Wabah Penyakit Legionnaires juga Mengancam Indonesia

Wabah Penyakit Legionnaires juga Mengancam Indonesia

19 Agt 2025 252
SE
Sejawat Editorial

Penyakit Legionnaires kini sedang menghantui warga kota New York, Amerika Serikat. Dari akhir Juli hingga 18 Agustus 2025, tercatat ada 108 kasus terkonfirmasi dengan 5 kematian dan 14 pasien dirawat intensif di RS. Dari investigasi yang dilakukan, menara pendingin di beberapa gedung diduga menjadi asal hadirnya penyakit akibat bakteri Legionella tersebut.

Apa itu Penyakit Legionnaires?

Penyakit Legionnaires adalah bentuk pneumonia berat (angka kematian ∼10–25%) yang disebabkan oleh inhalasi aerosol yang mengandung bakteri Legionella, bakteri yang dapat berkembang, menyebar, dan menjadi aerosol melalui sistem air bangunan. 

Penyakit Legionnaires sendiri pertama kali mewabah pada bulan Juni 1976, menjangkiti sekitar 4.400 pensiunan tentara Amerika yang menghadiri Konvensi Tahunan ke-58 American Legion (Organisasi Veteran AS) di sebuah hotel di pusat kota Philadelphia. 221 orang menghadapi kriteria klinis untuk sindrom pernapasan dan 34 dari mereka meninggal dunia. 

Studi epidemiologi yang dilakukan tidak dapat dengan cepat mendiagnosis penyebab wabah. Hipotesis terakhir adalah penyebabnya berkaitan dengan udara dari unit pendingin dan AC Hotel Bellevue-Stratford karena para korban termasuk di antara orang-orang yang menginap di hotel tersebut, tetapi teori ini tidak pernah sepenuhnya terbukti.

Enam bulan kemudian, pada bulan Desember 1976, Dr. Joseph McDade dari peneliti CDC, menggunakan teknik inokulasi marmut, berhasil mengisolasi bakteri penyebab wabah dan mengidentifikasinya sebagai bakteri Gram-negatif yang kemudian diberi nama Legionella pneumophila (L. pneumophila). 

Setelah itu, penyakit Legionnaires menjadi wabah di berbagai wilayah dengan tren yang meningkat, termasuk yang muncul di New York saat ini.

Taksonomi

Secara umum, Legionellosis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan infeksi yang disebabkan oleh berbagai jenis Legionella spp.

Famili Legionellaceae terdiri dari satu genus Legionella. Saat ini, famili Legionellaceae mencakup lebih dari 60 spesies dengan 70 serogrup. Sekitar 30 spesies diisolasi setidaknya sekali dari pasien dan dengan demikian telah didokumentasikan sebagai patogen bagi manusia. Jumlah spesies dan serogrup yang teridentifikasi dari genus Legionella terus meningkat. Sebagian besar kasus (hampir 95%), disebabkan oleh L. pneumophila, khususnya L. pneumophila serogrup 1 yang bertanggung jawab atas 84% kasus di seluruh dunia.

 

Spesies dan serogrup Legionella yang terkait dengan penyakit manusia.


BACA JUGA:


Gejala Penyakit Legionnaires

Penyakit Legionnaires menunjukkan gejala yang mirip dengan pneumonia biasa. Gejala umumnya muncul 2 hingga 10 hari setelah seseorang terpapar bakteri Legionella. Dalam beberapa kasus, infeksi ini juga dapat memengaruhi sistem saraf pusat dan saluran pencernaan. Gejala-gejala yang sering dialami meliputi:

  • Sakit kepala.
  • Nyeri pada otot dan sendi.
  • Demam tinggi, mencapai suhu 39–41 derajat Celsius.
  • Batuk yang disertai dahak.
  • Batuk darah.
  • Sesak napas.
  • Nyeri pada dada.
  • Mual, muntah, serta diare.
  • Rasa lelah yang berlebihan.
  • Hilangnya nafsu makan.
  • Gangguan kesadaran atau kebingungan (delirium).

Diagnosis Penyakit Legionnaires

Karena gejalanya menyerupai pneumonia, diagnosis penyakit Legionnaires memerlukan serangkaian pemeriksaan lanjutan untuk memastikan keberadaan infeksi bakteri Legionella. Proses diagnosis meliputi:

  • Wawancara medis (anamnesis) untuk mengetahui keluhan pasien, riwayat kesehatan, serta perjalanan yang pernah dilakukan sebelum sakit.
  • Pemeriksaan fisik menyeluruh, termasuk auskultasi paru menggunakan stetoskop.
  • Pemeriksaan darah untuk mendeteksi tanda infeksi dan menilai fungsi organ.
  • Pencitraan medis seperti foto rontgen dada atau CT scan untuk melihat kondisi paru-paru.
  • Tes urine untuk mendeteksi antigen bakteri Legionella.
  • Kultur sputum (dahak) guna mengidentifikasi keberadaan bakteri dalam saluran pernapasan.
  • Bronkoskopi, yaitu pemeriksaan saluran napas dan paru dengan alat khusus.
  • Thoracentesis, prosedur pengambilan cairan dari rongga pleura untuk dianalisis.

Pengobatan Penyakit Legionnaires

Penanganan utama penyakit Legionnaires adalah pemberian antibiotik, baik melalui suntikan (intravena) maupun obat minum. Beberapa antibiotik yang sering digunakan antara lain:

  • Azithromycin.
  • Levofloxacin, ciprofloxacin, atau moxifloxacin.
  • Tetracycline, minocycline, atau doxycycline.
  • Rifampin.

Bagi pasien yang mengalami kesulitan bernapas, dapat diberikan terapi oksigen. Pada kasus berat, mungkin diperlukan ventilator mekanik untuk membantu pernapasan. Pasien biasanya harus dirawat di rumah sakit selama masa pengobatan hingga kondisinya membaik.

Komplikasi Penyakit Legionnaires

Penyakit ini termasuk serius dan membutuhkan penanganan cepat. Jika tidak diobati, Legionnaires dapat menyebabkan komplikasi berbahaya yang mengancam jiwa, seperti:

  • Gagal napas.
  • Gagal ginjal akut.
  • Ensefalopati (gangguan fungsi otak).
  • Empiema (penumpukan nanah di rongga pleura).
  • Peradangan pada jantung (miokarditis atau perikarditis).
  • Rhabdomyolisis (kerusakan jaringan otot).
  • Koma.
  • Syok septik.
  • Kematian.

Pernah Muncul di Indonesia & Berpotensi KLB

Penyakit Legionnaires tercatat pernah muncul di Indonesia setelah pada tahun 1996 ditemukan kasus di Bali dan di Tangerang pada tahun 1999. Tahun 2003 lalu, Kementerian Kesehatan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1538/Menkes/SK/XI/2003 memasukkan penyakit tersebut sebagai New-EIDs (New Emerging Disease). Sebab dapat menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB).

Meskipun sudah nyaris setengah abad setelah pertama kali diidentifikasi, namun masih banyak hal yang belum diketahui secara pasti tentang penyakit tersebut. Pertama, sebagian besar (>90%) kasus yang didapat dari komunitas bersifat sporadis tanpa diketahui sumber paparan titik. Kedua, alasan untuk peningkatan cepat kasus Legionnaires di Amerika Serikat dan negara-negara lain selama dua dekade terakhir masih belum diketahui. Penuaan populasi dan perubahan dalam definisi kasus atau tes diagnostik yang tersedia juga tidak mungkin menjelaskan tingkat peningkatan tersebut. 

Demikian pula dengan faktor lingkungan yang mungkin memengaruhi, seperti kelembaban relatif (RH), suhu ( T ), presipitasi, dan radiasi UV, tetapi mekanisme dan besarnya pengaruh tersebut masih belum jelas dan juga tidak dapat menjelaskan tren peningkatan jangka panjang yang terjadi.

Satu penelitian di tahun 2024 justru menilai peningkatan Legionnaires jangka panjang berkaitan dengan penurunan konsentrasi sulfur dioksida di atmosfer yang berpotensi memperpanjang kelangsungan hidup bakteri Legionella. Temuan tersebut memiliki implikasi untuk menilai risiko Legionnaires dan merancang strategi untuk melawan peningkatan kasusnya di masa mendatang.


Referensi:

  • Jomehzadeh, Nabi1; Moosavian, Mojtaba; Saki, Morteza; Rashno, Mohammad. Legionella and legionnaires' disease: An overview. Journal of Acute Disease, November 2019. | DOI: 10.4103/2221-6189.272853
  • Legionnaires' disease fact sheet, NSW Health, Juni 2022
  • Fangqun Yu, Arshad A Nair, Ursula Lauper, Gan Luo, Jason Herb, Matthew Morse, Braden Savage, Martin Zartarian, Meng Wang, Shao Lin, Mysteriously rapid rise in Legionnaires’ disease incidence correlates with declining atmospheric sulfur dioxide, PNAS Nexus, Volume 3, Issue 3, March 2024.
  • Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1538/Menkes/SK/XI/2003
PneumoniaInfeksiBakteriWabahParuLegionnaires

Webinar Mendatang

CME Populer

Artikel Pilihan

Kategori