sejawat indonesia

Psikodermatologi, Jawaban dari Hubungan Pikiran dan Kulit

Pertalian rumit antara pikiran dan kulit adalah dunia menakjubkan yang menggarisbawahi sifat holistik kesehatan manusia. Fakta tentang kaitan dua hal tersebut kini telah banyak diteliti dan dipublikasikan, beberapa di antaranya:

  • Sekitar 50% penderita jerawat melaporkan adanya pemicu emosional terhadap timbulnya jerawat. 
  • Setidaknya 80% penderita dermatitis atopik (eksim) menyatakan bahwa stres psikologis memperburuk atau menyebabkan rasa gatal. 
  • Lebih dari 90% penderita rosacea mengatakan stres memicu kambuhnya penyakit, sehingga membuat kulit mereka menjadi hipersensitif. 
  • hampir 100% dari mereka yang mengalami keringat berlebih, hiperhidrosis, mengatakan emosi memicu reaksi mereka. 
  • Kekambuhan psoriasis telah dikaitkan dengan stres pada 80% individu. 
  • Terlebih lagi, pada pasien psoriasis yang berhubungan dengan depresi, 9,7% mengakui “keinginan untuk mati,” dan 5,5% melaporkan keinginan bunuh diri yang aktif.

Respon stres sentral dan respon stres perifer kulit (Bentham Science Publishers)

Untuk menjembatani kesenjangan antara psikiatri dan dermatologi hasil dari perspektif keterkaitan otak dan psikis, memunculkan bidang Psikodermatologi.

Psikodermatologi

Psikodermatologi adalah subspesialisasi medis baru yang menggabungkan dua spesialisasi medis utama: psikiatri dan dermatologi. Psikiatri menangani proses mental yang bermanifestasi secara internal, sedangkan dermatologi menangani penyakit kulit yang bermanifestasi secara eksternal. 

Dalam kedokteran, ada empat kategori utama dalam psikodermatologi.

1) Gangguan psikofisiologis; 2) Gangguan kejiwaan primer; 3) Gangguan kejiwaan sekunder dan 4) kondisi lain-lain seperti neurosis.

Gangguan psikofisiologis meliputi kelainan kulit seperti eksim dan jerawat, yang dipicu atau diperburuk oleh stres emosional. Ini adalah kategori yang paling mungkin Anda temui di ruang perawatan.

Gangguan kejiwaan primer mengacu pada masalah yang muncul di pikiran, namun berakibat pada kulit. Contohnya, kebiasaan yang sering terlihat pada klien adalah mengorek kulit, di mana memencetnya akan memperparah lesi jerawat sehingga menyebabkan kondisi yang lebih parah. Namun tindakan mengorek, menggaruk, atau menarik (seperti pada gangguan mencabut rambut, trikotilomania) dipicu oleh rasa cemas, dan pada akhirnya merupakan perilaku kompulsif yang idealnya dapat diperbaiki dengan intervensi psikiatris.

Gangguan kejiwaan sekunder merupakan penyakit kulit yang menimbulkan banyak tekanan sehingga dapat memicu masalah psikologis yang signifikan seperti depresi klinis dan kecemasan. Kelainan kulit yang sangat terlihat, seperti psoriasis dan vitiligo, sangat menimbulkan stres bagi seseorang, dan tingkat depresi dan kecemasan lebih tinggi di antara penyakit-penyakit tersebut. Meskipun merupakan 'penyakit kulit', intervensi psikiatris dengan obat anticemas atau antidepresan mungkin diresepkan dalam lingkungan medis.

Terakhir, Sindrom sensorik kulit. Kelainan ini merupakan sensasi kulit yang tidak normal pada pasien tanpa lesi kulit primer atau identifikasi diagnostik yang pasti. Berbagai jenis sensasi tersebut dapat berupa: gatal, terbakar, menggigit, menyengat, atau seperti ada serangga yang merayap di permukaan kulit.

Subkategori tersebut tidak saling eksklusif. Misalnya, stres dapat memicu timbulnya jerawat, namun jerawat juga dapat menyebabkan kecemasan sosial dan depresi karena bekas luka yang terlihat. 

Meskipun dunia medis mulai mengintegrasikan kedua bidang tersebut untuk memberikan perawatan yang lebih baik kepada pasiennya, namun itu masih merupakan bidang yang relatif baru, sehingga banyak orang tidak mempunyai pilihan untuk pengobatan integratif. Hal yang lebih fatal, mereka mungkin tidak mendapatkan solusi yang memadai dari penyedia layanan kesehatan, dengan obat khusus yang diresepkan untuk mengatasi gejala mereka, alih-alih mengungkap akar permasalahannya yang mungkin saja datang dari pikiran mereka.

Karena ketiadaan pusat perawatan yang terintegrasi tersebut, maka tidak mengherankan banyak orang yang akhirnya diam-diam menderita berbagai kondisi tersebut. Ibu yang terlalu banyak bekerja kemungkinan besar akan melakukan perawatan wajah atau pijatan untuk mengatasi tingkat stresnya daripada menemui dokter. Klien remaja yang berjerawat mungkin menggunakan produk OTC, namun ternyata produk tersebut tidak 'berfungsi'. Kita hidup di dunia di mana stres merajalela di masyarakat, bersembunyi di balik kemacetan lalu lintas dan pertengkaran sebagai bahan bakar api peradangan di tubuh kita. 

Ahli kecantikan memiliki kualifikasi unik untuk memberikan bantuan dari gejala-gejala yang berhubungan dengan penyakit kulit yang terkait dengan stres. Dari teknik inhalasi aromaterapi, pijat tambahan di titik-titik tekanan, hingga tindakan memijat wajah dengan lembut -- ini benar-benar merupakan strategi pikiran-tubuh yang pada akhirnya mengurangi kadar hormon stres dalam tubuh, memungkinkan keseimbangan yang lebih baik antara sistem kekebalan tubuh, sistem saraf, dan kulit.

Lalu, bagaimana pendekatan pasien dengan kondisi psikodermatologi?

Pasien psikodermatologi seringkali menghadirkan tantangan tersendiri bagi dokter yang merawat. Hal ini disebabkan sulitnya mengekstraksi keluhan utama dari anamnesis sehingga menimbulkan rasa frustasi dan terkadang juga banyak terjadi kesalahpahaman antara gejala klinis dan kriteria diagnostik sehingga semakin sulit mengambil keputusan yang akurat bagi pasien.

Dari terbitan Frontline Medical Communication Journal, ada beberapa cara yang mungkin dilakukan untuk menghindari frustasi, yaitu empati dan manajemen ekspektasi. Pengurangan stres adalah pendekatan umum untuk merawat pasien dengan kondisi psikofisiologis, seperti eksim, hipertrikosis, dan jerawat. Bagaimanapun, stres tidak dapat dihindari dalam kehidupan sehari-hari, dapat disebabkan oleh hancurnya hubungan, pekerjaan, anak-anak, kematian anggota keluarga, atau bahkan kematian hewan peliharaan. 

Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa ada beberapa solusi untuk membantu pasien menemukan cara mengendalikan stres untuk mencegah memburuknya kondisi kulit mereka, termasuk perawatan farmakologis dan nonfarmakologis.

Jika pasien memiliki gangguan kecemasan yang memicu kondisi kulit, pengobatan farmakologis lini pertama adalah anti-kecemasan seperti inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI). Perawatan non-farmakologis termasuk terapi perilaku kognitif atau latihan relaksasi, seperti meditasi atau yoga. 

Pasien dapat menangani stres dengan lebih baik ketika mereka menerapkan gaya hidup seimbang yang mencakup olahraga, hubungan yang sehat dengan teman dan keluarga, serta karier yang memuaskan.

Kondisi kejiwaan primer

Pasien dengan kondisi kejiwaan primer bisa saja yang paling menantang untuk dikelola perawatannya. Secara khusus, pasien dengan parasitophobia delusi perlu didekati secara berbeda karena memiliki kebutuhan yang lebih spesifik dan kurangnya wawasan tentang kondisi mereka. 

Menunjukkan empati terhadap delusi pasien bukan berarti setuju dengan mereka. Sedangkan, berpura-pura setuju bisa memperkuat ide atau perilaku obsesif mereka. Bagaimana pun, penting untuk mengetahui gejalanya dan memberitahu bahwa Anda akan bekerja sama dengan mereka untuk menemukan penyebabnya, meskipun itu bukan merupakan kondisi kulit yang sepenuhnya.

Kondisi kejiwaan sekunder

Pendekatan yang paling efektif untuk pasien dengan kondisi kulit yang menyebabkan gangguan kejiwaan seperti kecemasan atau depresi adalah mengobati kelainan kulit dengan pengobatan agresif. 

Meski kelainan kulit kronis tidak mengancam jiwa, namun dapat berdampak negatif pada psikososial, fisik, pekerjaan, dan kualitas hidup. Misalnya, pasien dengan vitiligo menderita stigma sosial yang parah dalam budaya tertentu, didiskriminasi dalam pernikahan, dan sering disebut sebagai kusta putih. 

Dengan merawat gangguan kulit secara agresif, telah terbukti membuat kondisi psikiatri sekunder semakin membaik, begitu juga dengan tingkat harapan hidup pasien.

Kondisi gangguan sensorik kulit

Ketika pasien mengalami sensasi tidak menyenangkan pada kulit, seperti gatal, terbakar, atau perih, etiologi organik dari gejala tersebut harus disingkirkan (neuropati perifer). Pasien mungkin memerlukan perawatan primer atau evaluasi neurologis untuk memastikan bahwa tidak ada kondisi mendasar yang perlu disertai dengan pengobatan. 

Dengan asumsi tidak ada kondisi medis yang menyebabkan gejala-gejala tersebut, dan pasien memiliki gangguan sensorik kulit murni, beberapa jurnal menyarankan skrining untuk kondisi psikiatri komorbiditas, seperti depresi atau kecemasan. Sehingga, pengobatan dasar untuk kondisi psikotik ini adalah mengurangi ketidaknyamanan, terutama pada pasien tanpa kondisi kejiwaan komorbiditas, dengan antihistamin atau antidepresan trisiklik. 

Jika pasien tidak bisa menoleransi obat-obatan tersebut, percobaan SSRI mungkin bisa memberi efek yang bermanfaat.


BACA JUGA:


Psikodermatologi telah berkembang sebagai subspesialisasi baru yang muncul dari psikiatri dan dermatologi. Sayangnya, hubungan antara penyakit kulit dan penyakit mental seringkali disepelekan. Lebih dari sekadar kelainan kosmetik, kelainan dermatologis berhubungan dengan berbagai masalah psikopatologis yang dapat menyerang pasien,

keluarga mereka, dan masyarakat secara bersama-sama. Peningkatan pemahaman mengenai masalah ini, pendekatan biopsikososial, dan hubungan antara dokter layanan primer, psikiater, dan dokter kulit dapat sangat berguna dan sangat bermanfaat bagi kelangsungan terapi.


Referensi:

  • Brain-Skin Connection: Stress, Inflammation and Skin Aging. Ying Chen, John Lyga. Inflamm Allergy Drug Targets. 2014. doi: 10.2174/1871528113666140522104422
  • Levin, Ethan C., and John YM Koo. "Psychodermatology: An Overview." Semin Cutan Med Surg 32 (2013): 64­67.
  • Löken L.S., Wessberg J., Morrison I., McGlone F. & Olausson H. (2009). Coding of pleasant touch by unmyelinated afferents in humans, Nature Neuroscience, 12 (5) 547­548.
  • Senra, M. S., and A. Wollenberg. "Psychodermatological aspects of atopic dermatitis." British Journal of Dermatology 170.s1 (2014): 38­43. 
  • Tohida H, Shenefelt PD, Burneyc WA, Aqeeld N. Psychodermatology: An Association of Primary Psychiatric Disorders with Skin. Rev Colomb Psiquiat. 2019; 48(1): 50–57.
  • Reichenberg JS, Kroumpouzos G, Magid M. Approach to a Psychodermatology Patient. Giornale Italiano di Dermatologia e Venereologia. 2018; 153(4): 494-496.
  • Jafferany M, Franca K. Psychodermatology: Basics Concepts. Acta Derm Venereol. 2016; 217: 35-37.
  • Gieler U, Gieler T, Peters EMJ, Linder D. Skin and Psychosomatics – Psychodermatology Today. Journal of the German Society of Dermatology. 2020; 18(11): 1280-1298.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaKarakter Klinis dan Pilihan Perawatan Trikotilomania

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar