sejawat indonesia

Dasar Klinis dan Terapi Infeksi Jamur pada Kulit

Infeksi jamur pada kulit atau secara medis disebut dermatofitosis, memengaruhi seperempat populasi dunia. Seringkali hadir berulang, membandel, bahkan memburuk sehingga manajemen dermatofitosis menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting.

Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh dermatofita yang menyerang kulit, rambut, dan/atau kuku. Infeksi ini disebut juga sebagai tinea. Dermatofita adalah jamur berfilamen yang menyerang dan memakan jaringan berkeratin seperti kulit, rambut dan kuku. Terdiri dari Trichophyton yang biasanya menyerang kulit, rambut, dan kuku, Epidermophyton yang biasanya menyerang kulit dan Microsporum yang biasanya menyerang kulit dan rambut, serta menyebabkan infeksi pada manusia.

Di antara genus jamur penyebab dermatofitosis pada manusia tersebut, spesies jamur berfilamen Trichophyton rubrum merupakan agen penyebab utama infeksi kulit pada kaki, kuku, dan tubuh.

Berdasarkan cara penularannya, dermatofita diklasifikasikan sebagai antropofilik (dari manusia), zoofilik (dari hewan) dan geofilik (dari tanah). Secara klinis, dermatofita diklasifikasikan berdasarkan tempat infeksi sebagai tinea kapitis (kepala), tinea korporis (badan), tinea manuum (tangan), tinea kruris (selangkangan), tinea pedis (kaki), tinea unguium (kuku), dan tinea imbrikata.

Beberapa tahun terakhir telah terlihat peningkatan prevalensi infeksi dermatofita di seluruh dunia, terutama di daerah tropis. Meskipun bukan penyakit yang mengancam jiwa, penyakit ini dapat memengaruhi kualitas hidup secara signifikan. 

Epidemiologi

Dermatofitosis menyerang individu di seluruh dunia tetapi kejadiannya lebih tinggi di negara tropis karena suhu dan kelembaban yang tinggi. Diperkirakan, sekitar 10 sampai 15% individu terkontaminasi dermatofita dalam beberapa waktu.

Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dermatofitosis memengaruhi sekitar 25% dari populasi dunia dan 30% hingga 70% orang dewasa adalah pembawa penyakit ini tanpa gejala. Di negara-negara Asia dan Timur Tengah, dermatofitosis mencapai 40 hingga 48% kasus, dengan 43-46% infeksi disebabkan oleh jamur dan 8-11% oleh jamur non-dermatofita.

Di Indonesia yang merupakan salah satu negara beriklim tropis dan memiliki suhu serta kelembaban tinggi, dermatofitosis menempati urutan kedua setelah pityriasis versicolor dengan kasus terbanyak tinea kruris dan tinea korporis.

Faktor Predisposisi

Interaksi kompleks antara agen, host, dan lingkungan berperan dalam patogenesis dermatofitosis. Faktor predisposisi pada host di antaranya keadaan immunocompromised seperti diabetes mellitus, limfoma, dan penyakit kronis yang dapat menyebabkan dermatofitosis yang luas, berulang, atau membandel.

Area intertriginosa termasuk selangkangan, ketiak, ruang antar jaringan lebih rentan terhadap infeksi karena keringat berlebih, gosokan, dan pH basa. Faktor lingkungan yang memengaruhi individu untuk kemungkinan infeksi yang lebih tinggi di antaranya kelembaban tinggi, suhu tinggi, peningkatan urbanisasi, penggunaan pakaian ketat dan alas kaki oklusif.

Beberapa tipe klinis seperti onikomikosis mungkin memiliki predisposisi genetik. Onikomikosis subungual distal dapat diwariskan secara autosomal dominan dengan penetrasi yang tidak lengkap atau bervariasi. Infeksi dermatofita umumnya menyebar pada anggota keluarga terutama pada kasus tinea kapitis dan tinea pedis.

Penegakan Diagnosis

Secara klinis, presentasi dan manifestasi dermatofitosis bervariasi pada setiap jenis dermatofitosis, di antaranya:

1. Tinea kapitis

Dua tanda kardinal sebagai faktor prediksi kuat untuk tinea kapitis dalam menegakkan diagnosis tinea kapitis yaitu populasi risiko tinggi dan terdapat kerion atau gejala klinis yang khas berupa skuama tipikal, alopecia, dan pembesaran kelenjar getah bening.

Hasil anamnesis biasanya akan didapatkan keluhan gatal, kulit kepala bersisik, dan alopecia. Untuk pemeriksaan fisik biasanya ditemukan berdasarkan pada etiologinya. Pada kasus non inflamasi, human, atau epidemic type (grey patch) didapatkan inflamasi minimal, rambut pada daerah terkena berubah warna menjadi abu-abu dan tidak berkilat, rambut mudah patah di atas permukaan skalp. Lesi tampak berskuama, hiperkeratosis, dan berbatas tegas karena rambut yang patah. Berfluoresensi hijau pada pemeriksaan dengan lampu Wood.

Pada tipe inflamasi, kerion, yang biasa disebabkan oleh patogen zoofilik atau geofilik akan didapatkan spektrum klinis mulai dari folikulitis pustular hingga furunkel atau kerion. Sering terjadi alopesia sikatrisial. Lesi biasanya gatal, dapat disertai nyeri dan limfadenopati servikalis posterior.

Fluoresensi lampu Wood dapat positif pada spesies tertentu. Pada tipe “black dot” yang disebabkan oleh organisme endotriks antropofilik akan ditemukan rambut mudah patah pada permukaan skalp, meninggalkan kumpulan titik hitam pada daerah alopesia (black dot). Kadang masih terdapat sisa rambut normal di antara alopesia.

Skuama difus juga umum ditemui. Pada tipe favus, bentuk yang berat dan kronis akan tampak bentukan plak eritematosa perifolikular dengan skuama. Awalnya berbentuk papul kuning kemerahan yang kemudian membentuk krusta tebal berwarna kekuningan (skutula). Skutula dapat berkonfluens membentuk plak besar dengan mousy odor. Plak dapat meluas dan meninggalkan area sentral yang atrofi dan alopesia.

2. Tinea korporis 

Pada tine korporis, hasil anamnesis akan didapatkan keluhan ruam gatal di badan, ekstremitas atau wajah terutama saat berkeringat dan mengenai kulit berambut halus. Secara klinis tampak lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi aktif karena tanda radang lebih jelas, dan polimorfis yang terdiri atas eritema, skuama, dan kadang papul dan vesikel di tepi, normal di tengah (central healing).

3. Tinea kruris

Penderita akan menyampaikan keluhan ruam kemerahan yang gatal di paha bagian atas dan inguinal. Dari pemeriksaan fisik akan didapatkan lesi serupa tinea korporis berupa plak anular berbatas tegas dengan tepi meninggi yang dapat pula disertai papul dan vesikel. Predisposisi di daerah inguinal, dapat meluas ke suprapubis, perineum, perianal dan bokong. Area genital dan skrotum dapat terkena pada pasien tertentu. Sering disertai gatal dengan maserasi atau infeksi sekunder.

4. Tinea manuum

Pada kasus ini, biasanya unilateral, terdapat 2 bentuk yaitu (a) dishidrotik di mana lesi segmental atau anular berupa vesikel dengan skuama di tepi pada telapak tangan,jari tangan, dan tepi lateral tangan (b) hiperkeratotik di mana vesikel mengering dan membentuk lesi sirkuler atau ireguler, eritematosa, dengan skuama difus. Garis garis tangan menjadi semakin jelas. Lesi kronik dapat mengenai seluruh telapak tangan dan jari disertai fisur.

5. Tinea pedis

Penderita akan mengeluhkan gatal di kaki terutama sela-sela jari dan kulit kaki bersisik, basah dan mengelupas. Pemeriksaan fisik akan ditemukan beberapa tipe yaitu:

a. Tipe interdigital (chronic intertriginous type).

Bentuk klinis yang paling banyak dijumpai. Terdapat skuama, maserasi dan eritema pada daerah interdigital dan subdigital kaki, terutama pada tiga jari lateral. Pada kondisi tertentu, infeksi dapat menyebar ke telapak kaki yang berdekatan dan bagian dorsum pedis. Oklusi dan koinfeksi dengan bakteri dapat menyebabkan maserasi, pruritus, dan malodor (dermatofitosis kompleks atau athlete’s foot).

b. Tipe hiperkeratotik kronik.

Klinis tampak skuama difus atau setempat, bilateral, pada kulit yang tebal (telapak kaki, lateral dan medial kaki), dikenal sebagai “moccasin-type.” Dapat timbul sedikit vesikel, meninggalkan skuama kolaret dengan diameter kurang dari 2 mm. Tinea manum unilateral umumnya berhubungan dengan tinea pedis hiperkeratotik sehingga terjadi “two feet-one hand syndrome”.

c. Tipe vesikobulosa.

Klinis tampak vesikel tegang dengan diameter lebih dari 3 mm, vesikopustul,atau bula pada kulit tipis telapak kaki dan periplantar. 

d. Tipe ulseratif akut.

Terjadi ko-infeksi dengan bakteri gram negatif menyebabkan vesikopustul dan daerah luas dengan ulserasi purulen pada permukaan plantar. Sering diikuti selulitis, limfangitis, limfadenopati, dan demam.

e. Tinea unguium.

Onikomikosis merujuk pada semua infeksi pada kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita, jamur nondermatofita, atau ragi (yeasts). Dapat mengenai kuku tangan maupun kuku kaki, dengan bentuk klinis (1) Onikomikosis subungual proksimal (2) Onikomikosis subungual distal lateral (3) Onikomikosis superfisial putih (4) Onikomikosis endoniks (5) Onikomikosis distrofik totalis. Klinis dapat ditemui distrofi, hiperkeratosis, onikolisis, debris subungual, perubahan warna kuku, dengan lokasi sesuai bentuk klinis.

7. Tinea imbrikata

Jenis tinea ini ditandai dengan lapisan stratum korneum terlepas dengan bagian bebasnya menghadap sentrum lesi. Terbentuk lingkaran konsentris tersusun seperti susunan genting. Bila kronis, peradangan sangat ringan dan asimtomatik. Biasanya mengenai badan dan tidak pernah mengenai rambut.

Penunjang

Evolusi presentasi klinis dan manifestasi dermatofitosis yang bervariasi menimbulkan kesulitan praktis dalam membedakan dermatofitosis dari dermatosis non-dermatofita atau non-mikotik. Untuk itu perlu dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan penunjang di antaranya:

  1. Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit atau kuku menggunakan mikroskop dan KOH 20%: tampak hifa panjang dan atau artrospora. Pengambilan spesimen pada tinea kapitis dapat dilakukan dengan mencabut rambut, menggunakan skalpel untuk mengambil rambut dan skuama, menggunakan swab (untuk kerion) atau menggunakan cytobrush. Pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi.
  2. Kultur terbaik dengan agar Sabouraud plus (Mycosel, Mycobiotic), pada suhu 28°C selama 1-4 minggu. Kultur tidak harus selalu dikerjakan kecuali pada tinea unguium).
  3. Lampu wood hanya berfluoresensi pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum spp., kecuali M.gypseum.

Manajemen Penyakit

Manajemen yang ideal harus memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi dengan tingkat kekambuhan yang rendah, tindakan anti inflamasi yang kuat, onset tindakan yang cepat, durasi tindakan yang singkat tanpa efek samping, penyerapan sistemik minimal dan harus hemat biaya, aman untuk digunakan pada kondisi kehamilan, laktasi dan gagal ginjal serta hati.

Pada prinsipnya terdapat manajemen non medikamentosa dan medikamentosa. Berikut adalah terapi non medikamentosa yang ideal yaitu:

  1. Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab
  2. Mencegah penularan dengan diberikan edukasi tentang:
    1. Menjaga kebersihan diri
    2. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat
    3. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat
    4. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area yang rentan terinfeksi jamur
    5. Gunakan sandal atau sepatu yang lebar dan keringkan jari kaki setelah mandi.
    6. Hindari penggunaan handuk atau pakaian bergantian dengan orang lain
    7. Skrining keluarga
    8. Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk dan linen lainnya direndam dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh jamur atau menggunakan desinfektan lain.

Sementara untuk terapi medikamentosa, terdapat beberapa pilihan obat sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

1. Tinea kapitis

Terapi topikal yaitu dengan mencuci rambut menggunakan sampo antimikotik: selenium sulfida 1% dan 2,5% 2-4 kali/minggu atau sampo ketokonazol 2% 2 hari sekali selama 2-4 minggu diikuti terapi sistemik sebagai berikut:

  1. Pada spesies Microsporum, obat pilihan di antaranya griseofulvin fine particle/microsize 20-25 mg/kgBB/hari dan ultramicrosize 10-15 mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Alternatifnya yaitu Itrakonazol 50-100 mg/hari atau 5 mg/kgBB/hari selama 6 minggu atau terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg untuk BB 20-40 kg dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 4 minggu.
  2. Pada spesies Trichophyton, obat pilihan terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg untuk BB 20-40 kg dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 2-4 minggu dengan alternatif Griseofulvin 8 minggu, itrakonazol 2 minggu, flukonazol 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu.

2. Tinea korporis dan kruris

Obat pilihan pada terapi topikal yaitu golongan alilamin (krim terbinafin) sekali sehari selama 1-2 minggu dengan alternatif golongan azol: misalnya, krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6 minggu.

Terapi sistemik diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi dengan obat pilihan terbinafin oral 1x250 mg/hari (hingga klinis membaik dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif) selama 2 minggu.

Alternatif yang diberikan berupa Itrakonazol 2x100 mg/hari selama 2 minggu, griseofulvin oral 500 mg/hari atau 10-25 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu, ketokonazol 200 mg/hari. Lama pemberian disesuaikan dengan diagnosis. Hati-hati efek samping obat sistemik, khususnya ketokonazol. Griseofulvin dan terbinafin hanya untuk anak usia di atas 4 tahun.

3. Tinea imbrikata

Pilihan terapi pada tinea imbrikata yaitu terbinafin 62,5-250 mg/hari (tergantung berat badan) selama 4-6 minggu atau griseofulvin microsize 10-20 mg/kgBB/hari selama 6-8 minggu.

4. Tinea pedis 

Untuk terapi tinea pedis sediaan topikal terdapatobat pilihan yaitu golongan alilamin (krim terbinafin) sekali sehari selama 1-2 minggu dengan alternatif golongan azol misalnya, krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6 minggu atau Siklopiroksolamin (ciclopirox gel 0,77% atau krim 1%) 2 kali sehari selama 4 minggu untuk tinea pedis dan tinea interdigitalis.

Untuk sediaan sistemiknya, obat pilihan yang direkomendasikan adalah terbinafin 250 mg/hari selama 2 minggu dengan dosis untuk anak-anak 5mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Alternatif pilihan yang diberikan yaitu itrakonazol 2x100 mg/hari selama 3 minggu atau 100 mg/hari selama 4 minggu.

5. Tinea unguium

Pada kasus tinea unguium, obat pilihannya yaitu terbinafin 1x250 mg/hari selama 6 minggu untuk kuku tangan dan 12-16 minggu untuk kuku kaki dengan alternatif itrakonazol dosis denyut (2x200 mg/hari selama 1 minggu, istirahat 3 minggu) sebanyak 2 denyut untuk kuku tangan dan 3-4 denyut untuk kuku kaki atau 200 mg/hari selama 2 bulan untuk kuku tangan dan minimal 3 bulan untuk kuku kaki. 

Pada umumnya prognosis dermatofitosis atau tinea ini tergolong bonam baik untuk kesembuhan maupun kekambuhannya asalkan pemberian terapi dilakukan dengan benar, kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab dan bahkan dapat menjadi kronik dan rekuren bila sumber penularan terus menerus ada. 

Referensi:

  • Jartarkar SR, Patil A, Goldust Y, Cockerell CJ, Schwartz RA, Grabbe S, et al. Pathogenesis, immunology and management of dermatophytosis. Journal of Fungi. 2021;8(1):39. doi: 10.3390/jof8010039
  • Petrucelli MF, Abreu MH, Cantelli BA, Segura GG, Nishimura FG, Bitencourt TA, et al. Epidemiology and diagnostic perspectives of Dermatophytoses. Journal of Fungi. 2020;6(4):310. doi: 10.3390/jof60403103
  • Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. PP PERDOSKI. 2017. Jakarta, Indonesia.
  • Jain S, Kabi S, Swain B. Current trends of dermatophytosis in Eastern Odisha. Journal of Laboratory Physicians. 2020;12(01):10–4. doi: 10.1055/s-0040-1713063
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPengobatan Infeksi Jamur pada Kulit

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar