sejawat indonesia

Mengurai Bias Gender dalam Kedokteran

Secara mental, fisik, dan biologis, laki-laki dan perempuan berbeda. Fakta itu kita ketahui bersama. Namun, pengetahuan itu, sialnya tumbuh menjadi diskriminasi yang sadar atau tidak membuat kita seringkali mengambil keputusan yang bias.

 

Bias gender mengunggulkan satu gender dibanding yang lain dan seringkali hanya berdasar pada prasangka dan stereotip. Sudah sejak lama, orang-orang menggunakan perbedaan biologis antara jenis kelamin untuk mengabadikan stereotip gender.

 

Pada abad ketiga SM, filsuf Aristoteles menggambarkan tubuh perempuan sebagai kebalikan dari tubuh laki-laki. Ia menggambarkan alat kelamin perempuan sebagai simbol “gagal berkembang”, penanda bahwa laki-laki adalah jenis manusia yang lebih sempurna (superior) dibanding perempuan (inferior).


Di sisi lain, kepemilikan rahim membuat perempuan punya posisi spesial secara biologis dalam sistem reproduksi. Tapi, lagi-lagi, spesialisasi itu justru digunakan untuk menjadi batas bahwa itulah tujuan hidup mereka. Karakteristik biologis digunakan sebagai penilaian terhadap tugas perempuan dalam kehidupannya: melahirkan dan membesarkan anak.

 

Dunia kedokteran, sepanjang sejarahnya, turut mengukuhkan dua pandangan tersebut. Mungkin akan tampak konyol kalau sekarang para dokter percaya bahwa saraf wanita terlalu tegang untuk menerima pendidikan dan indung telur mereka akan meradang jika terlalu banyak membaca. Tapi mitos keterlaluan ini, pernah hidup dan berkembang.

 

Selama beberapa tahun terakhir, bias gender dalam pengetahuan, penelitian, dan praktik medis telah menjadi topik utama. Kesadaran publik tumbuh menyadari kalau seksisme medis ada di mana-mana, sistemik, dan membuat perempuan menderita.

 

Bias gender hadir hampir di semua lini dunia kedokteran, dari hulu ke hilir; dari riset, kesempatan profesi, diagnosis, hingga pengobatan. 

 

Bias gender pada studi klinis

Secara historis, penelitian medis sering mengecualikan perempuan. Misalnya, pada tahun 1977, Food and Drug Administration (FDA) AS merekomendasikan agar perempuan yang sedang berada pada masa subur dikeluarkan dari studi penelitian klinis. Alasannya, untuk melindungi populasi yang paling "rentan”--anak-anak yang belum lahir, sebagai respon atas Skandal Thalidomide yang terjadi di dekade 1950 hingga 1960-an.

 

Alasan lain yang diberikan untuk mengecualikan perempuan dalam studi klinis adalah siklus menstruasi. Variasi hormon yang ada sering dianggap “memperumit” hasil penelitian. Variabilitas ini berarti lebih banyak subjek yang dibutuhkan dalam uji klinis, sehingga bisa meningkatkan biaya.

 

Studi khusus laki-laki dibenarkan oleh keyakinan bahwa apa yang akan berhasil untuk laki-laki juga akan berhasil untuk perempuan. Asumsi yang salah ini membawa akibat yang fatal.

 

Setiap sel dalam tubuh seseorang memiliki jenis kelamin. Ini berarti penyakit dan obat-obatan yang digunakan untuk mengobatinya akan mempengaruhi perempuan secara berbeda.

 

Salah satu bukti kesalahan asumsi tersebut, ditemukan bahwa 8 dari 10 obat yang ada di AS antara tahun 1997 dan 2000 ditarik karena efek samping yang terjadi terutama atau secara eksklusif terjadi pada perempuan. Antara 2004 dan 2013, perempuan AS menderita lebih dari 2 juta efek samping terkait obat, dibandingkan dengan 1,3 juta untuk pria.

 

Bias yang terjadi pada banyak studi klinis pasti merembet kepada diagnosis. Alasan utama tentang siklus hormon pada perempuan juga terjadi dalam diagnosis. Misalnya, dalam menanggapi dan mengobati nyeri pada perempuan, terutama nyeri kronis. Perempuan akan lebih mungkin ditawari obat penenang ringan dan antidepresan daripada obat nyeri analgesik.

 

Perempuan cenderung tidak dirujuk untuk pemeriksaan diagnostik lebih lanjut dibandingkan laki-laki. Rasa sakit pada perempuan jauh lebih mungkin dilihat sebagai efek emosional atau psikologis, daripada penyebab fisik atau biologis.

 

Beberapa kondisi yang sering ditemukan bias gender dalam penanganannya:

 

Gangguan pendarahan

Gangguan pendarahan adalah kondisi yang mencegah darah membeku secara efektif. Contohnya, seperti hemofilia dan penyakit Von Willebrand (VWD).

 

Kondisi tersebut mempengaruhi baik laki-laki maupun perempuan. Di masa lalu, dokter percaya bahwa kondisi tersebut hanya mempengaruhi laki-laki. Mitos ini mungkin masih berdampak pada diagnosis gangguan perdarahan saat ini.

 

Menurut penelitian tahun 2020, perempuan dengan hemofilia sedang, menerima diagnosis rata-rata 6,5 ​​bulan lebih lambat daripada laki-laki. Perempuan dengan hemofilia berat menghadapi penundaan 39 bulan. Untuk perempuan dengan VWD, penundaan antara onset gejala dan diagnosis adalah 16 tahun.

 

Tidak ada alasan medis untuk penundaan tersebut. Apalagi jika berdasarkan fakta: perempuan lebih cenderung memperhatikan gejala gangguan pendarahan daripada laki-laki, sebab banyak yang mengalami menstruasi berat.

 

Kondisi autoimun

Menurut survei dari American Autoimmune Related Diseases Association (AARDA), 62% orang dengan penyakit autoimun telah diberi label "pengeluh kronis" oleh dokter, atau diberitahu bahwa mereka terlalu khawatir dengan kesehatan mereka.

 

Angka ini berlaku untuk semua orang yang disurvei AARDA. Namun, 75% orang dengan kondisi autoimun adalah perempuan. Artinya, sikap meremehkan ini secara tidak proporsional mempengaruhi perempuan.

 

Dalam kasus lupus, 90% pasien terdiri dari perempuan. Meskipun laki-laki menerima diagnosis lupus pada usia lebih tua daripada perempuan, tapi secara rata-rata mereka membutuhkan waktu lebih sedikit untuk menerima diagnosis begitu mereka mengalami gejala awal.

 

Kesehatan mental

Perempuan hampir dua kali lebih mungkin dibandingkan pria untuk mengalami gangguan kesehatan mental. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ini karena faktor risiko penyakit mental yang secara tidak proporsional mempengaruhi wanita, seperti: kekerasan berbasis gender, status sosial yang lebih rendah, atau pendapatan rata-rata yang lebih rendah.

 

Ketidakadilan gender adalah penyebab utama penyakit mental di seluruh dunia, bias gender dalam diagnosis medis juga dapat menyebabkan dokter lebih fokus pada kondisi kesehatan mental sebagai penyebab gejala pada perempuan daripada laki-laki.

 

Misalnya, dokter lebih cenderung mendiagnosis depresi pada perempuan daripada laki-laki, bahkan ketika mereka memiliki gejala dan skor gejala depresi yang sama.

Bias dalam mendiagnosis depresi ini dapat berarti bahwa perempuan atau laki-laki, atau keduanya tidak menerima perawatan yang tepat karena asumsi yang dibuat dokter tentang jenis kelamin mereka.

 

Penyakit jantung

Ada perbedaan berdasarkan jenis kelamin tentang bagaimana gejala penyakit jantung muncul pada laki-laki dan perempuan. Namun, kurangnya pengetahuan tentang perbedaan ini, dapat menyebabkan dokter mengabaikan atau salah mendiagnosis penyakit jantung.

 

Dokter lebih cenderung menganggap gejala yang mempengaruhi perempuan sebagai "atipikal" dibandingkan dengan gejala yang sering menyerang laki-laki. Mereka juga cenderung tidak merujuk perempuan untuk tes diagnostik dan pengobatan.

 

Hal yang sama berlaku untuk serangan jantung. Perempuan cenderung tidak mengalami gejala serangan jantung "klasik", dan cenderung tidak menerima pengobatan. The American Heart Association (AHA) mengatakan ini karena dokter menggunakan kriteria diagnostik yang ditujukan untuk laki-laki.

 

Covid-19

Bukti awal menunjukkan bahwa bias gender juga memengaruhi pengelolaan pandemi COVID-19. Sebuah analisis tahun 2020 menemukan bahwa perempuan dengan kasus COVID-19 yang dikonfirmasi, lebih kecil kemungkinannya untuk menerima rontgen dada dan tes darah dibandingkan laki-laki.

 

Penelitian tentang COVID-19 masih terus berkembang. Namun, sebuah artikel tahun 2020 mencatat bahwa sebagian besar penelitian tentang COVID-19 gagal mempertimbangkan jenis kelamin dan gender. Akibatnya, ada kesenjangan dalam penelitian tentang bagaimana bias gender memengaruhi diagnosis COVID-19.

 

Kurangnya Keterwakilan dan Seksisme Institusional

Saat ini, 70% dari profesional perawatan kesehatan dunia adalah perempuan.

Meskipun demikian, perempuan kurang terwakili dalam jurnal medis dan posisi kepemimpinan, sehingga membatasi pengaruh perempuan terhadap penelitian dan praktik medis yang terbaik. Secara global, perempuan menempati posisi bergaji rendah dengan otoritas dan status yang juga lebih rendah.

 

Hal tersebut diperparah oleh banyak negara yang tidak memiliki undang-undang dalam memberi perlindungan dari diskriminasi berbasis gender.

 

Akibatnya, petugas kesehatan dan pasien perempuan tidak selalu mendapat dukungan ketika mereka mengalami pelecehan atau kekerasan berbasis gender. Mereka mungkin juga tidak memiliki cara untuk menentang praktik dan kebijakan seksis yang merugikan mereka.

 

Baca Juga:


Bias gender dalam diagnosis medis merugikan kesehatan fisik dan mental perempuan dan gender yang terpinggirkan di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan beban penyakit yang lebih tinggi di antara kelompok-kelompok ini.

 

Bias gender juga merugikan kesehatan pria. Misalnya, prasangka positif bahwa laki-laki itu kuat dan berani dapat menyebabkan orang menghindari mencari pertolongan medis karena mereka takut bahwa itu adalah tanda kelemahan.

 

Penting bagi institusi medis dan profesional untuk secara aktif bekerja untuk menghilangkan bias gender dalam diagnosis medis, dalam penelitian, praktik di tempat kerja, dan protokol perawatan.

 

Untuk membongkar warisan menyakitkan dalam pengetahuan dan praktik medis ini, pertama-tama kita harus memahami kondisi ketimpangan yang ada dan seperti apa proses yang membentuknya.

 

Kurangnya pengakuan terhadap ketimpangan gender dalam kedokteran adalah masalah besar yang kini mulai diperbaiki. Para ilmuwan sekarang diminta untuk menjelaskan kemungkinan peran seks sebagai variabel biologis dalam penelitian pada hewan dan manusia.

Kedokteran sedang bekerja untuk merevolusi praktik dan protokolnya, tetapi ada warisan panjang yang harus dihentikan jika menyangkut tubuh dan pikiran perempuan. Warisan yang terus menghalangi perawatan, diagnosis, dan pengobatan yang efektif dan tepat waktu.

 

Sudah waktunya kedokteran untuk memberi jalan ke masa depan di mana jalinan pengalaman perempuan diakui dan dihormati secara keseluruhan.


Dapatkan berbagai informasi terbaru di dunia kedokteran melalui artikel-artikel Sejawat Indonesia. Ikuti pula Sejawat CME dan berbagai Event yang diadakan untuk terus update penanganan terbaru berbagai kondisi.

 

Referensi:

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPanduan Rekomendasi Obat Covid-19 (Omicron)

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar