Beberapa Intervensi Miopia Justru Tidak Bermanfaat Sama Sekali
Miopia (rabun jauh) telah meningkat prevalensinya di seluruh dunia. Selain faktor genetik, telah terbukti bahwa banyak faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap timbulnya miopia. Telah diketahui bahwa miopia terbanyak pada masa kanak-kanak disebabkan oleh pemanjangan sumbu aksial bola mata.
Dari penelitian terbaru pada miopia, menyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk intervensi dini yang dapat memperlambat proses pemanjangan sumbu aksial bola mata sehingga memperlambat kenaikan miopia. Namun, pada sebagian kecil miopia, proses pemanjangan sumbu aksial bola mata ini menjadi “patologis” dan dikaitkan dengan peningkatan risiko katarak, glaukoma, ablasi retina, strabismus/ mata juling (heavy eye syndrome) dan makulopati miopia.
Selain itu, ketika miopia tidak dikoreksi, akan menyebabkan defisit fungsional yang akan berdampak ke kualitas hidup hingga pilihan karir masa depan si anak. Sialnya, beberapa intervensi populer saat ini justru hanya memberi sedikit manfaat, bahkan banyak lainnya yang tidak bermanfaat sama sekali.
Intervensi yang Tidak Bermanfaat atau Memiliki Manfaat Minimal
Mengurangi Koreksi
Data dari uji klinis prospektif menunjukkan bahwa undercorrection pada miopia atau mengurangi koreksi miopia tidak berpengaruh pada perkembangan miopia. Undercorrection tidak memperlambat progresivitas miopia dan sudah tidak dianjurkan lagi untuk dilakukan.
Kacamata pinhole & Kacamata Blue Blocker (Kacamata Anti Radiasi)
Dua alat ini tidak mempunyai efek dalam mengontrol progresivitas miopia.
Kacamata bifokal
Pada penelitian uji klinis acak di Amerika Serikat, Finlandia, dan Denmark, penggunaan kacamata bifokal tidak menunjukkan efek memperlambat miopia yang signifikan. Hanya ada satu hasil penelitian yang melaporkan bahwa kacamata bifokal ini dapat menurunkan progresivitas miopia hingga 39% pada anak-anak etnis Cina di Kanada namun haltersebut belum dikuatkan dalam penelitian penelitian lain.
Lensa kacamata tambahan progresif (Progressive Additional Lens)
Penggunaan lensa tambahan progresif (Progressive Additional Lens) hanya mempunyai efek yang kecil pada penghambatan perkembangan miopia (myopia control). Pada penelitian Multicenter-Randomized Control trial The COMET (The correction of myopia evaluation trial) menyimpulkan bahwa efek penggunaan PAL (Progressive Additional Lens) selama 3 tahun pada penghambatan progresivitas myopia tidak berarti apa-apa secara klinis. Efek tersebut juga akan menurun lebih jauh setelah penggunaan PAL lebih dari 5 tahun.
Secara keseluruhan, lensa multifokal (kacamata bifokal atau lensa tambahan progresif ) tidak menghasilkan efek yang berarti dalam memperlambat perkembangan miopia.
Lensa kacamata koreksi plus/defocus perifer (Peripheral Plus/Defocus Lens)
Dikatakan bahwa pengaburan hiperopik pada retina bagian tepi lebih memicu pemanjangan sumbu aksial bola mata. Desain lensa kacamata aspheris dikembangkan untuk mengurangi periferal relative defocus hyperopic ternyata tidak menyebabkan penurunan yang signifikan dalam tingkat perkembangan miopia atau pemanjangan sumbu aksial bola mata. Pada penggunaan PAL (Progressive Additional Lens) yang dikombinasi dengan koreksi perifer defocus (yang bertujuan mengurangi lag of accommodation) juga diketahui tidak bermanfaat dalam mengontrol perkembangan miopia pasien.
