Rekomendasi Penggunaan Proloterapi di Layanan Primer
Proloterapi telah digunakan selama kurang lebih 100 tahun. Namun, penerapannya secara modern baru dapat ditelusuri hingga tahun 1950-an. Saat itu, ptotokol injeksi proloterapi diresmikan oleh George Hackett, seorang ahli bedah umum di Amerika Serikat. Hal tersebut didasarkan atas penemuan klinisnya selama lebih dari 30 tahun.
Proloterapi adalah terapi medis komplementer dan alternative (CAM: complementary and alternative medical) berbasis injeksi untuk nyeri musculoskeletal kronis. Nama proloterapi telah berubah-ubah seiring waktu. Nomenklatur telah mencerminkan persepsi dokter tentang efek proloterapi pada jaringan. Melihat dari riwayatnya, terapi injeksi ini disebut sebagai skleroterapi karena larutan yang digunakan pada awalnya dianggap menyebabkan pembentukan scar.
National Institute of Health mengidentifikasi proloterapi sebagai terapi CAM dan telah mendanai dua uji coba klinis proloterapi yang sedang berlangsung. The Centers for Medicare and Medicaid Services and Veteran’s Administration telah meninjau literatur proloterapi untuk Low Back Pain (LBP) dan semua indikasi musculoskeletal serta menentukan bahwa bukti yang ditemukan tidak cukup meyakinkan.
Tidak ada yang merekomendasikan kompensasi pihak ketiga dan tidak memasukkan studi dan tinjauan klinis terbaru.
Baca Juga:
- Probiotik Melindungi Tulang Rangka pada Wanita Usia Lanjut
- NSAID: Positif dan Negatif pada Penyembuhan Tulang dan Jaringan
Teknik Proloterapi
Meskipun belum ada pedoman praktik formal yang telah dipublikasikan, terapi proloterapi umumnya terdiri dari beberapa sesi injeksi atau peyuntikan yang diberikan setiap 2 hingga 6 minggu selama beberapa bulan.
Selama sesi proloterapi, larutan terapeutik akan diinjeksikan di tempat insersi tendon dan ligamen yang mengalami nyeri dan nyeri tekan serta di ruang sendi sekitarnya. Larutan yang diinjeksikan (proliferant) sejak dahulu telah diduga menyebabkan iritasi lokal, diikuti dengan peradangan dan penyembuhan jaringan, mengakibatkan pembesaran dan penguatan ligamen, tendon, dan struktur intra-artikular yang rusak.
Proses tersebut diduga meningkatkan stabilitas sendi, biomekanik, dan fungsi yang dapat mengurangi nyeri.
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja proloterapi masih belum jelas dan, hingga saat ini, hanya mendapat sedikit perhatian. Didukung oleh evidence dengan pilot-level, 3 larutan proloterapi yang paling umum digunakan telah diduga bertindak melalui jalur yang berbeda: dekstrosa hipertonik oleh ruptur osmotik sel lokal, phenolgliserin-glukosa (P2G) oleh iritasi seluler lokal, dan natrium morrhuate oleh daya tarik kemotaktik mediator inflamasi dan sklerosis neovaskularitas patologis yang terkait dengan tendinopati.
Potensi proloterapi untuk merangsang pelepasan growth factor yang mendukung penyembuhan jaringan lunak juga telah diduga sebagai kemungkinan salah satu mekanismenya.
Data model hewan dan in vitro belum sepenuhnya mendukung hipotesis ini. Respon inflamasi pada model ligamen lutut tikus telah dilaporkan untuk setiap larutan, meskipun tidak berbeda secara signifikan dengan yang disebabkan oleh jarum suntik saja atau injeksi larutan saline. Namun, data model pada hewan menunjukkan efek biologis yang signifikan dari larutan natrium dan dekstrosa morrhuate jika dibandingkan dengan kontrol.
Ligamen kolateral medial pada kelinci yang diinjeksi dengan morrhuate sodium secara signifikan lebih kuat (31%), lebih besar (47%), dan lebih tebal (28%), dan memiliki diameter serat kolagen yang lebih besar (56%) dibandingkan kontrol yang diinjeksi larutan saline; peningkatan jumlah sel, kadar air, jumlah zat dasar, dan berbagai jenis sel inflamasi yang diduga menyebabkan perubahan ini.
Tendon patella tikus yang diinjeksi dengan natrium morrhuate mampu menahan beban maksimal rata-rata 136% ±(28%) secara signifikan lebih dari tendon kontrol yang tidak diinjeksi.
Dalam penelitian yang sama, tendon yang diinjeksi dengan larutan kontrol saline secara signifikan lebih lemah daripada kontrol yang tidak diinjeksi larutan saline. Dekstrosa diketahui minimal pada model hewan. Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa ligamen kolateral medial tikus yang mengalami luka disuntik dengan dekstrosa 15% memiliki luas penampang yang secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan kontrol yang diinjeksikan larutan saline yang mengalami luka dan tidak mengalami luka.
Larutan P2G menerima perhatian penelitian yang paling sedikit; meskipun dalam penggunaan klinis aktif, tidak ada penelitian hewan atau in vitro yang menilai efek P2G menggunakan model yang mengalami luka.
Kebanyakan dokter melaporkan menggunakan larutan ini sebagai agen tunggal, meskipun konsentrasinya bervariasi. Dalam praktik klinis, dokter terkadang mencampurkan larutan proloterapi atau menggunakan larutan secara serial dalam satu sesi injeksi tergantung pada pengalaman dan pola kebiasaan setempat.
Tidak ada efek variasi konsentrasi atau campuran yang telah dinilai dalam ilmu dasar atau studi klinis dan tidak ada uji klinis yang membandingkan larutan yang berbeda satu sama lain.
Penelitian Awal
Sejak awal, proloterapi telah digunakan terutama di luar lingkup akademik. Hal ini mengarahkan pada orientasi pragmatis dari studi proloterapi yang ada dan relatif kurangnya uji klinis yang ketat meskipun adanya kegiatan klinis yang signifikan.
Meskipun Randomized Controlled Trial (RCT) pertama belum ada sampai tahun 1987, para dokter dengan antusias melaporkan hasil uji klinis pada pilot-level yang lebih sederhana.
Sebuah tinjauan sistematis proloterapi pada tahun 2005 untuk semua indikasi, menemukan 42 studi uji klinis proloterapi yang dipublikasikan sejak 1937. Tiga puluh enam dari studi tersebut adalah laporan kasus dan case series yang mencakup 3.928 pasien berusia dari 12 hingga 88 tahun. Studi yang tidak terkontrol ini memberikan bukti paling awal dan paling berorientasi klinis untuk proloterapi.
Setiap studi melaporkan temuan positif untuk pasien dengan kondisi kronis, nyeri, dan refrakter atau tidak memberi respon terhadap terapi. Kualitas laporan dari studi yang disertakan sangat bervariasi.
Studi kasus yang lebih lama membahas mengenai injeksi dan metode yang tidak lagi digunakan. Larutan pada jaman modern dimulai dengan P2G pada 1960-an, dekstrosa pada 1980-an, dan natrium morrhuate pada awal 1990-an. Laporan kasus dan case series menyoroti bahwa seiring waktu, proloterapi telah digunakan dan dipelajari sebagai satu set indikasi klinis yang berkembang.
Studi kasus tersebut juga telah digunakan sebagai studi percontohan untuk mengembangkan teknik penilaian baru yang dapat membantu menjelaskan patofisiologi dari kondisi tertentu dan metodologi uji untuk kemudian hari, serta Randomized Trial yang lebih kuat.
Secara umum, meskipun tidak memiliki kelompok kontrol dan acak, studi pragmatis ini memiliki keuntungan menilai keefektifan proloterapi dalam ''kehidupan sehari-hari'' yang dihadapi pasien, termasuk kemampuan ahli proloterapi untuk memilih pasien dan menyesuaikan sendiri protokol injeksi.
Sebagian besar subjek (72%, 2.691 dari 3.741) yang dinilai dalam literatur awal diterapi karena LBP. Namun, indikasi lain yang dinilai oleh studi awal ini meliputi OA lutut, dislokasi bahu, tegang leher, kostokondritis, epikondilosis lateral (LE), dan fibromyalgia.
Penelitian Kontemporer
Sejak pertengahan 1980-an, penelitian tentang efek proloterapi telah berkembang pesat, dengan peningkatan jumlah yang drastis dan peningkatan kualitas metodologi studi yang menilai proloterapi.
Sampai saat ini, proloterapi telah dinilai paling baik sebagai terapi untuk LBP, OA, dan tendinopati, yang masing-masing merupakan penyebab nyeri dan disabilitas yang signifikan dan seringkali kurang berespon terhadap terapi standar pelayanan terbaik.
Tingkat keparahan dan prevalensi setiap kondisi terkait dengan usia. Sehingga menemukan terapi baru yang efektif untuk kondisi ini dapat berdampak pada pelayanan pasien individu dan kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Proloterapi juga telah dinilai sebagai terapi untuk LBP nonspesifik, non-bedah, OA lutut dan tangan, dan untuk beberapa tendinopati, termasuk LE dan Achilles, adduktor, dan plantar fasciitis.
Proloterapi adalah modalitas terapi yang layak dipertimbangkan oleh dokter pelayanan primer untuk berbagai kondisi tersebut, terutama bila pasien refrakter terhadap terapi yang lebih konvensional.
Penulis: Suci Sasmita, S.Ked.
Referensi:
RabagoD, SlattengrenA, ZgierskaA Prolotherapy in Primary Care Practice. 2010.
Log in untuk komentar