Kekerasan Seksual di Dunia Kedokteran Indonesia: Saatnya Merombak Sistem!
Dunia kedokteran di Indonesia kini sedang diguncang oleh sejumlah kasus kekerasan seksual yang dilakukan profesional kesehatan kepada pasien. Mulai dari insiden pemerkosaan oleh seorang dokter anestesi PPDS di Bandung, pelecehan seksual oleh dokter kandungan di Garut, hingga korban baru yang akhirnya berani bersuara setelah dilecehkan oleh dokter yang memeriksanya.
Rangkaian peristiwa ini mengungkap masalah besar yang selama ini mungkin tersembunyi: ruang perawatan ternyata tidak sepenuhnya menjadi tempat aman bagi pasien. Ini bukan lagi sekadar soal individu pelaku, tetapi ada sistem yang perlu diperbaiki secara menyeluruh.
Aturan dan Sanksi: Masalah Penegakan Hukum serta Transparansi
Dalam hubungan medis, dokter memiliki posisi otoritatif yang dominan: akses penuh ke tubuh pasien, informasi personal, dan pengambilan keputusan terkait pengobatan. Kepercayaan yang diberikan pasien adalah fondasi utama yang harus dipertahankan.
Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) menekankan bahwa dokter wajib menjaga integritas, martabat, serta kepercayaan masyarakat. Tindak kekerasan seksual tidak hanya merugikan korban secara fisik dan psikologis, tetapi juga merusak nilai-nilai dasar profesi kedokteran. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi etik maupun administratif. Namun, proses ini sering kali kurang transparan dan publik sulit mengetahui apakah penanganan benar-benar dilakukan atau tidak. Akuntabilitas dalam ranah etika medis harus diperkuat agar tidak sekadar menjadi formalitas belaka.
Selain itu, ketika relasi kuasa antara dokter dan pasien disalahgunakan, dampaknya bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga kejahatan yang menimbulkan trauma mendalam pada korban—baik secara psikologis maupun sosial.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki payung hukum yang kuat melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU ini menegaskan bahwa kekerasan seksual, apalagi oleh tenaga kesehatan terhadap pasien, merupakan tindak pidana serius. Jika pelaku memiliki posisi kuasa atas korban, seperti dalam konteks hubungan dokter-pasien, maka sanksi hukum akan semakin berat.
Pasal 15 UU TPKS mengatur ancaman hukuman penjara hingga 12 tahun, denda maksimal Rp300 juta, pengumuman identitas pelaku, hingga pencabutan hak profesi. Di sisi lain, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga memiliki pasal-pasal relevan, seperti Pasal 289, 290, dan 294, yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan cabul terhadap orang yang lemah atau berada di bawah pengawasan.
Namun, seperti biasa, kendala utamanya bukan pada aturan hukum itu sendiri, melainkan pada komitmen penegakannya. Proses hukum yang lamban, tekanan dari institusi, hingga kekhawatiran soal "nama baik" sering kali menghalangi jalannya keadilan.
BACA JUGA:
- Berbagi Hal Personal di Media Sosial ternyata Lebih Baik Menurut para Dokter
- Bagaimana TikTok Mengubah Cara Kita Memandang Kesehatan
- Mengunjungi Dokter yang Sama dapat Memperpanjang Harapan Hidup Pasien
Perombakan Sistem Mendesak Dilakukan
Menyikapi kasus pemerkosaan oleh dokter PPDS di Bandung, Kementerian Kesehatan berencana mewajibkan semua rumah sakit pendidikan di bawah naungan Kemenkes untuk melakukan tes kejiwaan berkala kepada peserta PPDS di semua angkatan. Langkah ini patut diapresiasi sebagai respons cepat, namun tidak cukup jika hanya berhenti pada tes tersebut.
Tindakan amoral seperti kekerasan seksual lebih erat kaitannya dengan isu integritas, penyimpangan etika, kegagalan mekanisme pengawasan profesional, serta budaya di dunia kedokteran yang perlu dievaluasi ulang.
Rumah sakit sebagai institusi gagal memberikan perlindungan optimal kepada pasien dan keluarga pasien dari potensi kejahatan di lingkungan medis. Di sisi lain, materi etika diajarkan berulang kali sejak awal pendidikan kedokteran. Namun, jika pelanggaran etika masih terjadi, evaluasi terhadap cara pengajaran dan praktik etika di kalangan tenaga kesehatan menjadi penting.
Berikut beberapa rekomendasi sistemik yang perlu segera diimplementasikan:
- Penguatan Tata Kelola Obat Berisiko Tinggi. Penggunaan teknologi dalam distribusi obat-obatan berisiko tinggi, seperti anestesi, harus dioptimalkan. Pengawasan harus menjadi bagian integral dari budaya kerja, bukan sekadar formalitas untuk akreditasi.
- Penegasan Status Peserta Didik dalam SDM Rumah Sakit. Peserta PPDS harus dimasukkan ke dalam struktur SDM terbimbing, dengan batasan hak dan akses sesuai level kompetensinya. Setiap tindakan medis harus berada di bawah otorisasi dan supervisi yang ketat.
- Pemantauan Kesehatan Jiwa Secara Berkelanjutan. Institusi pendidikan dan rumah sakit perlu membentuk sistem pemantauan psikososial aktif, bukan hanya tes kejiwaan saat penerimaan. Evaluasi periodik, ruang aman untuk melapor, serta pelatihan kesehatan mental harus menjadi elemen integral dalam kurikulum pendidikan dokter.
- Kolaborasi Antar Lembaga. Sinergi antara Kementerian Kesehatan, institusi pendidikan kedokteran, organisasi profesi, dan lembaga akreditasi sangat dibutuhkan untuk menyusun pedoman bersama. Tujuannya adalah untuk menghilangkan zona abu-abu yang rentan terhadap risiko dalam fungsi pelayanan dan pendidikan di rumah sakit.
Tak hanya Dokter ke Pasien
Survei “Never Okay Project” (NOP) tahun 2020 mengungkap bahwa kekerasan seksual di dunia kedokteran tidak hanya dialami oleh pasien sebagai korban, tetapi juga antar sesama profesional kesehatan. Bahkan, pengungkapan kasus ini jauh lebih kompleks karena faktor internal.
Keberlangsungan kekerasan dan pelecehan seksual di dunia medis tidak lepas dari budaya patriarki dan sistem senioritas yang telah mendarah daging sejak tahap awal pendidikan kedokteran. Relasi kuasa antar profesional kesehatan serta antara korban dan institusi membuat kekerasan seksual terus terjadi tanpa ada penyelesaian yang tuntas. Misalnya, seorang dokter dengan status profesi yang dianggap lebih tinggi dapat melakukan kekerasan seksual tanpa rasa takut. Sementara itu, korban sering kali merasa takut melawan institusi, sehingga memilih bungkam. Akibatnya, kekerasan seksual di dunia kedokteran jarang menjadi prioritas untuk diselesaikan.
Refleksi Sistemik yang Mendesak
Kasus-kasus yang terungkap hari ini adalah cerminan sisi gelap sistem medis kita. Momen ini mestinya menjadi titik balik untuk merefleksikan banyak hal, mulai dari sistem pendidikan kedokteran, proses seleksi PPDS, hingga pengawasan praktik medis di rumah sakit. Reformasi sistem pengawasan profesi medis perlu dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya reaksi sesaat ketika kasus mencuat ke publik.
Kasus kekerasan seksual di dunia kedokteran kemungkinan besar akan terus bermunculan seiring dengan meningkatnya keberanian korban untuk bersuara. Hal ini berpotensi meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi pelayanan kesehatan. Memperbaiki kepercayaan yang rusak tentu tidak mudah, tetapi keadilan yang ditegakkan dapat menjadi langkah awal menuju penyembuhan—baik bagi korban maupun martabat profesi kedokteran itu sendiri.
Log in untuk komentar