Lensa kontak lunak/Lensa kontak RGP (Rigid Gas Permeable)
Pada beberapa studi dilaporkan efek Lensa kontak lunak/Lensa kontak RGP pada pengurangan progresivitas miopia dan pemanjangan sumbu aksial bola mata pada anak-anak sangat kecil.
BACA JUGA:
- Ketahui Penyebab Gangguan Refraksi, Gejala dan Pilihan Perawatannya
- Cara Membedakan Endoftalmitis dan TASS pada pasien Pasca Operasi Katarak
- Perbedaan Gangguan Retina Mata pada Anak dan Dewasa
Intervensi yang Memiliki Manfaat pada Pengontrolan Miopia
Modifikasi Perilaku
1. Meningkatkan Aktivitas Di Luar Ruangan
Pada beberapa studi yang dilakukan, baik yang terdahulu maupun studi terbaru, menunjukkan bahwa peningkatan waktu untuk beraktivitas di luar ruangan efektif dalam mencegah timbulnya miopia. Meskipun belum jelas apakah peningkatan waktu aktivitas di luar ruangan efektif dalam memperlambat perkembangan mata yang sudah mengalami miopia. Terdapat satu studi yang menyatakan bahwa peningkatan waktu aktivitas di luar ruangan efektif dalam memperlambat perkembangan mata yang sudah mengalami miopia, namun beberapa studi lain menyatakan efeknya minimal.
Pada anak-anak usia 6-8 tahun yang harus menghabiskan waktu sepenuhnya dalam ruangan (stay at home) selama pandemi COVID-19 menunjukkan peningkatan miopia yang signifikan. Maka hal yang perlu dilakukan adalah apabila orang tua berkaca mata minus dan anaknya tidak, setidaknya 2 jam paparan cahaya matahari akan membantu mencegah timbulnya miopia, bahkan jika miopia telah terjadi. Dua jam dalam sehari terkena paparan cahaya matahari adalah perubahan perilaku yang mungkin bisa membantu.
2. Pengurangan waktu pemakaian smartphone dan digital gadget serta aktivitas dekat
Dalam systematic review dan meta-analisis pada semua data publikasi yang relevan antara tahun 1989 dan 2014, menyatakan bahwa durasi waktu yang dihabiskan untuk melakukan aktivitas dekat, berkaitan dengan risiko miopia. Makin banyak waktu yang dihabiskan untuk melakukan aktivitas dekat, terjadi kenaikan risiko miopia sebesar 2% untuk setiap satu dioptri-jam kerja jarak dekat per minggu. Menggunakan ukuran objektif aktivitas dekat dan intensitas cahaya, maka jarak kerja <20 cm dalam intensitas cahaya apapun, telah terbukti menjadi faktor risiko perkembangan miopia.
Perbandingan pekerjaan rumah yang dilakukan di smartphone atau laptop/tablet, dengan yang dikerjakan melalui televisi atau proyektor selama periode pandemi COVID-19, menunjukkan bahwa pada pekerjaan rumah yang dilakukan melalui televisi atau proyektor, menunjukkan lebih sedikit progresivitas miopia pada anak usia 7 hingga 12 tahun dibandingkan dengan mereka yang menggunakan smartphone atau tablet.
Pada pemakaian smartphone/ laptop/ tablet dalam jarak dekat dengan cahaya redup juga telah terbukti menjadi faktor risiko untuk perkembangan miopia. Namun, pada systematic review dan meta-analisis terbaru menyimpulkan bahwa peningkatan risiko miopia bisa disebabkan karena paparan smartphone tersebut ataupun juga karena perubahan perilaku dari penggunanya.
Sedangkan, aktivitas dekat sering terkait dengan proses belajar mengajar baik di sekolah ataupun di rumah saat ini. Belum jelas apakah memberi jeda istirahat antara aktivitas dekat merupakan perlindungan bagi perkembangan miopia. Namun, mencegah anak membaca dalam cahaya redup, terutama pada malam hari di tempat tidurnya, merupakan salah satu cara untuk mencegah perkembangan progresivitas miopia anak. Untuk anak-anak yang bersekolah di rumah, telah terbukti bahwa penggunaan televisi atau proyektor & meningkatkan jarak pandang lebih dari 20 cm, menghambat progresivitas miopia.
Terapi Optikal
1. Kacamata Lensa Defocus-Incorporated Multisegment (D.I.M.S.)
Lensa kacamata fokus ganda ini terdiri dari jarak pusat zona optik dengan diameter 9 mm, dikelilingi oleh zona perifer tengah annular yang mencakup banyak segmen bulat kecil dengan diameter sekitar 1.03 mm dengan +3.50 dioptri adisi, untuk secara bersamaan memungkinkan penglihatan pusat yang jelas dan memperkenalkan defocus rabun pada retina perifer. Dalam penelitian selama dua tahun yang mencakup 183 anak-anak Cina dengan miopia (93 kelompok DIMS/90 kelompok kontrol) berusia 8 sampai 13 tahun, didapatkan efek kontrol progresivitas miopia sebesar 50%.
Perkembangan miopia rata-rata pada dua tahun pengamatan menunjukkan hasil lebih rendah pada kelompok DIMS (−0.41 ± 0.06 D) dibandingkan pada kelompok kontrol yang memakai lensa kacamata penglihatan tunggal (single vision) (−0.85 ±0.08 D). Rata-rata perpanjangan aksial juga lebih pendek pada kelompok DIMS dibandingkan kelompok lensa kacamata penglihatan tunggal (0.21 ± 0.02 mm vs.0,55 ± 0,02mm).
2. Lensa Highly Aspherical Lenslet (H.A.L.)
Pada sebuah Randomized Control Trial 157 anak berusia 8–13 tahun dengan miopia −0.75 D hingga −4.75 D diacak untuk menerima lensa kacamata dengan lensa asferis tinggi (HAL), lensa kacamata dengan lensa yang sedikit asferis (SAL), atau lensa kacamata penglihatan tunggal (SVL). Pada satu tahun pengamatan menunjukkan terdapat efek kontrol progresivitas miopia sebesar 0.53 D (67%) pada lensa HAL dan 0.33 D (41%) pada lensa SAL, serta terdapat efek perlambatan perpanjangan sumbu aksial sebesar 0.23 mm (64%) pada lensa HAL dan 0.11 mm (31%) pada lensa SAL.
Setelah 2 tahun pemakaian, lensa HAL memperlambat perkembangan miopia sebesar 0.80 dan lensa SAL memperlambat perkembangan miopia sebesar 0.42 D, dan perlambatan pemanjangan aksial didapatkan hasil sebesar 0.35 pada lensa HAL dan 0.18 mm pada lensa SAL. Efektivitas kontrol miopia pada kacamata meningkat dengan lensa asferis.
Lensa kontak
1. Lensa Kontak lunak Multifokal
Lensa Kontak lunak Multifokal telah menunjukkan kemampuan penurunan progresivitas miopia rata-rata sebesar 36.4% dan penurunan pemanjangan sumbu aksial sebesar 37.9%. Salah satu tipe Lensa Kontak lunak Multifokal ini ialah lensa kontak dengan desain sentral untuk jarak jauh dengan fokus ganda yang mempunyai kemampuan sebagai zona koreksi dan zona terapi secara bergantian. Ini bukan lensa kontak multifokal tradisional seperti yang diresepkan untuk presbyopia.
Penggunaan lensa kontak jenis ini selama 3 tahun menunjukkan perubahan pada Spherical Equivalent Refraction (SER) pada 144 anak berusia 8 hingga 12 tahun sebesar −0.51 ± 0.64. Sedangkan pada penggunaan lensa kontak single vision didapatkan perubahan SER sebesar. −1.24 ± 0.61 D. Demikian pula, terdapat pengurangan panjang sumbu aksial sebesar 52 % yaitu adalah 0.30 ± 0.27 mm dibandingkan dengan penggunaan lensa kontak single vision sebesar 0.62 ± 0.30 mm.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa Lensa Kontak lunak yang mempunyai fokus ganda ini terus menunjukkan penghambatan (kontrol) pada progresivitas miopia pada anak selama periode pemakaian 6 tahun. Area perifer dengan relative hiperopia pada 30° dan 40° nasal serta 40° temporal dari fovea, sangat berkorelasi secara signifikan dengan penghambatan dari progresivitas miopia dan jumlah pemanjangan sumbu aksial bola mata.
2. Orthokeratologi
Pada pemakaian Orthokeratologi (OK), pasien memakai lensa kontak reverse geometry (geometri terbalik) selama malam hari untuk secara sementara membuat kornea menjadi lebih datar (flatten) dan menghasilkan tajam penglihatan lebih jelas di siang hari tanpa pemakaian kacamata atau lensa kontak. Koreksi miopia (hingga sferis -6,00 D dan astigmatism -1.75) didapatkan dengan cara penipisan kornea sentral dan penebalan epitel mid perifer dan stroma.
Sebuah uji klinis acak pada penggunaan OK menunjukkan bahwa pemanjangan sumbu aksial pada anak yang memakai OK lebih lambat secara signifikan dibandingkan anak yang menggunakan kacamata single vision. Pada meta analisis terbaru, dinyatakan bahwa efek OK cukup menguntungkan. Secara keseluruhan terdapat efek pengurangan progresivitas miopia sebesar 50% dalam 2 tahun pemakaian OK. Beberapa studi lain menunjukkan bahwa dengan seiringnya waktu efektivitas terapi dari OK ini berkurang. Hal tersebut terjadi pada semua stadium miopia.
Penelitian untuk memahami mekanisme pengontrolan miopia pada lensa OK masih terus berlanjut walaupun telah muncul hipotesis bahwa terjadi penurunan pada hiperopia di daerah perifer karena adanya perubahan bentuk menjadi lebih curam (steepening) pada area korena mid perifer. Efek OK membaik pada kelompok anak-anak yang berusia lebih muda dan pada kelompok dengan ukuran pupil yang lebar. Dapat terjadi fenomena rebound setelah penghentian pemakaian OK. Komplikasi yang potensial terjadi pada penggunaan OK di antaranya ialah keratitis mikrobial, pembentukan pigmented ring pada kornea dan terganggunya pola persarafan kornea (fibrillary lines).
Terapi Farmakologis
1. Tetes mata Atropin
Atropin melakukan blok pada reseptor muskarinik secara non selektif. Reseptor muskarinik didapatkan pada otot siliaris, retina, dan sklera. Walaupun mekanisme pasti dari kemampuan penghambatan progresivitas miopia belum diketahui secara jelas, dipercaya bahwa atropin bekerja secara langsung maupun tidak langsung pada retina dan sklera, menghambat penipisan dan kemampuan peregangan dari sklera, sehingga pertumbuhan bola mata dapat dihambat.
Beberapa penelitian telah menunjukkan efek klinis Atropin pada penghambatan progresivitas miopia pada anak-anak. Studi The Atropine for the Treatment Of Myopia (ATOM1 dan ATOM2) merupakan uji klinis randomized, double masked, placebo yang melibatkan 400 anak di Singapura.
Studi ATOM 1 menunjukkan bahwa atropin tetes mata 1% yang diteteskan tiap malam pada 1 mata selama periode 2 tahun pengamatan dinyatakan menunjukkan penghambatan progresivitas miopia sebesar 77% dan mengurangi pemanjangan sumbu aksial (di kelompok kontrol pemanjangan sumbu aksial mencapai 0.39 mm dan pada kelompok yang ditetesi atropin 1% tidak mengalami pemanjangan sumbu aksial bola mata).
Pada studi ATOM 1, didapatkan sebanyak 12.1% anak (yang lebih muda dan lebih besar minusnya) mengalami progresivitas lebih dari 0.50 setelah terapi 1 tahun dengan atropin 1%.
Pada studi ATOM 2 ditemukan bahwa pada dosis Atropin 0.5%, 0.1%, dan 0.01% menghambat progresivitas miopia kira-kira sebesar 75%,70%, dan 60% dengan perubahan Spherical Equivalent Refraction sebesar 0.30D, 0.38D, dan 0.48D setelah 2 tahun pemakaian.
Bagaimanapun setelah tetes mata atropin dihentikan, ada peningkatan miopia dan efek rebound yang lebih besar pada atropin dengan konsentrasi besar.
Setelah pengamatan 5 tahun didapatkan bahwa progresivitas miopia paling rendah pada kelompok yang mendapatkan atropin sebesar 0.01%. Diperkirakan bahwa atropin 0.01% menghambat progresivitas miopia sebesar 50%.
Pada beberapa studi terbaru yang melakukan pengamatan, pemakaian 0.01% atropin tidak berpengaruh pada pemanjangan aksial bola mata. Pada penelitian The Low Concentration Atropine for Myopia (LAMP), yang melibatkan 438 anak-anak di Hong Kong yang berusia 4-12 tahun, yang dilakukan terapi dengan Atropin 0.01%, 0.025% dan 0.05%, didapatkan penurunan progresivitas SER sebesar 27%,43% dan 67% dan perlambatan pemanjangan sumbu aksial bola mata sebesar 12%.29% dan 51% setelah satu tahun penggunaan tetes mata atropin.
Hal yang menarik, efek atropin pada penghambatan Spherical Equivalent Refraction lebih besar daripada penghambatan pada pemanjangan sumbu aksial bola mata. Pada pengamatan di tahun kedua, efektifitas atropin 0.05% dan 0.02% atropin tetap sama.
Perbedaan efek rebound secara klinis tidak banyak beda pada ketiga kelompok atropin tersebut. Penghentian terapi atropin tetes mata pada usia lebih tua dan konsentrasi yang lebih rendah berhubungan dengan kejadian rebound yang lebih ringan.
Anak-anak yang memakai atropin dosis tinggi memerlukan kacamata fotokromik dan mungkin juga memerlukan lensa adisi untuk membaca dekat. Penggunaan atropin dosis rendah berhubungan dengan efek rebound yang ringan ketika pemakaian atropin dihentikan, di mana pada anak-anak yang memakai atropin dosis tinggi memerlukan penurunan dosis (tapering off ) yang lebih lambat dan tidak dihentikan secara mendadak. Pasien-pasien ini bisa jadi memerlukan beberapa konsentrasi atropin dalam pemakaiannya sebagai kontrol penghambat miopia.
Kesimpulan
Terdapat bukti yang cukup untuk penggunaan berbagai modalitas untuk mencegah dan menghambat progresivitas miopia pada anak dengan miopia progresif. Walaupun masih banyak terjadi kesenjangan pengetahuan terhadap mekanisme kerja dan dampak jangka panjang, dinilai manfaat lebih besar daripada risiko yang mungkin terjadi apabila dilakukan tatalaksana sebaik mungkin.
Bagaimanapun, efektivitas intervensi kontrol miopia ini terutama yang farmakologis masih belum jelas pada kasus miopia patologis yang disebabkan oleh kelainan jaringan ikat, distrofi retina, vitreoretinopati, miopia pada kasus ROP (Retinopathy of Prematurity), dan miopia pada anak-anak dengan pseudofakia.
Ingin mengetahui langkah-langkah menahan progresivitas Miopia? Dapatkan selengkapnya di CME: Managing Myopia Progression in Children
Referensi:
Pernyataan Konsensus World Society of Paediatric Ophthalmology and Strabismus (WSPOS) 2023
Log in untuk komentar