sejawat indonesia

Penggunaan Metrformin pada Pasien DM Tipe 2 dengan Penyakit Ginjal Kronik

International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan dalam pedoman praktik diabetes 2021 bahwa prevalensi diabetes mellitus (DM) di dunia telah mencapai 12,2% dengan usia berkisar di antara 20-79 tahun. Berdasarkan perkiraan pada tahun 2019, jumlah kematian terkait diabetes dan komplikasinya telah mencapai angka 4,2 juta jiwa dan sebagian besar kematian terjadi pada usia di bawah 60 tahun. Di seluruh dunia diperkiran setidaknya terdapat 463 orang yang hidup dengan diagnosis diabetes. Secara epidemiologi diabetes sering kali tidak terdeteksi dan biasanya terdiagnosis setalah 7 tahun onset gejala, sehingga mortalitas dan morbiditas semakin meningkat, kebanyakan dari peningkatan angka tersebut diisi oleh kasus diabetes yang tidak atau lambat terdeteksi. Diabetes mellitus diketahui sebagai salah satu penyakit metabolik dengan karakterisitik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau bahkan kedua-duanya. Diabetes mellitus disebut silent killer karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Kondisi hiperglikemik yang kronik pada diabetes berhubungan erat dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembulu darah. Salah satu dari komplikasi yang banyak ditemukan adalah penyakit ginjal kronik, yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat global, seiring dengan peningkatan prevalensi kejadian DM tipe 2. Penyakit ginjal kronik ini timbul pada sekitar 35% pasien dengan DM tipe 2 dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas. Penyakit ginjal kronik didefenisikan sebagai abnormalitas dari struktur dan fungsi ginjal, yang ditentukan dengan penanda kerusakan ginjal atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) selama lebih dari 3 bulan. Secara mekanisme terjadinya CKD oleh karena penyakit diabetes yang berjalan kronis sehingga menyebabkan penurunan massa ginjal, seiring menurunnya massa ginjal, mekanisme kompensasi sisa nefron yang masih baik akan mengalami hiperfiltrasi karena peningkatan tekanan dan aliran kapiler glomerulus dan selanjutnya terjadi hipertropi, hipertropi struktural dan  fungsional dari sisa nefron yang masih baik terjadi akibat molekul vasoaktif sitokin, serta growth factor dan aktifitas renin-angiotensin internal, sehingga menyebabkan proses adaptasi yaitu hipertropi dan hiperfiltrasi berubah menjadi maladaptive seperti proteinuria yang selanjutnya menyebabkan kerusakan tubulus, inflamasi interstitial, dan akhirnya nefrosklerosis. Jumlah nefron yang berfungsi akan terus berkurang dan akhirnya menimbulkan uremia. Salah satu pengobatan dari dibetes mellitus dengan efek samping minimal dan dengan keuntungan yang lebih banyak yaitu metformin. Metformin adalah obat golongan biguanin, sebagai obat antihiperglikemik oral yang telah digunakan dalam pengobatan diabetes mellitus selama bertahun-tahun. Pada tahun 1920-an ditemukan bahwa bahan aktif dalam ekstrak lilac Perancis, yang menurunkan kadar glukosa darah adalah guanine (HNC)NH2)2). Pada tahun 1955, penggunanaan metformin disetujui oleh FDA sebagai terapi antihiperglikemik karena, metformin mengurangi kadar glukosa melalui beberapa mekanisme termasuk, 1) penghambatan gluconeogenesis hati; 2)peningkatan sensitivitas insulin; 3) peningkatan penyerapan yang dimediasi oleh insulin; 4) reduksi asam lemak bebas sebagai substrat untuk gluconeogenesis. Oleh karena itu, terapi untuk diabetes yang dianjurkan menurut FDA adalah penggunaan metformin, namun dengan ketentuan bahwa penggunaannya dikotraindikasikan pada penyakit ginjal dan disfungsi ginjal. Pada fungsi ginjal normal, tingkat pembersihan metformin adalah 505 kurang lebih 129 mL/menit dengan half life 5-7 jam. Namun pada kebanyakan pasien dengan estimasi GFR dari 30 – 60 mL/menit/1.73 myang disebut sebagai CKD stage 3, proses filtrasi tereduksi sebanyak 75%. Besarnya risiko kematian dengan penggunaan metformin pada pasien CKD, sehingga banyak pedoman yang menuliskan bahwa penggunaan metformin dihindari karena potensinya berkaitan dengan asidosis laktat.  Salah satu penelitian yang dilakukan di Kanada, menunjukkan bahwa metformin terus diresepkan pada pasien DM dengan CKD lanjut derajat 4 dan derajat 5, hal tersebut membawa posisi penggunaan metformin sebagai terapi yang kontroverisal. Sehingga penelitian demi penelitian pun digalakkan. Korean Diabetes Association (KDA) dan Korean Society of Nephrology (KSN) telah menyetujui konsensus untuk penggunaan metformin pada pasien dengan DMT2 dengan gangguan ginjal atau pasien yang melakukan pemeriksaan menggunakan Iodinated Contrast Media (ICM). Sehingga, pada tahun 2015 penggunaan metformin meningkat menjadi 90,3% dari semua resep antidiabetes. Penggunaan inhibitor dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) dimulai segera setelah dirilis akhir tahun 2008 dan meningkat drastis menjadi 54,3% pada tahun 2015. Sebaliknya, penggunaan SU menurun drastis dari 75,9% pada tahun 2009 menjadi 48,4% pada tahun 2015. Pada pasien dengan eGFR antara 30 dan 45 mL/min/1,73 m2, metformin paling umum digunakan (68,6%) pada tahun 2015, SU adalah agen kedua (59,7%), dan inhibitor DPP-4 adalah agen ketiga (58,6%). Oleh karena itu, mereka menemukan bahwa bahkan di antara pasien yang diklasifikasikan dengan CKD stadium 3, penggunaan metformin relatif umum dalam kondisi klinis yang dipahami. Karena potensi risiko asidosis laktat yang fatal, metformin telah lama tidak diresepkan, terutama untuk pasien dengan gagal jantung (HF). Situasi ini telah banyak berubah mengikuti studi epidemiologi baru yang menunjukkan risiko asidosis laktat yang terkait dengan penggunaan metformin tidak lebih besar daripada obat antidiabetes lainnya, dan penggunaan metformin pada pasien dengan DM dan gagal jantung tidak meningkatkan risiko asidosis laktat. Mereka juga menemukan bahwa penggunaan metformin tidak terkait dengan peningkatan insiden gagal jantung dalam studi kasus-kontrol pasien DMT2 yang pertama kali didiagnosis dengan gagal jantung pada tahun 2013 dan 2015. European Medicines Agency, dalam penelitiannya mengenai “Pharmacokinetics of Medicinal Products in Patients with Impaired Renal Function”,  menerangkan bahwa FDA merekomendasikan penggunaan metformin pada pasien DMT2 dengan CKD dengan catatan sebagai berikut, 1) Sebelum memulai metformin, periksa nilai eGFR pasien, 2) Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan eGFR <30 mL/menit/1,73 m2, 3) Memulai terapi metformin pada pasien dengan eGFR 30-45 mL/menit/1,73 m2 tidak dianjurkan, 4) Periksakan eGFR setidaknya setiap tahun pada semua pasien yang menggunakan metformin, 5) Untuk pasien dengan peningkatan risiko perkembangan gangguan ginjal, seperti pasien usia lanjut, fungsi ginjal harus dinilai lebih sering, 6) Untuk pasien yang menggunakan metformin yang kemudian eGFR-nya turun dibawah 45 mL/menit/1,73 m2, nilai kembali manfaat dan risiko melanjutkan pengobatan, dan 7) hentikan metformin jika eGFR pasien turun di bawah 30 mL/menit/1,73 m2.  Selain itu, European Medicine Agency (EMA) merekomendasikan pengurangan dosis metformin untuk pasien dengan penurunan moderat pada fungsi ginjal. Lalau, dkk. menerbitkan 3 studi pelengkap mengenai penggunaan metformin untuk pasien DMT2 dengan CKD tahap 3a, 3b, atau 4, yaitu studi penemuan dosis, studi pengobatan metformin kronis, dan studi farmakokinetik. Berdasarkan hasil studi penemuan dosis, mereka memilih rejimen dosis 1500 mg/hari untuk pasien dengan DMT2 dan CKD stadium 3a, 1000 mg/hari untuk pasien dengan DMT2 dan CKD stadium 3b, dan 500 mg/hari untuk pasien dengan DMT2 dan CKD stadium 4. Kekhawatiran akan komplikasi penggunaan metformin pada pasien DM tipe 2 dengan CKD adalah terjadinya asidosis laktat, komplikasi yang cukup popular dari terapi biguanide yang biasanya terjadi ketika produksi asam laktat melebihi pembersihan asam laktat, umumnya didefinisikan sebagai pH darah <7,35 dan tingkat laktat darah>45,0 mg/dL atau >5 mmol/L. Asidosis laktat adalah komplikasi yang jarang tetapi berpotensi mengancam jiwa, dengan risiko kematian yang dilaporkan mendekati 50% ketika kadar laktat serum >23 mg/dL. Oleh karena itu, sekalipun penggunaan metformin adalah terapi pilihan dalam DM, namun, ada beberapa pengecualian dengan pasien yang terdapat penyakit ginjal kronik, sehingga penggunaannya harus dengan kehati-hatian mengikuti mekanisme syarat yang telah dirokemendasikan.    
Referensi :
Kyu Yeon Hur, Mee Kyoung Kim, Seung Hyun Ko, Miyeun Han4, Dong Won Lee, Hyuk-Sang Kwon. Metformin Treatment for Patients with Diabetes and Chronic Kidney Disease: A Korean Diabetes Association and Korean Society of Nephrology Consensus StatementCommittee of Clinical Practice Guidelines. Diabetes Metab J 2020;44:3-10. https://doi.org/10.4093/dmj.2020.0004   pISSN 2233-6079 · eISSN 2233-6087.
International Diabetes Federation (IDF), in Collaboration with the Diabetes and Ramadan (DAR) International Alliance. Diabetes and Ramdhan Practical Guidelines 2021. Januari 2021. Brussels, Belgium.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaKetepatan Pengobatan Anemia Defisiensi Zat Besi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar