sejawat indonesia

Biomarker untuk Tuberkulosis pada Anak

Insiden TB (Tuberculosis) pada anak diperkirakan terjadi 5% dari total kasus TB di negara dengan kasus yang rendah, dan terjadi 20-40% pada negara dengan kasus yang tinggi. Sayangnya, gejala TB pada anak sering sulit dikenali sehingga sulit untuk menegakkan diagnosis yang tepat. Hal tersebut dikarenakan sifat kuman TB yang pausibasiler, dan sulitnya mendapatkan spesimen dengan kualitas yang baik pada anak. 

Sebanyak lebih dari 2/3 kasus TB pada anak tidak terlaporkan atau tidak terdiagnosis, sehingga angka kematian anak akibat penyakit TB yang tidak pernah diberikan terapi masih tinggi. Faktanya, sensitivitas pemeriksaan pewarnaan sputum pada TB anak kurang dari 15% walaupun dengan metode optimal dan penggunaan mikroskop fluoresensi. 

Pemeriksaan kultur terhadap (Mycobacterium tuberculosis) lebih sensitif dibandingkan pewarnaan sputum, namun kedua pemeriksaan kultur dengan menggunakan kultur media cair Mycobacterial Growth Indicator Tube (MGIT), dan kultur media solid lowenstein-jensen (LJ) jarang memiliki sensitivitas lebih dari 40% walaupun dengan menggunakan aspirat lambung dan induksi sputum.

Di indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, termasuk ke dalam 5 negara dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia. TB anak merupakan komponen penting dalam pengendalian TB oleh karena jumlah anak yang berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. 

Di indonesia, proporsi kasus TB anak di antara semua kasus TB yang ternotifikasi dalam program TB hanya 9% dari yang diperkirakan 10-15%, yang artinya underdiagnosis, dan misdiagnosis masih sering terjadi di Indonesia. 

Faktor risiko penularan TB pada anak sama halnya dgn TB pada umumnya, tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, dan daya tahan tubuh. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif. Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit. 

Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%, sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif adalah 17%.  Pemeriksaan gold standard untuk diagnosis TB yaitu melalui isolasi mikrobiologi. Walaupun begitu, jumlah bakteri Mycobacterium tuberculosis biasanya sedikit pada sampel yang diambil (sputum, bilasan lambung, dan bilasan bronkoalveolar), dan pemeriksaan kultur dari spesimen ini membutuhkan waktu inkubasi yang lama (4-8 minggu). Dengan waktu selama ini, kesempatan untuk tatalaksana dini menjadi tidak dapat dilakukan, sehingga tingkat kesuksesan terapi menjadi di bawah 40%. 

TB pada anak jarang menimbulkan gejala klinis yang khas, dan > 50% pasien TB anak tidak memperlihatkan gejala klinis (asimptomatik) pada awal perjalanan penyakit. Oleh karena itu TB pada anak masih menjadi tantangan bagi klinisi khususnya dalam hal diagnosis agar terapi adekuat dapat dimulai secepatnya. 

Beberapa peneliti mulai melirik penggunaan biomarker dalam diagnosis dan klasifikasi TB anak karena kurangnya pemeriksaan yang dapat diandalkan untuk diagnosis. Beberapa studi penggunaan biomarker pada penyakit TB telah banyak dilakukan pada sampel dewasa, namun penggunaan hasil penelitian pada pasien anak tidak dapat dilakukan karena perbedaan gejala klinis, patologi, dan respon imunitas terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis (MTb) pada anak dan dewasa.


Baca Juga:


Beberapa studi telah dilakukan dengan menggunakan biomarker IP-10 (interferon γ-induced protein 10 kDa), IL-2 (interleukin-2), dan IL-13 (interleukin 13), hingga penggunaan microRNA dalam mendiagnosis dan membedakan klasifilasi infeksi MTb. 

Sebuah studi kasus terkontrol menggunakan kombinasi biomarker sitokin (IP-10, IL-2, IL-13) memperlihatkan tingkat sensitivitas > 80% dan spesifisitas > 98%. Interleukin 2 (IL-2) merupakan sitokin yang diproduksi oleh sel T yang teraktivasi oleh antigen, memberikan imunitas selular khususnya melalui replikasi sel T setelah infeksi MTb IL-2 ini tidak dapat dideteksi pada pasien dengan riwayat terpajan MTb yang tidak terinfeksi. 

Metode diagnosis yang tersedia untuk membedakan infeksi laten TB (ILTB) dengan TB aktif dan non-TB belum dapat diandalkan. Keadaan ini dipengaruhi oleh umur, status imunisasi BCG, dan status imunitas. Padahal kejadian Infeksi laten TB tergolong cukup tinggi. Dibutuhkan marker untuk membedakan keadaan-keadaan ini. 

Pemeriksaan IL-2 memiliki sensitivitas (87%) dan spesifisitas (98%) yang tinggi untuk membedakan infeksi laten dan non-TB, maka kemungkinan diagnosis yang luput terbilang rendah (13%), sehingga akurasi pemeriksaan IL-2 tergolong cukup tinggi. Sedangkan, untuk membedakan infeksi aktif dan laten MTb, IL-2 memiliki sensitivitas 83% dan spesifisitas 76%. 

Jadi dari data sensitivitas dan spesifisitas yang ada, IL-2 merupakan marker kuat untuk membedakan infeksi laten TB, infeksi TB aktif, dan non-TB. 

Sebuah studi lain menemukan kadar sitokin tipe 1 (IFNγ, TNFα, and IL-2) secara signifikan akan meningkat pada pasien yang terkonfirmasi TB dibandingkan pasien infeksi saluran napas yang disebabkan oleh kondisi selain infeksi MTb. Sehingga, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan sitokin multipel dalam mendiagnosis TB anak. Menurunnya kadar sitokin tipe 1 setelah terapi TB menjadi dasar yang kuat penggunaan biomarker ini sebagai diagnosis.


Perbandingan sensitivitas dan spesifvisitas dalam pengukuran biomarker kombinasi untuk melihat yang mana paling akurat pada A) TB terkonfirmasi VS Bukan TB B) TB belum terkonfirmasi VS Bukan TB C) Validasi kohort TB terkonfirmasi vs bukan TB.
Dari ketiga grafik di atas, didapatkan penggunakan dua sitokin kombinasi TNFα/IL-2 TNFα/IL-17A, IL-2/IL-17A dan tiga sitokin kombinasi TNFα/IL-2/IL-17A sebagai biomarker dengan hasil yang menjanjikan untuk digunakan dalam membedakan TB terkonfirmasi, TB belum terkonfirmasi, dan kasus non-TB.

Beberapa studi juga menemukan miRNA serum relatif stabil terhadap pembekuan berulang, pemanasan, kondisi asam maupun basa dan kondisi lingkungan ekstrim lainnya. miRNA ini memiliki keunggulan untuk menjadi biomarker dalam diagnosis, therapeutik, dan prognosis, menggunakan miR-155, miR-155, miR-200C, miR-193a-3p, miR-595, miR-432, miR-9, miR-582-5p, miR-144 dan miR-29b telah divalidasi oleh beberapa studi.

Dari data yang ada, beberapa jenis miRNA ini memiliki nilai diagnostik dengan tingkat spesivisitas dan sensitivitas yang moderat hingga tinggi. 

Berdasarkan kurva ROC (Receiver Operating Characteristic) beberapa kekuatan diagnostik miRNAs berturut-turut yaitu miR-150 > miR-146a > miR-125b > miR-31 > miR-10a > miR-1 > miR-155 > miR-29. Pemeriksaan miRNA kombinasi dianggap lebih superior digunakan untuk biomarker infeksi M.TB. (Gambar 2) Namun terdapat perbedaan ekspresi miRNA pada tiap ras dan etnis, oleh karena itu hasil penelitian yang ada menemukan variasi perbedaan kadar miRNA pada infeksi MTb di beberapa negara. 

Kurva ROC perbandingan pemeriksaan miRNA tunggal maupun kombinasi. Dari hasil kurva diatas didapatkan, miR-1, miR-10a, miR-125b miR-146a, miR-150, miR-155 and miR-31 memiliki nilai diagnostik yang dapat diandalkan dengan nilai AUC 0.926, 0.950, 0.962, 0.964, 0.989, 0.918, dan 0.952 secara berturut-turut. Dari kurva diatas, didapatkan pemeriksaan miRNA kombinasi memiliki nilai diagnostik yang paling tinggi yaitu dengna nilai AUC 0.996, sensitivtias 95.8%, dan spesifisitas 100%.

Studi kasus terkontrol lain oleh Zhou et al dengan penggunaan microRNAs menunjukkan spesivisitas sebanyak 100% dan sensitivitas 96%. Biomarker ini telah memenuhi nilai target minimal sebagai pemeriksaan diagnostik yang baru. 

Penggunaan biomarker, memang menjadi salah satu topik penelitian yang kian populer. Terutama, untuk tujuan diagnosis di banyak kondisi atau penyakit. Semoga berbagai temuan tersebut bisa memberi kelancaran diagnosis dan penanganan tepat untuk Tuberkulosis di masa depan.

Ketahui lebih jauh tentang diagnosis tuberkulosis bersama ahlinya di sini!

Referensi:
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaMungkinkah Seorang Dokter Memiliki Work-Life Balance?

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar