sejawat indonesia

Mekanisme Anti Malaria Sebagai Terapi Lupus Eritematosus Sistemik

Dalam 30 terakhir Lupus Eritematosus Sistemik (LES) menjadi salah satu penyakit rematik utama di dunia. Penyakit ini telah dikenal 150 tahun yang lalu dengan berbagai nama yang merupakan sinonim dari lupus, seperti yang dikemukakan oleh Hippocrates (460-370 SM) sebagai herpes esthiomenos dan herpes ulcerosus dari Amatus Lusitanus (1510-1568). Hebra pada tahun 1845 telah menemukan adanya suatu seborrhea kongestif yang diyakini adalah lupus eritemotosus dengan gambaran seperti kupu-kupu (butterfly rush) pada daerah pipi dan hidung. Adanya manifestasi sistemik dan komlikasi serebral yang serius diperkenalkan oleh William Osler (1895-1903). Keterlibatan kardiovaskuler seperti adanya vaskulitis den endokarditis mural dilaporkan oleh Libman dan Sacks (1923), sedangkan gambaran patologi glomerulus ginjal diperkenalkan oleh Baehr, Klempere dan Schifrin serta Gross, Keith dan Rowntree. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan terjadinya kerusakan jaringan dan sel-sel oleh auto antibody patogen dan kompleks imun. Penyakit ini merupakan penyakit multisystem yang bermanifestasi sebagai lesi kulit seperti kupu-kupu di wajah, pericarditis, kelaninan ginjal, arthritis, anemia hemolitik dan gejala-gejala susunan saraf pusat. Perjalanan penyakit dari LES ini bersifat episodik atau berulang yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan yang berbeda. Berat penyakitnya bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibody yang muncul dan organ yang terkena. Patogenensis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak bukti bahwa patogensis LES bersifat multifactorial seperti faktor genetik, faktor lingkungan dan faktor hormonal terhadap respon imun. Faktor genetic memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur system imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks histikompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen (yaitu C1q,C1r,C1s,C4, dan  C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, Imunoglobulin dan sitokin. Studi lain yang dituliskan oleh MokCC et al. mengenai faktor genetic ini yaitu temuan yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocytes Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantiboodi spesifik. Penderita lupus kira 6% mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2, C4 atau C1q14-15. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh system fagositosit mononuclear sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel immunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada pasien LES. Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal. Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES. Pengobatan utama pada LES ini adalah Kortikosteroid, sebagai anti inflamasi dan imunosupresi. Selain kortikosteroid salah satu di antara pengobatan lainnya adalah anti malaria. Bagaimana mekanisme anti malaria sebagai terapi LES yang merupakan penyakit autoimun? Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang paling sering diresepkan pada pasien LES. Hydroxychloroquine adalah analog dari chloroquine yang dibentuk oleh beta-hydrxoylation dari salah satu substituen N-etil. Obat ini diserap dengan baik dengan bioavailabilitas 70-80% secara oral, dan waktu paruh 40-50 hari. Efektivitas antimalarial terhadap LES bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di vakuola lisosomal, juga menghambat fagositosis, migrasi netrofil dan metabolisme memberan fosfolipid. Selanjutnya, antimalaria dideposit di dalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Obat-obat antimalarial sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik lupus kutaneus subakut dan lupu discoid. Antimalarial mempunyai efek blocking, antiinflamasi dan imunosupresan. Studi in-vitro dan in vivo yang dilakukan oleh Lee,et.al menuliskan bahwa manfaat anti malaria pada kasus LES adalah dengan mengurangi respon peradangan dengan menghambat aktivitas  Toll Like Receptor (TLR). Diketahui bahwa aktivitas TLR menyebabkan sel dendritic untuk menghasilkan sejumlah besar IFN alfa, dan merangsang sel B meningkatkan produksi immunoglobulin dan sitokin. Pada akhirnya, terapi anti malaria pada pasien SLE digunakan untuk meningkatkan taraf kesehatan dan mengurangi aktivitas penyakit, sebagai kardioprotektif maupun antikanker.    
Referensi:
  1. Lee, S.J., Silverman, E., & Bargman, J.M. (2011). The Role of Antimalaria Agents in the Treatment of SLE and Lupus Nephritis. Nature Reviews Nephrology, 7 (12),719-729.
  2. D’Cruz D, Espinoza G, Cervera R. 2010. Systemic lupus erythematosus: pathogenesis, clinical manifestations, and diagnosis. [cited 2011 Dec 7]. http://www.eular.org/myuploaddata/files/Compendium_sample_chapter.pdf
Fadhillah Maulidia.2020. Pengobatan Antimalaria Klorokuin Sebagai Terapu Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Wellness and Healthy Magazine. 165-170.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaTelerehabilitasi Solusi Perawatan Post-Stroke di Masa Pandemi

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar