sejawat indonesia

Langkah-Langkah yang Ditempuh Jika Melakukan Medical Error

Medical error (kesalahan medis) berpotensi tetap terjadi meski seorang dokter sudah berusaha teliti sejak tahap awal prosesnya. Hasil studi yang dipublikasikan BMJ pada 2016 menyebut bahwa inilah penyebab kematian terbanyak ketiga pasien Rumah Sakit di Amerika Serikat.

Bagaimana dengan Indonesia? Data Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) pada 2008 menjabarkan fakta bahwa medical error menempati peringkat pertama (24,8%) dari 10 besar insiden di rumah sakit yang pernah dilaporkan.

Jadi, sudah jelas ini adalah momok yang menghantui pekerjaan seorang dokter. Mereka juga dibayangi rasa malu, bersalah, memperburuk kesehatan mental, mengurangi kepercayaan diri, dan memengaruhi kualitas perawatan yang diberikan. Selain itu, kesalahan inipun dapat mengakibatkan litigasi malpraktik dan mengancam nyawa pasien.

Memang, kesalahan bisa terjadi di profesi manapun, termasuk dalam sektor kesehatan. Tapi yang terpenting di situasi medical error ini adalah bagaimana tim klinis merespons. Terus apa yang harus dilakukan saat mengalami dan melakukannya? Ini beberapa langkah yang harus ditempuh.

Bersikap Transparan

Menyangkal, berbohong atau mengabaikan hanya membuat semuanya memburuk. Dokter harus melaporkan situasi sebenarnya kepada pemangku jabatan internal yang tepat sesegera mungkin setelah kesalahan terdeteksi.

Ini bisa menciptakan akuntabilitas atas tindakan yang sudah dilakukan, serta memungkinkan sang pelimpah wewenang untuk memulai proses audit internal. Ini demi meningkatkan hasil analisis kondisi pasien dan membantu seorang dokter mengurangi risiko hukum yang bisa menjeratnya.

Setelah melaporkan medical error secara internal, pengelola Rumah Sakit atau klinik (atau juga fasyankes yang lain) harus sama-sama terbuka terhadap pasien dan/atau keluarganya agar situasi yang terjadi bisa dipahami dengan baik. Sebab bagaimana pun, mereka tetap berhak mendapat penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi kepada anggota keluarga yang mereka cintai.

Namun memang, secara teori, ini sangat mudah diucapkan daripada dilakukan. Menurut Sharon F. McGhee, MD, PhD. dari American Society of Clinical Oncology (ASCO), dokter memang sulit menerima kegagalan. Ini disebutnya bersal dari Sumpah Hippokrates (dan tentu saja Sumpah Kedokteran Indonesia) yang melarang dokter untuk membahayakan kondisi pasien yang sedang ditanganinya.

Lebih jauh, McGhee menyebut bahwa Protokol SPIKES (prosedur penyampaian berita duka) juga punya peran penting di situasi medical error. Selain itu, sang dokter juga perlu mengingat linimasa kesalahan, menyiapkan penjelasan yang ringkas dan tepat waktu kala memberi tahu pasien tentang kesalahan yang terjadi.


Baca Juga :


Berempati

Saat menjelaskan kepada pasien dan/atau keluarganya tentang kesalahan medis yang diperbuat oleh seorang dokter atau timnya, ucapan tanggung jawab dan mengungkapkan rasa penyesalan yang mendalam tetap utama.

Ini jelas sebuah hal yang berisiko dan tidak pernah mudah. Malah bisa membuat seorang dokter terjebak. Resistensi dan bahkan kekerasan bisa menjadi jawaban balasan. Tapi, Robert D. Truog, MD, Direktur Pusat Bioetika Harvard Medical School, pada tahun 2020 silam menyebut bahwa ucapan tanggung jawab dan permintaan maaf tetaplah sebuah hal yang benar untuk dilakukan. Dengan catatan bisa dilakukan dengan baik.

Tak cuma kata-kata saja yang dilontarkan, tapi seorang dokter juga harus menjelaskan mengapa medical error ini terjadi. Dokter yang melakukannya juga harus mengatakan dengan gamblang bahwa ia siap memikul tanggung jawab.

Pada akhirnya, ketakutan akan litigasi atau konsekuensi hukum tidak boleh menciptakan situasi yang justru menghalangi perawatan pasien. Sebuah studi yang dilakukan Universitas Stanford bpada tahun 2017 menemukan fakta bahwa kepatuhan terhadap protokol usai medical error (pengungkapan fakta secara menyeluruh/transparansi, permintaan maaf, dan resolusi/mencari jalan keluar) tidak meningkatkan risiko litigasi.

Para peneliti Stanford menyimpulkan bahwa, tampaknya, meminta maaf dan pernyataan untuk bertanggung jawab penuh tidak mungkin menjadi bumerang.

Maafkan Diri Sendiri

Setelah melakukan medical error, pasien bukan satu-satunya yang membutuhkan empati. Dokter harus memaafkan diri mereka sendiri demi tetap bekerja dan memberi perawatan berkualitas tinggi. Terlebih, fakta yang ditemukan beberapa kasus di mana dokter goyah secara mental.

Para peneliti dari Virginia University, Florida University, dan Harvard University merilis sebuah penelitian di Academic Medicine pada awal tahun 2016. Mereka mewawancarai 61 dokter yang telah melakukan kesalahan medis yang serius. Laporan tersebut menjelaskan karakteristik dan praktik terperinci yang membantu dokter usai melakukan kesalahan.

Mereka menemukan bahwa memiliki dukungan moral yang kuat, kemampuan untuk berkomunikasi dengan teman sejawat, dan kesediaan untuk memaafkan diri sendiri menjadi kunci untuk menghindari performa profesional jeblok pasca-medical error.

Untuk memaafkan diri sendiri, dokter harus dilayani dengan baik dengan bantuan pada rekan-rekan sejawat dan tenaga medis lainnya. Dukungan emosional menjadi kuncinya. Perlu ada sesi di mana sang dokter harus menceritakan ini kepada sejawatnya.

Para peneliti menyebut bahwa membicarakan kesalahan medis kepada rekan sejawat memungkinkan dokter menyadari bahwa praktisi lain yang sangat mahir sekalipun juga bisa membuat kesalahan yang tidak menguntungkan, atau bahkan serupa.

Dari situ, dokter berpotensi menjadi pribadi yang lebih kuat dan menghindari lubang bernama pikiran depresif. Alhasil, lahirlah penerimaan situasi, alias berdamai dengan gejolak kerisauan dalam diri sendiri.

Belajar dari Kesalahan

Hasil terbaik dari kesalahan medis adalah tidak membahayakan pasien. Hasil terbaik berikutnya adalah menghindari kesalahan di masa depan. Para ahli menunjukkan bahwa, bersama dengan transparansi dan memaafkan diri sendiri, belajar dari kesalahan adalah pilar penting dari respons dokter mana pun terhadap kasus medical error yang dihadapi.

Jika dokter telah benar-benar transparan selama proses pelaporan, kemungkinan besar mereka akan memiliki pemahaman terperinci tentang apa yang jadi penyebab. Bisa jadi karena kesalahan saat diagnosis, kebiasaan buruk, atau kesenjangan pengetahuan.

Seperti yang mereka lakukan saat merawat pasien, seorang dokter bisa mulai mengatasi penyebab mendasar dari peristiwa traumatis ini untuk menguranginya di masa depan.

Proses pembelajaran itu juga dapat menjadi bagian dari coping mechanism seorang dokter yang melakukan kesalahan, sarana untuk memulihkan kepercayaan dan kebanggaan dalam pekerjaan mereka dengan berfokus pada perbaikan kinerja.

Pamela Wible, MD, menulis dalam sebuah artikel yang dipublikasikan di situs KevinMD bahwa dokter harus mempertimbangkan ini sebagai cara untuk menghormati pasien mereka dengan belajar bagaimana mencegah kesalahan di masa depan.

Wible juga mendorong dokter untuk lebih dari sekadar mengoreksi kesalahan untuk diri mereka sendiri. Ia percaya bahwa penting untuk kemudian membagikan pengetahuan baru itu dengan rekan-rekan sejawat. Kegagalan pribadi juga harus dipandang sebagai peluang untuk pertumbuhan kolektif dan perbaikan dalam perawatan.

Bekerja Menuju Budaya Transparansi yang Baru

Layanan kesehatan semakin memahami perubahan budaya yang harus dilakukan untuk menghindari kesalahan medis. Itu dimulai dengan mengatasi kelelahan dokter.

Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Western Journal of Emerging Medicine pada 2019, peristiwa traumatis seperti kesalahan medis sering menyebabkan "sindrom korban kedua" (SVS), di mana rasa bersalah dan stres menghambat kehidupan pribadi dan profesional seorang dokter ke titik kelelahan dan risiko besar.

Studi tersebut bahkan menjabarkan bahwa, pada 2018, sebanyak 6.000 dokter darurat telah mempertimbangkan untuk bunuh diri lantaran beban kerja berlebih yang berdampak pada mental.

Para peneliti menulis bahwa masyarakat memandang dokter sebagai seseorang yang tidak pernah melakukan kesalahan. Dan tentu saja ini adalah pandangan yang keliru.

Sterotipe masyarakat mungkin sulit untuk dikesampingkan oleh dokter ketika menghadapi kesalahan. Mereka juga menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, medical error yang harusnya kegagalan sebuah sistem rantai koordinasi bekerja justru menjadi kesalahan individu.

Untuk mengurangi kesalahan medis dan mengurangi risiko menjadi "korban kedua", setelah kesalahan terjadi, dokter harus bekerja dengan rekan-rekan sejawat dalam fasilitas kesehatan tempat mereka bekerja untuk menciptakan budaya dukungan dan transparansi internal.

Ini sejalan dengan sebuah ungkapan lama, yakni lebih baik ketimbang mengobati. Memerangi kelelahan dan meningkatkan komunikasi sangat penting untuk mencegah medical error di masa mendatang.


Referensi :

  • Makary, M. A., & Daniel, M. (2016). Medical error—the third leading cause of death in the US. BMJ, i2139.
  • Mello, M. M., Kachalia, A., Roche, S., Niel, M. V., Buchsbaum, L., Dodson, S., Folcarelli, P., Benjamin, E. M., & Sands, K. E. (2017). Outcomes in two Massachusetts hospital systems give reason for optimism about communication-and-resolution programs. Health Affairs, 36(10), 1795–1803.
  • Plews-Ogan, M., May, N., Owens, J., Ardelt, M., Shapiro, J., & Bell, S. K. (2016). Wisdom in Medicine: What Helps Physicians After a Medical Error? Academic Medicine, 91(2), 233–241.
  • Stehman, C., Testo, Z., Gershaw, R., & Kellogg, A. (2019). Burnout, drop out, suicide: Physician loss in emergency medicine, part I. Western Journal of Emergency Medicine, 20(3), 485–494.
  • When things go wrong: Dealing with medical errors. ASCO Connection. (2020, January 10). Retrieved November 4, 2022, from https://connection.asco.org/tec/career/when-things-go-wrong-dealing-medical-error
  • Wible, P. (2020, November 9). What not to do after a medical mistake. KevinMD.com. Retrieved November 4, 2022, from https://www.kevinmd.com/2020/11/what-not-to-do-after-a-medical-mistake.html 
  • What do I do if I make a medical error? | MDLinx. (n.d.). Retrieved November 4, 2022, from https://www.mdlinx.com/article/what-do-i-do-if-i-make-a-medical-error/1MtRmwIA7bewf1AO07w39T 
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPengaruh Glaukoma pada Demensia

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar