sejawat indonesia

Dialisis Peritoneal: Peluang dan Tantangan

Pada tahun 2015, penyakit ginjal kronis menduduki peringkat ke-12 penyebab kematian paling tinggi di dunia. Tingkat keparahan penyakit ginjal kronis dapat dinilai dari filtrasi glomerulus, yang dibagi menjadi lima stadium.

Pada stadium kelima atau stadium yang paling buruk (kronis) disebut dengan End-Stage Kidney Disease (ESKD). Pada kondisi tersebut, ginjal telah kehilangan kemampuan untuk melakukan fungsi secara efektif. Diketahui bahwa ginjal memiliki fungsi yang esensial, di antaranya menyaring dan membuang limbah, mengendalikan keseimbangan elektrolit dan mineral, mengatur sel darah merah, serta mengatur tekanan darah.

Pasien ketika mencapai stadium 5, tidak lagi dapat disembuhkan atau dikembalikan ke kondisi sebelumnya, tindakan yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan kemudian bertujuan untuk:

  1. Memperbaiki gangguan yang terjadi akibat kerusakan ginjal, seperti ketidakseimbagan mineral dan elektrolit, anemia, dan hipertensi;
  2. Mengendalikan penyakit yang menyebabkan gagal ginjal kronis
  3. menghambat perkembangan gagal ginjal kronis menjadi lebih parah;
  4. mempertahankan laju filtrasi ginjal sebaik mungkin.

Oleh karena itu, pengobatan pilihan pertama dan pengobatan terbaik yaitu dengan melakukan transplantasi ginjal. Namun, pada pilihan terapi ini dibatasi oleh kurang atau langkanya pendonor. Pilihan selanjutnya adalah hemodialysis, kemudian yang terakhir adalah Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) yaitu dialisis yang dilakukan dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam perut melalui lubang buatan.

Pada transplantasi ginjal, ginjal pasien diganti dengan ginjal sehat dari pendonor. Pasien tidak perlu lagi menjalani cuci darah seumur hidup setelah transplantasi. Namun, pasien perlu mengonsumsi obat imunosupresif dalam jangka panjang, untuk menghindari risiko penolakan organ cangkok. Selama penanganan berlangsung, pasien perlu menjalani pemeriksaan secara rutin agar kondisinya senantiasa terpantau.

Ginjal buatan (dialysis) digunakan dalam HD, yang mengandung membran semi-permeabel. Dialisis bergantung pada prinsip bahwa molekul kecil seperti urea dan kreatinin, biasanya diekskresikan oleh ginjal, darah dapat melewati membran ini dengan gradien konsentrasi.

Dialisis Peritoneal

Pada tahun 2017, hanya 2% pasien stadium akhir di Indonesia yang menggunakan CAPD, sedangkan 98% dari 77.892 pasien menggunakan hemodialisis. Dari segi biaya, CAPD memiliki biaya rata-rata yang lebih rendah, yaitu Rp 81,7 juta per pasien per tahun dibandingkan hemodialisis, dengan harga rata-rata Rp 133,4 juta per pasien per tahun.

Namun demikian, ada juga beberapa tantangan untuk mengimplementasikan CAPD ini di Indonesia. Tantangannya termasuk terbatasnya informasi tentang terapi untuk perawatan kesehatan profesional CAPD. Hal tersebut diperparah dengan keterbatasan tenaga CAPD dan sistem distribusi yang tidak memadai untuk menjangkau wilayah kepulauan Indonesia.

Baru baru ini, analisis biaya dan manfaat dari dialisis peritoneal di Inggris oleh National Institute of Clinical Excellence yang dibuat oleh Layanan Kesehatan Nasional negara tersebut didapatkan penghematan yang signifikan jika proporsi pasien yang memulai pengobatan pengganti ginjal dengan dialisis peritoneal meningkat.

Di beberapa negara, terutama Hong Kong, Meksiko, dan Thailand, tingginya penggunaan dialisis peritoneal dalam konteks 'kebijakan pertama dialisis peritoneal' sebagian besar merupakan hasil argumen ekonomi kesehatan.

Selaput peritoneal manusia bersifat semi-permeabel dan karenanya dapat digunakan sebagai membran dialisis. CAPD dapat dilakukan oleh pasien sendiri di rumah dan tidak memerlukan mesin. Dialysate dibiarkan dalam rongga peritoneal selama enam sampai delapan jam untuk memungkinkan keseimbangan dan kemudian dikeluarkan, lalu dialisat segar ditanamkan.

Proses itu dapat dilakukan tiga hingga empat kali/hari. Penghapusan cairan bergantung pada penciptaan gradien osmotik melintasi membran menggunakan berbagai konsentrasi glukosa (atau polimer glukosa) dalam dialisat. Prosedur ini membutuhkan kateter permanen untuk dimasukkan ke dalam perut.

 

Hambatan mengakses dialisis peritoneal dianggap mirip dengan lapisan bawang. Menyingkirkan satu hambatan akan menyingkap serangkaian kesulitan berikutnya. Untuk mengatasi butuh kesegaran inovasi, sebab akan lebih kompleks dan menantang seiring meningkatnya usia dan multimorbiditas populasi.

 

Manfaat Dialisis Peritoneal

1.      Pasien gagal ginjal tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit

Pada hemodialisis, metode cuci darah dilakukan di rumah sakit dengan menggunakan mesin. Sementara pada CAPD, pasien yang telah dipasangkan kateter dapat melakukan cuci darah di rumah, tempat kerja, atau tempat lain tanpa perlu bolak-balik ke rumah sakit. Saat menghubungan kantong cairan dialisat, pastikan untuk melakukannya di tempat yang bersih dan dengan kondisi tangan yang bersih.

2.      Peralatan yang digunakan untuk CAPD bersifat portabel (mudah dibawa)

Peralatan CAPD biasanya hanya berupa kantong cairan dialisat, klip, dan kateter untuk mengalirkan cairan dialisat ke dalam rongga perut. Karena mudah dibawa, CAPD memungkinkan penggunanya lebih leluasa melakukan aktivitas sehari-hari, seperti bekerja maupun sekolah.

3.      Larangan atau batasan makanan pengguna CAPD lebih sedikit              

Proses penggantian cairan dialisat perlu diulang sekitar 4 kali sehari, dengan waktu sekitar 30–40 menit. Hal ini dapat meminimalkan risiko terjadinya akumulasi atau penumpukan kalium, natrium, dan cairan di dalam tubuh. Pengguna CAPD pun bisa lebih fleksibel dalam mengatur asupan makanan dan minuman daripada pengguna hemodialisis.

4.      Fungsi ginjal dapat bertahan lebih lama

Fungsi ginjal pada pasien gagal ginjal diketahui dapat bertahan lebih lama jika menggunakan metode cuci darah CAPD daripada menggunakan metode hemodialisis.

5.      Lebih baik bagi jantung dan pembuluh darah

Dengan CAPD, pasien gagal ginjal dapat mengontrol jumlah cairan di dalam tubuh dengan lebih baik. Hal ini akan mengurangi beban kerja jantung dan tekanan di dalam pembuluh darah.

Tantangan  Dialisis Peritoneal

Di balik keunggulannya, metode CAPD juga tetap memiliki risiko pada pasien yang menjalaninya. Berikut ini adalah berbagai risiko CAPD:

1.      Infeksi

Risiko terjadinya infeksi pada CAPD cukup tinggi karena pasien perlu membuka-tutup kateter dan melakukan penggantian cairan dialisat secara rutin. Jika area kulit sekitar kateter tidak dijaga kebersihannya, bakteri dapat menginfeksi peritoneum dan menyebabkan peritonitis. Gejala infeksi bakteri dapat berupa dehidrasi, demam, mual, muntah, dan cairan dialisat berwarna keruh.

2.      Hernia

Pengguna CAPD akan menahan cairan dialisat di dalam rongga perut untuk waktu yang lama. Kondisi ini membuat otot perut menjadi tegang dan meningkat risiko terjadinya hernia.

3.      Peningkatan berat badan

Cairan dialisat mengandung gula yang disebut dekstrosa. Terserapnya cairan ini dalam jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan tubuh kelebihan kalori dan mengalami peningkatan berat badan. Hal ini juga dapat memperburuk kondisi penderita diabetes.

4.      Dialisis tidak optimal

Seiring berjalannya waktu, manfaat dan risiko CAPD dirasa tidak efektif dalam membersihkan darah, sehingga pasien gagal ginjal mungkin perlu beralih ke metode hemodialisis.

Pada pasien dengan kondisi gagal ginjal kronik (stadium lima) sangat bergantung pada tenaga kesehatan dalam mempertahankan fungsi organ, dikarenakan tidak ada pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengebalikan fungsi ginjal.

Upaya  mengoptimalkan fungsi alat/metode dalam mendekati fungsi ginjal secara keseluruhan telah banyak disarankan dengan menggunakan metode CAPD. Keterlibatan pasien dengan profesional kesehatan memainkan peran penting dalam terapi CAPD karena meningkatkan hasil kesehatan yang optimal.

Referensi: 

  • Aqila, D. 2022. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis: Patient engagement Activities With Health Care Professional. Institut Teknologi Bandung.
  • Hye Eun Yoon, Yoon Kyung Chang et.al. 2014. Benefits of a Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) Technique with One Icodextrin-Containing and Two Biocompatible Glucose–Containing Dialysates for Preservation of Residual Renal Function and Biocompatibility in Incident CAPD Patients.  Departement of Internal Medicine, Collage of  Medicine. The Catholic University of Korea.
  • Simon J Davies. 2013. Peritoneal Dialysis: Current Status and Future Challenges. Nephrology. Macmilan Publishers Limited.
  • Luke Vale, June D Cody. 2004. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) Versus Hospital or home Haemodialysis for End-Stage Renal Diasease in Adults. Newcasttle University, Institute of Health & Society. Conchrane Library.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaDasar Klinis dan Terapi Infeksi Jamur pada Kulit

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar