sejawat indonesia

Hubungan Alergi Makanan dan Rekurensi Intususepsi pada Anak

Intususepsi adalah obstruksi intestinal yang disebabkan oleh prolaps atau invaginasi dari satu segmen saluran cerna ke dalam segmen saluran cerna yang lain dan letaknya berdampingan. Pasien dengan intususepsi sering datang dengan keluhan nyeri abdomen akut, mual muntah, dan diare. 

Pada perjalanan penyakit lebih lanjut, BAB pasien dapat berwarna ungu atau yang disebut currant jelly stool. Pada pemeriksaan fisis biasanya didapatkan massa berbentuk seperti sosis di kuadran kanan atas atau regio epigastrik abdomen dengan temuan sebanyak 60%. Temuan pemeriksaan fisis lain adalah distensi abdomen, nyeri tekan, dan penurunan atau hilangnya bising usus. 

Intususepsi merupakan penyebab kedua kegawatdaruratan abdomen paling sering pada anak. Diagnosis dan penanganan yang terlambat dapat menyebabkan terjadinya obstruksi pada arteri yang menyuplai darah ke usus sehingga menyebabkan nekrosis, perforasi, bahkan kematian. Insiden yang dilaporkan sebanyak 0.3-2.5 kasus per 1000 kelahiran di seluruh dunia, di mana umur puncak terjadinya insiden ini yaitu sebelum umur 2 tahun, dan insiden pada bayi laki-laki 3 kali lebih sering dibandingkan bayi perempuan.

Baca Juga:

Alergi makanan merupakan reaksi immunologis terhadap alergen spesifik, yang dapat terjadi berulang ketika terpapar alergen yang sama. Sebagian besar alergi makanan dasarnya reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperankan oleh antibodi IgE spesifik. Reaksi alergi makanan dapat juga didasari oleh non IgE, seperti pada trombositopenia akibat alergi susu sapi yang diperankan oleh reaksi antigenantibody- dependent cytotoxic (reaksi hipersensitivitas tipe II), reaksi kompleks antigen antibodi (reaksi hipersensitivitas tipe III) dan reaksi imunologik lain seperti terdapat anti IgA gliadin antibodi pada penyakit Celiac. 

Prevalensi alergi makanan meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terhitung 5% pada dewasa dan 8% pada anak dengan variabilitas regional yang berbeda. Pemeriksaan skin prick test dan pemeriksaan igE spesifik pada serum dapat membantu untuk menegakkan diagnosis berdasarkan riwayat klinis pasien. Pemberian challenge per oral biasanya dilakukan untuk melihat alergi makanan non-igE.

Semakin bertambahnya umur anak, kemungkinan terjadinya intususepsi akibat kelainan organik juga meningkat. infeksi, keganasan, penyakit kongenital, Henoch Schonlein Purpura, kista enterik, hiperplasia limfe pada kolon, vaksinasi rotavirus merupakan faktor pendukung terjadinya intususepsi yang diketahui. 

Namun beberapa penelitian juga menemukan hiperplasia limfoid akibat alergi makanan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya intususepsi, tetapi pendapat ini masih menjadi kontroversi di kalangan beberapa klinisi. Hiperplasia limfoid intestinal (ILH: Intestinal nodular hyperplasia) merupakan keadaan di mana folikel limfoid pada usus membesar yang menimbulkan protrusi dari mukosa yang dapat terlihat. 

Awalnya keadaan ini dapat asimptomatik, namun dapat juga menimbulkan nyeri perut, perdarahan gastrointestinal dan intususepsi. ILH dapat terjadi akibat infeksi virus, bakteri, atau parasit, maupun sebagai respon alergi terhadap makanan tertentu. 

Sebuah studi yang dilakukan oleh Turunen S (2004) menemukan bahwa sebanyak 74% dari sampel yang ia teliti yang mengalami ILH, memiliki riwayat alergi terhadap protein susu sapi. Oleh karena itu banyak klinisi yang menghubungkan alergi makanan, khususnya susu sapi sebagai faktor risiko meningkatnya rekurensi dari intususepsi.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Aydin Emrah dkk (2017) yang menggunakan perbandingan sampel pada anak yang mengalami intususepsi dengan riwayat alergi makanan dan tanpa alergi makanan. Pada penelitian ini didapatkan rekurensi dari intususepsi tampak lebih tinggi pada anak dengan riwayat alergi makanan. Infiltrasi dari kelenjar limfe oleh eosinodil akibat alergi diduga menjadi dasar patofisiologi terjadinya kejadian rekurensi intusepsi pada alergi makanan. 


Algoritma untuk bayi dan anak dengan gejala sugestif alergi protein susu sapi (CMP). IgE: imunoglobulin-E.

Rekurensi intususepsi dapat terjadi akibat faktor risiko utama tidak di atasi. Pada penelitian ini, pasien bebas dari rekurensi setelah faktor risiko utama yaitu alergi makanan diatasi. Namun terdapat kelemahan pada studi ini akibat jumlah sampel yang sedikit dengan skala yang sempit. 

Kasus yang sama juga dilaporkan oleh K Masilami (2009) yang menemukan pasien anak dengan rekurensi intususepsi akibat hiperplasia jaringan limfe intestinal yang disebabkan alergi makanan (soya). Pasien ini kemudian dilakukan pemeriksaan patch test dengan hasil positif pada soya dan positif lemah pada gandum dan telur, sehingga dilakukan diet bebas soya dengan pemberian formula berbasis asam amino. Pasien kemudian bebas dari gejala rekurensi sampai 18 bulan kemudian kembali datang dengan keluhan yang sama (rekurensi intususepsi) setelah kembali mengkonsumsi formula soya. 

Dari studi kasus ini diambil kesimpulan bahwa rekurensi intususepsi yang terjadi disebabkan oleh alergi makanan akibat hiperplasia limfe pada saluran usus.

Studi yang ada terkait intususepsi dan alergi makanan masih sangat sedikit, sehingga masih banyak kontroversi yang terjadi di kalangan klinisi. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan skala yang lebih besar untuk mendukung hipotesis yang ada terkait hubungan alergi makanan dengan rekurensi intususepsi.

Ketahui lebih banyak tentang kesehatan anak melalui artikel-artikel terbaru Sejawat Indonesia dan update penatalaksanaan berbagai kondisi melalui Sejawat CME

Referensi:

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaMengurai Bias Gender dalam Kedokteran

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar