Bahkan saat ini, kesehatan global seringkali ditentukan oleh lembaga-lembaga yang berbasis di belahan bumi utara. 

Keputusan tentang perawatan ibu di Afrika mungkin dibuat di Jenewa atau New York, dengan masukan minimal dari perempuan yang terdampak. Penelitian secara tidak proporsional ditulis oleh para akademisi di negara-negara berpenghasilan tinggi. Dana mengalir dengan syarat tertentu. Ya, bantuan Barat menyelamatkan nyawa—tetapi juga dapat memperkuat ketidakseimbangan kekuasaan, memprioritaskan metrik keberhasilan Barat, dan membungkam pengetahuan lokal. 

Cuan, Cuan, Cuan!

Di balik setiap inisiatif kesehatan global terdapat pendanaan. Dan di balik pendanaan terdapat politik. Banyak program yang bermaksud baik gagal karena lebih dibentuk oleh agenda donor daripada kebutuhan nyata di lapangan. Misalnya, seorang donor mungkin mendanai inisiatif HIV tetapi mengabaikan diabetes atau kesehatan mental—meskipun yang terakhir merupakan epidemi yang sedang meningkat di wilayah tersebut.

Anggaran seringkali berjangka pendek dan berfokus pada "hasil", mendorong para pelaksana untuk mengejar angka, alih-alih perubahan berkelanjutan. Itulah sebabnya kita bisa saja melihat lima LSM berbeda yang semuanya membagikan kelambu di satu desa, sementara desa-desa tetangga tidak memiliki sanitasi air dasar. 

Narasi Pahlawan dan Pekerja tak Kasatmata 

Media menyukai kisah-kisah tentang dokter pemberani yang terbang ke daerah bencana—tetapi kesehatan global bukan hanya tentang ahli bedah dan pakar penyakit menular dari negara-negara kaya. 

Perawat lokal, tenaga kesehatan masyarakat, dan bidan menanggung beban terbesar. Merekalah yang tinggal di masyarakat, menavigasi lanskap budaya yang kompleks, dan bekerja dengan gaji yang jauh lebih rendah. Namun, mereka seringkali terabaikan dalam pengambilan keputusan kebijakan dan menerima pengakuan internasional yang minim. Sorotan kesehatan global jarang menyoroti mereka. 

Benturan Budaya dan Dilema Etika 

Bayangkan seorang dokter lulusan Barat memasuki sebuah klinik pedesaan di Nepal dan menemukan bahwa pasien mencampur antibiotik dengan obat herbal. Apakah Anda bersikeras pada protokol Barat? Atau apakah Anda bekerja sama dengan dukun untuk menemukan jalan tengah? Bagaimanapun, kepekaan budaya merupakan faktor sangat penting, meskipun itu tidak selalu mudah. 

Etika Barat mungkin tidak dapat diterapkan lintas batas. Misalnya, persetujuan berdasarkan informasi merupakan landasan etika kedokteran di banyak negara, tetapi dalam beberapa budaya, keluarga membuat keputusan secara kolektif, bukan individu. Tenaga kesehatan global sering menghadapi dilema moral tanpa jawaban yang benar dan jelas. 

Dampak Kesehatan Mental 

Kelelahan merajalela dalam kesehatan global. Tenaga kesehatan lini terdepan seringkali bekerja di lingkungan yang sangat menegangkan—menghadapi zona perang, kemiskinan, dan penyakit—sementara kekurangan sumber daya, dukungan, atau bahkan keamanan, ditambah dengan beban administratif yang berlebihan dan ketidakstabilan pendanaan. Pada kondisi demikian, kelelahan emosional adalah sebuah keniscayaan.

Selain itu, Kesehatan Global belum memiliki pandangan jelas terkait perubahan iklim. Padahal, krisis iklim adalah isu kesehatan global yang utama. Meningkatnya suhu menyebarkan penyakit tropis ke wilayah-wilayah baru. Kekeringan memicu malnutrisi. Banjir menyebabkan jutaan orang mengungsi dan memicu wabah. Namun, banyak sistem kesehatan global tidak siap menghadapi apa yang akan datang. 

Framework tanggap darurat masih berfokus pada wabah tradisional, bukan krisis besar terkait iklim. Inilah medan pertempuran baru—dan yang menuntut adaptasi cepat. 

Pelajaran dari Pandemi 

COVID-19 menyingkap kegagalan koordinasi kesehatan global. Negara-negara menimbun vaksin. Negara-negara miskin mengantre sementara negara-negara kaya memberikan vaksin booster. Misinformasi menyebar lebih cepat daripada virus. Dan WHO—yang seharusnya mengoordinasikan semuanya—berjuang untuk menegaskan otoritasnya.

Namun, ada juga titik terang. Misalnya, berbagi data global, percepatan pengembangan vaksin, dan inovasi lokal. Pandemi menunjukkan bahwa kesehatan global itu rapuh sekaligus penuh potensi—jika kita memilih untuk belajar darinya. 

Menjembatani Kesenjangan. 

Jadi, bagaimana kita menyelaraskan cita-cita mulia Kesehatan Global dengan kenyataan? Kita mulai dengan mendengarkan. Suara lokal harus menjadi pusat—tidak hanya disertakan sebagai token. Model pendanaan harus mendukung pembangunan sistem jangka panjang, bukan hanya metrik jangka pendek. Kita perlu mendekolonisasi kurikulum, menantang narasi heroisme, dan menyediakan sumber daya kesehatan mental bagi para profesional kesehatan. Kesehatan global yang sesungguhnya adalah tentang kesetaraan, bukan kegiatan amal. Ini tentang solidaritas, bukan saviorisme.

Kesehatan global memang rumit, tidak sempurna, dan terkadang menyebalkan—tetapi juga indah. Kesehatan global memaksa kita untuk menghadapi bias, privilese, dan kemanusiaan kita sendiri. Ini bukan tentang menjadi pahlawan. Ini tentang menjadi mitra. Pendengar dan pembelajar.


Referensi:

  1. Affun-Adegbulu, C ∙ Adegbulu, O. Decolonising global (public) health: from western universalism to global pluriversalities. BMJ Glob Health. 2020; 5, e002947
  2. Seye Abimbola, On the meaning of global health and the role of global health journals, International Health, Volume 10, Issue 2, March 2018, Pages 63–65, https://doi.org/10.1093/inthealth/ihy010
  3. Ali Murad Büyüm, Cordelia Kenney, Andrea Koris, Laura Mkumba, Yadurshini Raveendran - Decolonising global health: if not now, when?: BMJ Global Health 2020;5:e003394. 
KomunikasiKesehatan MentalEtik KedokteranBudayaKesehatan globalketimpangan akses

Webinar Mendatang

CME Populer

Artikel Pilihan

Kategori