8 Hal yang Harus Dokter Hindari di Media Sosial
Beberapa dokter enggan menggunakan media sosial karena melihat banyak potensi risiko dan bisa berakibat buruk bagi karir mereka.
Kekhawatiran yang tidak keliru. Sebab, bagaimana pun, profesi dokter sangat rentan di media sosial. Mereka menghadapi pembatasan ketat terhadap privasi pasien, kebutuhan untuk menyajikan informasi medis yang benar, dan tekanan untuk menampilkan citra publik yang tidak tercela. Saking rentannya, perlu dibuat regulasi khusus penggunaan media sosial bagi para dokter.
Namun, kekhawatiran tersebut bukan berarti Teman Sejawat harus menyerah dan meninggalkan media sosial. Hal yang harus dilakukan adalah memahami risiko spesifik dan mengambil tindakan terhadapnya.
Berikut adalah beberapa jebakan media sosial yang umum terjadi terhadap dokter:
1. Tidak Menyadari Sifat Viral dari Media Sosial
Media sosial beroperasi seperti megafon. Hal ini dapat memperkuat komentar yang menyimpang di banyak saluran, menjadi viral, dan tiba-tiba menjangkau ratusan ribu orang.
Kekeliruan apa pun yang telah dibagikan akan sangat sulit untuk dihapus. Teman Sejawat mungkin dapat menghapus postingan yang disalahpahami, tetapi bisa jadi itu sudah terlambat. Konten tersebut bisa saja telah diteruskan melalui tangkapan layar dan cara-cara lainnya.
Misalnya, seorang dokter mengeluh di Facebook tentang keterlambatan pasien tertentu dalam membuat janji. Seseorang memposting tangkapan layar postingan dokter tersebut ke halaman Facebook rumah sakitnya, dan banyak pasien bereaksi. Rumah sakit memutuskan bahwa komentarnya tidak melanggar privasi pasien dan dia tetap mempertahankan pekerjaannya, namun komentarnya yang sangat umum berpotensi membuatnya terlihat buruk di mata orang-orang.
2. Melanggar Privasi Pasien
Penekanan media sosial pada transparansi dan koneksi lebih personal memberikan banyak peluang pelanggaran privasi pasien. Situasi berisiko termasuk melakukan crowdsourcing diagnosis pasien dengan rekan kerja, menyoroti kasus pasien di situs praktik, dan memposting foto yang menampilkan wajah pasien, atau informasi pasien secara tidak sengaja.
Potensi pelanggaran cukup sering terjadi. Dalam penelitian terhadap 271 blog medis yang ditulis oleh dokter dan perawat, 45 (16,6%) memberikan informasi yang cukup bagi pasien untuk mengidentifikasi dokternya atau dirinya sendiri. Tiga dari blog tersebut menunjukkan gambar pasien yang dapat dikenali.
Teman Sejawat dapat melanggar privasi tanpa membuat identifikasi yang jelas, seperti nama atau wajah pasien. Pasien dapat diidentifikasi ketika dihubungkan dengan kecelakaan yang tidak biasa, kondisi yang jarang terjadi, atau masuk ke rumah sakit atau unit tertentu.
Beberapa contoh tentang pelanggaran privasi pasien ini sudah banyak terjadi dan sepertinya menjadi jebakan paling banyak yang memerangkap para dokter dan Tenaga kesehatan.
Ada baiknya untuk tidak merujuk pada pasien tertentu sama sekali, namun jika harus melakukannya, hilangkan hal-hal spesifik seperti usia pasien, nama rumah sakit, atau keadaan kecelakaan. Jika Teman Sejawat khawatir identitas orang tersebut masih dapat terungkap, misalnya dengan kondisi langka, jangan gunakan media sosial; sebagai gantinya, kirimkan informasi tersebut langsung ke kolega tertentu.
Ketika dokter membagikan gambar radiologi atau sampel dermatologi pasien, mereka harus menghapus semua identifikasi dari pasien tersebut, termasuk keterangan tertulis, tanda lahir, bekas luka, tato, perhiasan, dan deskripsi khas lainnya.
Jika ingin mengidentifikasi pasien untuk tujuan pemasaran atau lainnya, Teman Sejawat memerlukan izin tertulis dari mereka. Formulir persetujuan harus mencantumkan tujuan identifikasi, siapa yang berwenang membuat dan kapan, informasi tentang hak pasien untuk mencabut izin, dan tanda tangan pasien.
3. Memberikan Anjuran Medis yang Spesifik kepada Pasien
Saat orang menanggapi postingan yang memberikan saran umum tentang pengobatan, mereka sering kali bertanya tentang kasus spesifik mereka. Bukanlah tindakan yang bijaksana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Balasan Teman Sejawat dan pesan-pesan berikutnya bisa jadi sebuah pelanggaran Kode Etik.
Mungkin juga jawaban Teman Sejawat dapat menjadi dasar hukum hubungan dokter-pasien. Jika pasien menganggap saran tersebut menyebabkan cedera, Teman Sejawat mungkin akan dituntut karena malpraktik.
Ketika pasien meminta nasihat khusus, sarankan agar mereka datang ke klinik atau Faskes untuk memeriksa kondisinya secara lebih pasti.
4. Berbagi Postingan Berisi Tindakan Tidak Profesional
Di akun media sosial mereka, beberapa dokter meninggalkan komentar dan foto yang menunjukkan mereka tidak profesional tanpa memikirkan akibatnya. Mereka tampaknya tidak menyadari bahwa pasien, pemberi kerja, dan calon pemberi kerja dapat melihat postingan tersebut.
Dalam sebuah penelitian terhadap halaman Facebook para ahli urologi baru, 40% berpotensi memiliki konten yang tidak menyenangkan, termasuk kata-kata kotor, mabuk-mabukan, perilaku tidak profesional di tempat kerja atau rapat, dan pose atau pakaian yang menjurus ke arah seksual.
Memiliki akun pribadi yang terpisah dari akun profesional adalah solusi terbaik dan jangan lupa mengatur privasi postingan hanya untuk teman-teman dekat Teman Sejawat.
5. Membuat Pernyataan Tidak Profesional di Media Sosial
Media sosial penuh dengan opini kuat mengenai segala hal, mulai dari politik dan ras hingga catatan kesehatan elektronik. Beberapa orang mengira mereka dilindungi dengan nama samaran atau anonim, namun identitas mereka cukup mudah dideteksi.
Komentar mengenai ras atau gender, khususnya, dapat menjadi viral dan berujung pada pemecatan atau pengunduran diri.
Pasien pada umumnya tidak menyukai komentar negatif, meskipun tidak ditujukan kepada mereka. Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa profesional kesehatan yang memposting satu komentar negatif pun di Facebook tampaknya telah kehilangan kredibilitas di antara calon pasien.
Solusi yang jelas adalah berhenti menggunakan media sosial sebagai buku harian pribadi. Jika menemukan postingan yang melecehkan, bersikaplah penuh sopan santun. Dalam banyak kasus, orang lain akan membela Teman Sejawat, dan pemberi komentar yang kasar akan keluar dengan sendiri dari percakapan.
Jika Teman Sejawat akan menulis postingan dengan penuh kemarahan terhadap satu hal, sisihkan dulu sebelum mengirimkannya. Tinjaulah lagi dengan lebih tenang, atau mintalah Teman Sejawat lain untuk menilainya terlebih dahulu.
Baca Juga:
- Dari Kata ke Gejala: Ungkap Depresi melalui Postingan Media Sosial
- Mengapa Dokter Harus Membersihkan Akun Media Sosialnya?
- Kemampuan yang Kini Harus Dimiliki Dokter: Bijak Memakai Media Sosial
6. Melanggar Batasan yang Bersifat Bisnis dalam Penggunaan Media Sosial
Klinik, rumah sakit, dan sistem kesehatan memiliki segala macam batasan dalam penggunaan media sosial. Pembatasan tersebut mungkin terlalu memberatkan jika Teman Sejawat adalah pengguna berat media sosial.
Banyak organisasi melarang penggunaan media sosial di komputer tempat kerja, dan mungkin memblokir akses media sosial di komputer mereka. Namun, mereka tidak bisa memblokir akses melalui smartphone atau laptop profesional kesehatan yang bekerja untuk mereka, sehingga mereka menetapkan aturan tentang penggunaan media sosial secara umum.
Beberapa perusahaan melangkah lebih jauh dan mempertahankan hak untuk mengendalikan aktivitas media sosial para pekerjanya. Kebijakan media sosial Klinik Cleveland, misalnya, menyatakan bahwa mereka "berhak memantau, melarang, membatasi, memblokir, menangguhkan, menghentikan, menghapus, atau menghentikan akses ke Situs Media Sosial mana pun, kapan saja, tanpa pemberitahuan dan untuk alasan apa pun dan atas kebijakannya sendiri."
7. Perilaku yang Mengurangi Engagement
Perilaku ini tidak akan mengakibatkan denda atau pemecatan, namun dapat menimbulkan kesan negatif terhadap diri Teman Sejawat.
Beberapa orang menggunakan media sosial untuk membicarakan diri mereka sendiri — bagaimana perasaan mereka hari ini dan apa yang mereka makan untuk makan siang — dan mereka bertanya-tanya mengapa tidak ada yang mengikuti atau berinteraksi dengan akun mereka.
Media sosial adalah tentang berbagi. Ingatlah untuk memposting, menandai, menyukai, mengomentari, dan membagikan konten teman sendiri. Menunjukkan ketertarikan pada orang lain adalah cara yang baik untuk membuat orang lain menunjukkan ketertarikan pada diri Teman Sejawat.
8. Posting Terlalu Banyak.
Banyak dokter yang sibuk memposting terlalu sedikit dan tidak mendapatkan banyak pengikut, tetapi ada juga orang yang memposting terlalu banyak. Jika pengikut Teman Sejawat mendapatkan terlalu banyak postingan, mereka tidak memiliki kesempatan untuk menikmati setiap postingan, dan mereka mungkin mulai mengabaikan konten Anda. Dua hingga tiga postingan seminggu biasanya sudah cukup.
Media sosial menghadirkan berbagai pertimbangan yang mendorong banyak dokter menghindarinya. Namun medium komunikasi ini menjadi terlalu penting untuk diabaikan, dan seorang dokter dapat belajar bagaimana menghindari potensi bahayanya agar bisa menjalin komunikasi dan berbagi edukasi, bukan hanya dokter dan pasien, tapi juga dunia kesehatan itu sendiri.
*Ketahui strategi bermedia sosial yang tepat, khususnya menjalin komunikasi dan berbagi konten edukasi kedokteran bersama dr. R.A. Adaninggar Primadia Nariswari, Sp.PD melalui LIVE CME berikut ini (Tap/klik di sini)
Referensi:
- Surat Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Nomor 029/PB/K/MKEK/04/2021
- Social Media Do's and Don'ts for Medical Practices, Physicianpractice.com
- Lagu T, Kaufman EJ, Asch DA, Armstrong K. Content of weblogs written by health professionals. J Gen Intern Med. 2008 Oct;23(10):1642-6. doi: 10.1007/s11606-008-0726-6. Epub 2008 Jul 23. PMID: 18649110; PMCID: PMC2533366.
- Unprofessional content on Facebook accounts of US urology residency graduates, Kevin Koo, Zita Ficko, E. Ann Gormley, 2017
Log in untuk komentar