sejawat indonesia

Peneliti Dapati Metabolit dan Urin Berpotensi Mudahkan Deteksi Lupus

Penyakit Systemic lupus erythematosus (SLE) atau lupus memiliki risiko kematian yang tinggi. Tapi, datanya di Indonesia masih sangat minim. Cuma ada angka taksiran berdasarkan survei yang dilakukan oleh Prof. Handono Kalim dkk pada tahun 2013. Mereka memperoleh prevalensinya mencapai 0,5 persen dari total populasi. Prevalensi lain adalah 20-150 kasus per 100.000 penduduk.

Berdasarkan data yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 lalu, diperoleh fakta bahwa jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai angka 273,5 juta jiwa. Dari taksiran Prof. Handono Kalim, maka bisa ditarik angka bahwa penderita lupus di tanah air sudah mencapai 1,36 juta jiwa, dengan mengesampingkan pertumbuhan penduduk atau kasus baru yang mungkin muncul selama dua tahun terakhir.

Sekali lagi, harus dicamkan bahwa angka pastinya memang susah diperoleh. Ini tak lepas dari sifat penyakit inflamasi autoimun kronis tersebut sering keliru saat dikenali. Selain itu, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Pusdatin Kemenkes RI) menyakan bahwa diagnosisnya kerap terlambat, termasuk penatalaksanaan kasus.

Belum lagi menilik fakta yang ditemukan tahun 2006 silam bahwa ada sekitar 48,8 persen yang kurang memahami kriteria diagnostik SLE. Sedangkan kasus SLE yang dilaporkan tak lebih dari 12 persen, atau mencapai 164 ribu kasus.

SLE sendiri diketahui memengaruhi banyak organ dalam manusia seperti ginjal, kulit, sendi dan jantung. Dengan statusnya sebagai momok di dunia medis, dua hasil riset yang dilakukan oleh University of Houston baru-baru ini diharapkan mampu menguak sedikit demi sedikit fakta tentang penyakit lupus.

Chandra Mohan dari Departemen Teknik Biomedis University of Houston, bersama 16 peneliti menerbitkan dua jurnal hasil penelitian terbaru yang menarik. Pertama adalah hubungan lupus dengan penyakit kardiovaskular dalam Frontiers in Cardiovascular Medicine pada 16 Mei 2022.

Mereka menggunakan proses skrining metabolomik komprehensif dari serum awal pasien lupus untuk mengidentifikasi metabolit. Ini disebut sebagai metode untuk memperkirakan perkembangan plak karotis di masa depan, atau dalam jangka delapan hingga sembilan tahun masa tindak lanjut. 

Para subjek yang terlibat dalam penelitian ini yakni sembilan pasien memiliki SLE tanpa perkembangan plak eritema, delapan dengan SLE dan berkembang menjadi plak aterosklerosis, dan delapan orang lainnya sama sekali tidak mengidap SLE.

Mohan menemukan bahwa metabolit jalur asam arakidonat, leukotrien B4 (LTB4) dan asam 5-hidroksieikosatetraenoat (5-HETE), dan lipid teroksidasi 9/13-hydroxyoctadecadienoic acid (HODE) ditemukan berubah secara signifikan (p <0,05 dan perubahan lipatan >2) pada pasien SLE ketimbang pasien SLE tanpa plak. Ia juga menulis bahwa pasien SLE juga menunjukkan perubahan tingkat metabolit asam amino rantai cabang (BCAA) dan plasmalogen yang signifikan dibandingkan mereka yang tanpa SLE.


Baca Juga :

Penyakit Lupus dan Ketidakseimbangan Mikrobioma Usus

Mekanisme Anti Malaria Sebagai Terapi Lupus Eritematosus Sistemik


Lebih jauh, temuan Chandra Mohan beserta kolega menunjukkan bahwa metabolit yang diidentifikasi mungkin bukan cuma sekadar prognosis perkembangan penyakit kardiovaskular pasien SLE, tapi juga berpotensi menjadi pendorong aktif pembentuk kista ateroma. Bentuk identifikasi dini seperti ini disebut bisa membantu penyusunan tindakan pencegahan yang rinci pada awal-awal munculnya penyakit tersebut pada seseorang.

Temuan kedua terkait lupus nefritis (NL) atau radang ginjal pada anak-anak. NL adalah salah satu komplikasi paling parah para pasien lupus, dan jadi penyebab utama kematian di antara pasien lupus. Chandra Mohan menulis dalam hasil penelitian yang dipublikasikan Frontiers in Immunology pada 22 Mei silam, bahwa kira-kira ada seperempat dari pasien lupus meregang nyawa akibat didera penyakit ginjal stadium akhir.

Mereka hendak menemukan biomarker LN bersifat non-invasif demi mengganti metode biopsi ginjal, cara yang sudah lumrah dilakukan tapi sangat menyakitkan anak-anak. Untuk itu, tim Mohan mengevaluasi kinerja sepuluh penanda protein urin yang beragam termasuk sitokin, kemokin, dan molekul adhesi. Ini bertujuan untuk membedakan aktivitas penyakit pada SLE masa kanak-kanak di antara 84 pasien yang semuanya berusia 18 tahun ke bawah.

Mereka menemukan bahwa konsentrasi urin ALCAM (activated leukocyte CAM), KIM-1 (kidney injury molecule-1), PF4 (platelet factor-4) dan VCAM-1 (vascular CAM-1) secara signifikan lebih tinggi pada pasien lupus nefritis aktif dibandingkan dengan mereka penderita lupus non-renal aktif, tanpa lupus dan pembanding sehat lainnya dengan potensi diagnostik yang kuat.

Di akhir laporannya, Mohan menulis dan merekomendasikan urin ALCAM, PF4, dan VCAM-1 sebagai biomarker potensial untuk memprediksi aktivitas penyakit ginjal di anak-anak penderita lupus (cSLE). Ia menggaris bawahi bahwa metode tersebut memiliki potensi sebagai pengganti biopsi ginjal.

Meski demikian, Mohan menulis di akhir kedua laporan tersebut bahwa masih ada studi lebih lanjut yang harus dilakukan agar dunia medis benar-benar menerima metode yang ia dan timnya gunakan selama penelitian.

Pada akhir penelitian identifikasi metabolit dengan penyakit kardiovaskular pada penderita lupus, ia menyebut evaluasi secara hati-hati tetap diperlukan pada awal tindakan pencegahan lantaran risikonya yang tinggi. Penelitian yang melibatkan subjek dalam jumlah yang lebih besar disebut amat urgen.

Lalu pada penutup penelitian tentang pelacakan urin untuk deteksi gangguan ginjal pada cSLE, perlu ada konfirmasi perihal kinerja protein dalam urin sebagai prediktor. Mohan beralasan ini untuk melihat apakah penggabungan penanda protein urin dengan pemeriksaan anti-dsDNA dan level komplemennya nanti, mungkin meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas saat dokter memprediksi awal kekambuhan lupus pada seorang penderita.

Temukan ulasan lengkap bagaimana seharusnya memahami penggunaan terapi antikoagulan pada pasien lupus bersama ahlinya melalui LIVE CME Terapi Antikoagulan Pada Kasus Systemic lupus erythematosus (SLE)

Referensi :
  • Baig, S., et al. (2022) Baseline Elevations of Leukotriene Metabolites and Altered Plasmalogens Are Prognostic Biomarkers of Plaque Progression in Systemic Lupus Erythematosus. Frontiers in Cardiovascular Medicine.
  • Soliman, S.A., et al. (2022) Urine ALCAM, PF4 and VCAM-1 Surpass Conventional Metrics in Identifying Nephritis Disease Activity in Childhood-Onset Systemic Lupus Erythematosus. Frontiers in Immunology. 
  • Fava, A., & Petri, M. (2019). Systemic lupus erythematosus: Diagnosis and clinical management. Journal of autoimmunity, 96, 1–13.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaRincian Situasi Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 di Indonesia

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar