Mekanisme Obat yang Memicu Gagal Ginjal Akut
AKI (Acute Kidney Injury, Gagal Ginjal Akut), mengacu pada penurunan fungsi ekskresi ginjal dan sering (tetapi tidak selalu) juga cedera jaringan. Deplesi volume, syok hemoragik, dan gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi, sindrom hepatorenal, kongesti vena atau hiperkalsemia dapat menyebabkan hipoperfusi ginjal yang berpotensi reversibel.
Hipoperfusi tersebut, di saat bersamaan, juga mengurangi GFR (Gromerular Filtration Rate) tanpa cedera parenkim. Tapi karena iskemia berlanjut, cedera tubulus iskemik dapat berubah menjadi nekrosis tubulus.
Obat-obatan nefrotoksik dan agen radiokontras ternyata bisa memperparah AKI pada pasien rawat inap, serta jadi penyebab umum AKI yang didapat darI para penderitanya. Beberapa mekanisme terlibat tetapi sebagian besar obat dapat diklasifikasikan ke dalam enam kategori utama.
- Beberapa obat, terutama kemoterapi (seperti cisplatin) dan antimikroba (seperti amfoterisin atau aminoglikosida), memiliki nefrotoksisitas kimia langsung. Obat-obatan yang dibersihkan melalui ginjal, seperti vankomisin, sangat bermasalah karena disfungsi ginjal yang diinduksi obat dapat menyebabkan akumulasi obat dan metabolitnya. Ini memperkuat toksisitas.
- Beberapa agen bersifat nefrotoksik melalui mekanisme yang diperantarai imun, yang menyebabkan nefritis tubulointerstitial alergi, yang dapat sulit didiagnosis karena kurangnya tanda-tanda yang jelas.
- Beberapa obat, terutama penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE) dan penghambat reseptor angiotensin, dapat menyebabkan penurunan GFR dengan mempengaruhi hemodinamik intrarenal. Obat dengan efek hemodinamik pada perfusi ginjal dapat melindungi nefron dari perkembangan terkait hiperfiltrasi menjadi CKD, meskipun penurunan perfusi ginjal yang substansial dan persisten dapat menyebabkan nekrosis tubular akut (ATN) iskemik.
- Ketika metabolit obat mengkristal di dalam tubulus ginjal, mereka dapat menyebabkan obstruksi intrarenal aliran urin dan cedera ginjal.
- Mekanisme kerja beberapa obat dapat berkontribusi terhadap AKI, seperti kegagalan perdarahan intrarenal yang berhubungan dengan antikoagulan oral atau nefropati urat akut yang berhubungan dengan obat urikosurik. Akhirnya, ekskresi ginjal dari beberapa obat atau metabolit obat bersaing dengan kreatinin pada transporter tubulus yang sama, meniru AKI, meskipun fungsi ginjal lainnya tetap tidak terpengaruh.
(Gambar : Patofisiologi dari Gagal Ginjal Akut)
Baca Juga :
- Efektivitas Terapi Jangka Panjang untuk Penyebab Umum Gagal Ginjal
- Penggunaan Metrformin pada Pasien DM Tipe 2 dengan Penyakit Ginjal Kronik
Banyak pemicu lain yang dapat menyebabkan Acute Tubular Necrosis (ATN), tapi kombinasi pemicu sering terjadi, terutama saat pasien dirawat di IGD. Data manusia tentang kondisi medis ini memang masih minim, tapi eksperimen pada hewan menunjukkan bahwa ATN bukanlah proses pasif.
ATN justru melibatkan berbagai bentuk nekrosis yang diatur, seperti nekroptosis dan ferroptosis, yang dapat menyinkronkan kematian sel tubulus di sepanjang seluruh segmen tubulus dan menyisakan glomeruli.
Sel tubulus nekrotik dapat membentuk gips dan menyumbat lumen tubulus. Nekrosis tubulus melibatkan pelepasan sinyal bahaya yang mengaktifkan Toll-like dan reseptor pengenalan pola lainnya pada sel imun residen di interstitium ginjal, yaitu sel dendritik konvensional MHCII+F4/80Hi pada tikus. Tapi, sedikit yang diketahui kondisi AKI pada manusia.
Aktivasi sel-sel ini memicu masuknya neutrofil pada fase cedera awal dan makrofag M1 dan sel myeloid lainnya pada fase cedera akhir, yang semuanya berkontribusi pada respons inflamasi lokal yang mempercepat nekrosis tubulus, berujung pada amplifikasi otomatis yang disebut sebagai nekroinflamasi.
Kecuali jika pemicu nefrotoksik berlanjut, seperti pada iskemia persisten, paparan toksin atau alloimunitas, banyak kontra-regulator mendukung resolusi nekroinflamasi. Ini merupakan persyaratan untuk meluncurkan respons penyembuhan.
Kapasitas untuk menggantikan sel tubulus yang hilang terbatas pada subset sel tubulus imatur (progenitor ginjal) yang tersebar di sepanjang nefron yang mempertahankan kapasitas untuk menggantikan sel epitel tunggal dan, dalam beberapa kasus, untuk meregenerasi seluruh segmen tubulus.
Hilangnya seluruh progenitor ini mengganggu regenerasi segmen tubulus yang terkena, yang dapat mengakibatkan hilangnya nefron yang ireversibel. Jumlah nefron yang hilang secara ireversibel dalam episode AKI menentukan prognosis jangka panjang fungsi ginjal.
Kehilangan nefron sulit untuk dinilai dalam praktik klinis karena, bahkan setelah AKD persisten, fungsi ginjal sering pulih sampai batas tertentu. Tapi, pemulihan fungsi ginjal tidak selalu mewakili regenerasi, karena kapasitas fungsional dapat ditingkatkan dengan poliploidisasi sel epitel tubulus pada nefron yang tidak terpengaruh (hipertrofi kompensasi).
Mekanisme yang dilestarikan secara evolusioner ini memungkinkan peningkatan keluaran fungsional yang menyelamatkan nyawa dari sel-sel parenkim yang berbeda dalam organ dengan pergantian sel yang terbatas.
Pada ginjal yang terluka, proses seperti diferensiasi dan peristiwa mitosis di mana sel tidak lagi berkontribusi pada kinerja fungsional akan tidak sesuai dengan mempertahankan fungsi ginjal pada fase di mana ini paling dibutuhkan untuk memastikan kelangsungan hidup.
Namun, dalam bentuk ATN yang parah, poliploidisasi dan proliferasi progenitor tidak dapat mempertahankan fungsi residual yang cukup, dan ATN yang parah mematikan kecuali KRT digunakan untuk menutupi waktu sampai tingkat fungsi ginjal yang menopang kehidupan pulih.
Diagnosis dan Klasifikasi
1. Orang Dewasa
Ada bukti yang menunjukkan bahwa gangguan fungsi ginjal akut ataupun dalam jumlah kecil, yang dimanifestasikan oleh perubahan kimia darah dan keluaran urin, dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk dari AKI.
Definisi terbaru tentang AKI mencakup spektrum yang lebih lengkap, termasuk sindom dari peningkatan kecil kreatinin serum sehingga kebutuhan Kidney Replacement Therapy (KRT). Definisi itu disebut lebih lengkap ketimbang metode RIFLE dan AKIN yang sudah bertahun-tahun digunakan.
Klasifikasi RIFLE dan AKIN memiliki tiga tingkat keparahan berdasarkan perubahan tingkat kreatinin serum atau keluaran urin, dan yang lebih buruk dari dua kriteria ini digunakan untuk menentukan tingkat.
RIFLE dan AKIN dengan demikian memperkenalkan kerangka kerja konseptual tentang cara mendiagnosis dan stadium AKI, tetapi modifikasi lebih lanjut diperlukan untuk memenuhi kompleksitas klinis AKI, terutama di luar ICU atau perawatan di rumah sakit.
Pedoman yang diterbitkan KDIGO pada 2012 mendefinisikan kriteria diagnostik untuk AKI dan AKD. Tidak seperti rekomendasi sebelumnya, kriteria KDIGO tidak lagi memerlukan resusitasi cairan yang memadai untuk dilakukan dan obstruksi urin disingkirkan sebelum menggunakan cara ini.
Secara khusus, pasien penyakit ginjal kronis punya kecenderungan untuk gagal ginjal akut, sebab fase kronis merupakan faktor risiko independen untuk AKI. Tapi yang harus digarisbawahi, diagnosis AKI pada pasien dengan CKD sangat sulit, karena pasien ini memiliki gangguan fungsi ginjal dan persentase perubahan kadar kreatinin serum setelah AKI turut dikacaukan oleh fungsi ginjal dasar.
Hanya kenaikan absolut yang lebih besar pada tingkat kreatinin yang menunjukkan hubungan independen langsung dengan kematian. Tapi, AKI pada pasien dengan CKD membawa risiko serius, yang diakui dengan mendefinisikan setiap kenaikan kreatinin serum hingga >4 mg/dl sebagai AKI stadium lanjut.
Kriteria KDIGO menggunakan penurunan output urin, tapi mengurangi output urin juga merupakan mekanisme fisiologis dalam menanggapi asupan cairan yang berkurang atau malah hilang sama sekali. Contohnya berkeringat dengan mudah merespon asupan cairan dan biasanya tidak menunjukkan cedera tubulus.
Tubulus yang cedera tidak lagi merespons diuretik karena hilangnya transporter natrium yang dibutuhkan. Karena itu, satu bolus diuretik loop tunggal yang tidak diikuti oleh peningkatan produksi urin yang substansial, disebut sebagai uji stres furosemid, menunjukkan cedera tubulus. Bahkan, kejadian AKI jauh lebih tinggi dengan keluaran urin abnormal dan kadar serum kreatinin serum ketimbang kadar kreatinin serum abnormal (62,1% berbanding 17,7%).
2. Anak-Anak
Setelah usia 2 tahun, pertumbuhan ginjal menghasilkan GFR yang setara dengan orang dewasa bila disesuaikan dengan luas permukaan tubuh, tetapi kriteria kreatinin serum sulit diterapkan pada pasien anak-anak yang lebih kecil, karena mereka memiliki massa otot yang lebih rendah yang tidak mencapai nilai kreatinin serum yang tinggi.
Dengan demikian, kriteria pediatrik RIFLE (pRIFLE) dikembangkan, yang menentukan stadium AKI dengan peningkatan kadar kreatinin, penurunan GFR, atau penurunan output urin/ Pedoman KDIGO juga mengacu pada kriteria pRIFLE untuk definisi AKI pada anak-anak.
Namun, definisi tersebut hanya boleh digunakan pada anak-anak berusia >1bulan. Nilai praktis pRIFLE ditunjukkan dalam percobaan yang dilakukan pada 103 pasien (usia rata-rata 4,5 tahun) dalam hasil penelitian John A. Kellum beserta kolega yang dipublikasikan pada 2021 silam.
Konsekuensi Jangka Panjang dari AKI
Adaptasi yang terjadi sebagai respons terhadap hilangnya sel ginjal atau seluruh nefron yang ireversibel dapat memastikan kelangsungan hidup jangka pendek tetapi mereka memiliki pertukaran yang cukup besar yang mempengaruhi hasil jangka panjang setelah episode AKI atau AKD.
1. Kehilangan nefron ireversibel, fibrosis dan CKD (Chronic Kidney Disease)
Sebagian besar nefron tetap rusak dan hilang secara ireversibel, yang menyiratkan CKD pasca-AKI dan pengurangan umur ginjal. Albuminuria setelah AKI merupakan indikator klinis CKD, bahkan jika GFR tampaknya pulih sepenuhnya.
Orang tua lebih sering menderita kehilangan nefron dan preseden CKD sebab cedera sebelumnya atau nefropati kronis. Jadi, karena ATN menyiratkan kehilangan nefron, tingkat keparahan ATN menentukan efeknya pada umur ginjal. Dalam kasus ekstrim, ATN parah dapat mengakibatkan gagal ginjal dengan kebutuhan untuk KRT persisten.
2. Hipertensi, penyakit jantung dan stroke
Orang yang selamat dari AKI mungkin menghadapi hipertensi, yang bisa menjadi tanda CKD subklinis. Sebuah studi kohort retrospektif mengidentifikasi peningkatan 22% dalam risiko tekanan darah> 140/90 mmHg pada mereka yang memiliki AKI dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami AKI setelah penyesuaian untuk faktor demografi, status kesehatan preseden dan faktor risiko kardiovaskular.
Sebuah meta-analisis kepada 254.150 orang dewasa (55.150 di antaranya AKI) menemukan bahwa AKI meningkatkan risiko gagal jantung sebesar 58%, infark miokard sebesar 40% dan stroke mencapai 15%.
Namun, apakah peningkatan ini berhubungan dengan efek pada sistem kardiovaskular selama episode AKI atau peningkatan risiko karena CKD pasca-AKI masih belum jelas.
3. Kematian
Orang yang selamat dari AKI menghadapi peningkatan mortalitas pasca rawat inap. Sebuah meta-analisis dari 110 studi yang menggunakan definisi KDIGO tentang AKI menemukan kematian terkait AKI sebesar 23%. Dalam analisis >5 juta pasien yang keluar dari rumah sakit, mortalitas dalam 90 hari adalah 35% pada pasien dengan AKI dan 13% pada pasien tanpa AKI. Mortalitas jangka panjang di antara pasien dengan AKI juga dapat meningkat hanya 4-5 tahun setelah operasi.
Dalam sebuah penelitian pada pasien yang menjalani operasi jantung, peningkatan risiko kematian tidak tergantung pada pemulihan fungsi ginjal pada saat keluar dari rumah sakit dan dimulai hanya 4-5 tahun setelah operasi.
Sebuah tinjauan sistematis termasuk 47.017 pasien yang telah keluar dari rumah sakit melaporkan 8,9 kematian per 100 orang-tahun pada mereka yang memiliki AKI dibandingkan dengan 4,3 kematian per 100 pasien-tahun pada mereka yang tanpa AKI.
Penyebab kematian paling umum setelah rawat inap dengan AKI adalah penyakit kardiovaskular (28%) dan kanker (28%), dengan rasio kematian standar masing-masing hampir enam hingga delapan kali lipat lebih tinggi.
Episode AKI menyiratkan risiko untuk perkembangan selanjutnya dari kanker ginjal, ditambah episode AKI setelah nefrektomi parsial untuk kanker ginjal yang meningkatkan risiko kekambuhan kanker. Ini mungkin lantaran cedera ginjal menginduksi kerusakan DNA dan ekspansi klon sel bermutasi selama fase perbaikan.
Memang, progenitor ginjal yang memberikan regenerasi tubulus pada ATN iskemik dapat berubah menjadi sel induk tumor serta memicu lesi monoklonal dalam urutan adenoma-karsinoma sel ginjal papiler.
Gangguan ginjal pada segmen nefron lainnya berujung pada munculnya jenis kanker ginjal lain. Dengan demikian, kanker ginjal adalah proses jangka panjang regenerasi ginjal yang mendukung kelangsungan hidup jangka pendek selama ATN.
Referensi :
- Ronco, C., Bellomo, R., & Kellum, J. A. (2019). Acute kidney injury. The Lancet, 394(10212), 1949–1964.
- KDIGO AKI Work Group. (2012). KDIGO clinical practice guideline for acute kidney injury. Kidney Int. Suppl. 2, 1–138.
- Hoste, E. A., Clermont, G., Kersten, A., Venkataraman, R., Angus, D. C., De Bacquer, D., & Kellum, J. A. (2006). RIFLE criteria for acute kidney injury are associated with hospital mortality in critically ill patients: a cohort analysis. Critical care (London, England), 10(3), R73.
- Lazzeri, E., Angelotti, M. L., Conte, C., Anders, H. J., & Romagnani, P. (2019). Surviving Acute Organ Failure: Cell Polyploidization and Progenitor Proliferation. Trends in molecular medicine, 25(5), 366–381.
- Sharfuddin, A. A., & Molitoris, B. A. (2011). Pathophysiology of ischemic acute kidney injury. Nature reviews. Nephrology, 7(4), 189–200.
- Silver, S. A., Harel, Z., McArthur, E., Nash, D. M., Acedillo, R., Kitchlu, A., Garg, A. X., Chertow, G. M., Bell, C. M., & Wald, R. (2018). Causes of Death after a Hospitalization with AKI. Journal of the American Society of Nephrology : JASN, 29(3), 1001–1010.
Log in untuk komentar