sejawat indonesia

Angka Kematian Ibu dan Bayi di Papua, tertinggi di Indonesia. Bagaimana Solusinya?

Hari Kesehatan Sedunia 2025 yang diperingati dua hari lalu, mengangkat tema kampanye ‘Healthy beginnings, Hopeful futures’ sebagai desakan kepada pemerintah dan komunitas kesehatan untuk meningkatkan upaya mengakhiri kematian ibu dan bayi baru lahir. 

Desakan yang kian nyaring terdengar jika kita melihat kondisi di Indonesia, khususnya di Wilayah Papua. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Bayi (AKB) di Papua dan Papua Barat jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, AKI di Papua mencapai 565 per 100.000 kelahiran hidup, sementara Papua Barat tercatat 343 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 189 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu, AKB di Papua sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup dan Papua Barat 27 per 1.000 kelahiran hidup , sedangkan rata-rata nasional hanya 19 per 1.000 kelahiran hidup. 

Tingginya angka kematian ini mencerminkan belum optimalnya pembangunan pelayanan kesehatan dan pemenuhan hak asasi manusia di Papua. Dua faktor utama menjadi penyebab:

  1. Kebijakan pemerintah dalam penyediaan layanan kesehatan dinilai kurang maksimal, termasuk dalam pembangunan infrastruktur, distribusi tenaga medis, dan kualitas pelayanan.
  2. Kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Papua—seperti preferensi terhadap praktik tradisional dan keterbatasan akses informasi—menghambat pemanfaatan fasilitas kesehatan modern.

Permasalahan semakin kompleks karena wilayah Papua yang luas dan sulit dijangkau, serta biaya operasional layanan kesehatan yang tinggi. Meski isu ini telah lama diidentifikasi, masyarakat Papua masih menghadapi tantangan serupa, menyebabkan ketertinggalan pembangunan kesehatan dibandingkan wilayah lain di Indonesia.

Akses Pelayanan Kesehatan yang Terbatas

Keterbatasan akses pelayanan kesehatan menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka kematian ibu dan bayi di Papua Barat, berdasarkan hasil penelitian tahun 2019. Untuk mengurangi kesenjangan fasilitas, pemerintah membangun puskesmas di Papua menggunakan dana alokasi khusus (DAK), dana otonomi khusus, dan dana dekonsentrasi. Meski triliunan rupiah dialokasikan untuk Papua melalui dana otonomi khusus guna memperbaiki sektor kesehatan dan pendidikan, realisasi di lapangan belum memenuhi harapan.

Banyak puskesmas dibangun di lokasi terpencil yang jauh dari pemukiman penduduk karena ketersediaan lahan yang luas. Namun, pembangunan ini tidak diiringi dengan penyediaan infrastruktur pendukung seperti jalan dan transportasi umum, sehingga menghambat akses masyarakat asli Papua (OAP) ke pelayanan kesehatan. Selain itu, sebagian puskesmas belum memiliki fasilitas dasar seperti air bersih, listrik, dan jaringan komunikasi. Di beberapa wilayah seperti Sorong dan Tambrauw, Papua Barat, puskesmas hanya didukung oleh bidan dan perawat, tanpa kehadiran dokter atau tenaga kesehatan lain seperti ahli gizi dan farmasi, padahal hal ini diwajibkan oleh peraturan pemerintah.

Di daerah terisolir, ancaman keamanan juga membuat petugas kesehatan enggan bertugas, memperparah krisis tenaga medis. Kombinasi minimnya infrastruktur dan kurangnya tenaga kesehatan berdampak langsung pada rendahnya kualitas layanan, yang pada akhirnya berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu dan bayi di Papua.

Faktor Gender dan Tradisi

Faktor sosial-budaya di Papua Barat, terutama ketimpangan gender, menjadi penghalang utama dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Dominasi peran laki-laki dalam masyarakat menyebabkan perempuan kurang memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan terkait kesehatan keluarga, berdampak buruk pada kesejahteraan diri dan anak. Berikut tantangan yang dihadapi perempuan Papua Barat berdasarkan fase kehidupan:

Masa Remaja

Pernikahan dini (usia 10–16 tahun) dan hubungan seksual pranikah marak terjadi. Kehamilan di usia muda meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi karena ketidaksiapan fisik dan mental. Banyak pasangan muda terkendala tradisi mas kawin mahal, memicu tingginya angka ibu tunggal. Keterbatasan ekonomi dan rendahnya kesadaran akan pentingnya pemeriksaan kehamilan semakin memperparah akses layanan kesehatan.

Masa Kehamilan

Kehamilan dianggap proses alami yang tidak memerlukan perawatan khusus. Perempuan tetap melakukan pekerjaan berat (berkebun, beternak) hingga usia kehamilan lanjut, dengan keyakinan bahwa aktivitas fisik memudahkan persalinan. Padatnya aktivitas dari pagi hingga sore sering bentrok dengan jadwal pemeriksaan antenatal, menyebabkan banyak ibu melewatkan kunjungan wajib ke puskesmas. Hal ini mengancam kesehatan ibu dan janin.

Masa Persalinan

Tradisi mengisolasi ibu bersalin di pondok terpisah (karena dianggap "kotor") dan kepercayaan pada dukun berpengaruh kuat. Masyarakat enggan melibatkan tenaga kesehatan karena pantangan menunjukkan area intim kepada "orang asing". Keyakinan fatalistik bahwa kelahiran adalah takdir Tuhan tanpa upaya maksimal juga membuat masyarakat pasrah saat terjadi kematian ibu atau bayi.

Pasca Melahirkan

Bayi baru lahir dianggap rentan terhadap gangguan gaib sehingga tidak boleh keluar rumah hingga usia 2 bulan, menghambat pemeriksaan neonatal. Pemberian makanan padat terlalu dini (pisang, bubur) dan pantangan makan bagi ibu menyusui mengganggu tumbuh kembang bayi dan kecukupan gizi.


BACA JUGA:


Upaya Transformasi

Melihat berbagai tantangan dan faktor penyebab AKI dan AKB di Papua, maka upaya transformasi yang akan ditempuh harus bersifat holistik, Pendekatan continuum of care (CoC) haruslah menjadi landasan karena mampu mengatasi tantangan kompleks yang bersifat multidimensi, mulai dari faktor geografis, budaya, hingga keterbatasan akses pelayanan kesehatan.

Beberapa rekomendasi yang dapat ditempuh, adalah:

1. Integrasi Pelayanan Kesehatan dari Hulu ke Hilir.

CoC menekankan pelayanan yang berkelanjutan mulai dari masa pra-kehamilan, kehamilan, persalinan, hingga pasca-melahirkan.

  • Pernikahan dini dan kehamilan usia remaja: CoC memastikan edukasi kesehatan reproduksi sejak dini, termasuk penundaan usia perkawinan dan pemahaman tentang risiko kehamilan di usia muda.
  • Pemantauan kehamilan: Dengan pendampingan terus-menerus, ibu hamil dapat menjalani pemeriksaan antenatal secara rutin, meski tinggal di daerah terpencil. Hal ini membantu mendeteksi komplikasi seperti preeklamsia atau anemia sejak dini.

2. Mengurangi Pengaruh Budaya yang Berisiko.

Banyak tradisi di Papua Barat (misalnya, isolasi ibu bersalin atau ketergantungan pada dukun) meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi.

  • Menggabungkan praktik budaya dengan medis: Misalnya, melibatkan dukun sebagai "mitra" tenaga kesehatan untuk membangun kepercayaan masyarakat, sambil memastikan persalinan ditangani oleh bidan atau dokter.
  • Mengatasi fatalisme: Edukasi berkelanjutan tentang pentingnya upaya preventif (seperti pemeriksaan kehamilan) dapat mengurangi keyakinan bahwa kematian ibu/bayi adalah "takdir".

3. Penguatan Sistem Kesehatan Berbasis Komunitas

CoC menekankan kolaborasi antara tenaga kesehatan, keluarga, dan tokoh masyarakat. Di Papua Barat, hal ini bisa diwujudkan melalui:

  • Pelatihan kader kesehatan lokal: Mereka dapat menjadi penghubung antara masyarakat dan fasilitas kesehatan, terutama di daerah tanpa akses transportasi memadai.
  • Pendidikan keluarga: Keluarga diajarkan cara merawat ibu hamil, memberikan ASI eksklusif, dan mengenali tanda bahaya selama kehamilan atau persalinan.

4. Mengatasi Keterbatasan Infrastruktur

Dengan CoC, layanan kesehatan tidak hanya terpusat di puskesmas tetapi juga diintegrasikan ke tingkat komunitas:

  • Layanan keliling atau telemedicine: Tenaga kesehatan dapat melakukan kunjungan rutin ke daerah terpencil atau menggunakan teknologi untuk konsultasi jarak jauh.
  • Pembangunan jaringan rujukan: CoC memastikan adanya sistem rujukan yang cepat untuk kasus darurat, seperti perdarahan pasca-melahirkan.

5. Dampak pada Kesehatan Anak

CoC juga mencakup pemantauan tumbuh kembang bayi, seperti:

  • Deteksi dini kelainan kongenital melalui pemeriksaan neonatal, meski ada kepercayaan bahwa bayi tidak boleh keluar rumah sebelum usia 2 bulan.
  • Pencegahan praktik pemberian makanan padat terlalu dini dengan sosialisasi manfaat ASI eksklusif.

Diperlukan keterlibatan banyak pihak dalam mendukung upaya ini, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga organisasi profesi. Selain itu, tokoh masyarakat, baik formal, adat, maupun agama juga perlu dilibatkan.


Referensi:

  • Kesehatan Ibu & Anak Orang Asli Papua, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020
  • Widayatun, Widayatun & Fatoni, Zainal & Astuti, Yuly & Ghani, Mochammad & Hastuti, Puji. (2019). Policy Paper : STRATEGI PENINGKATAN PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK UNTUK ORANG ASLI PAPUA (OAP) DI PROVINSI PAPUA BARAT. 10.13140/RG.2.2.36664.98563. 
  • Widayatun, Widayatun & Fatoni, Zainal & Astuti, Yuly & Ghani, Mochammad & Hastuti, Puji. (2019). Policy Paper : STRATEGI PENINGKATAN PELAYANAN KESEHATAN IBU DAN ANAK UNTUK ORANG ASLI PAPUA (OAP) DI PROVINSI PAPUA BARAT. 10.13140/RG.2.2.36664.98563. 
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaMasa Depan Perawatan Onkologi

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar