sejawat indonesia

Diet Rendah Karbohidrat Belum Tentu Sebuah Solusi

Hampir tiap pekan, hadir penelitian baru yang menggugat kita untuk mempertimbangkan sehat atau tidaknya bagian makanan yang kita konsumsi. Meskipun, memang benar bahwa beberapa di antaranya telah jelas berpengaruh dalam kesehatan seperti gula atau alkohol,  namun bagian makanan yang lain, masih berada di ruang abu-abu. Salah satunya adalah karbohidrat atau dalam berbagai program kesehatan populer disebut: Karbo. Penelitian terbaru, yang dipresentasikan di Kongres ESC 2018 melihat kebiasaan makan karbohidrat pada hampir 25.000 orang Amerika Serikat lalu membandingkannya dengan tingkat kematian, penyakit serebrovaskular (terkait otak), dan kanker. Mereka menemukan bahwa orang yang mengonsumsi diet rendah karbohidrat meningkatkan risiko kematian dini--menariknya, ternyata orang dewasa yang “tidak gemuk” dan yang lebih tua (55 tahun ke atas) berada pada risiko kematian prematur tertinggi ketika mereka mengikuti diet rendah karbohidrat. Sejalan dengan temuan tersebut, Sebuah studi baru yang diterbitkan di The Lancet Public Health menunjukkan bahwa bukan diet karbohidrat (rendah atau tinggi) yang menjadi faktor ideal untuk menjalani hidup sehat dan berumur panjang. Penelitian tersebut mengamati 15.428 orang di Amerika Serikat dan menemukan konsumen karbohidrat “sedang”—dengan perhitungan karbohidrat untuk 50 hingga 55 persen dari asupan kalori mereka—memiliki risiko kematian terendah. Para peneliti mengkonfirmasi temuan tersebut dalam meta-analisis studi yang melibatkan lebih dari 432.000 orang di 20 negara. Juga ditemukan bahwa tidak semua diet rendah karbohidrat menawarkan hasil jangka panjang yang sama. Mereka yang mengonsumsi lebih banyak protein berbasis hewani memiliki risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang mengonsumsi lebih banyak protein dan lemak nabati dari makanan seperti sayuran dan kacang-kacangan. “Temuan ini menyatukan beberapa helai yang kontroversial. Terlalu banyak dan terlalu sedikit karbohidrat dapat berbahaya, tetapi yang paling penting adalah jenis lemak, protein, dan karbohidrat,” kata Dr. Walter Willett, profesor epidemiologi dan nutrisi di Harvard TH Chan School of Public Health yang memberi pengantar dalam laporan penelitian tersebut.

Temuan yang Tidak Mengejutkan

Para ahli yang tidak terlibat dalam penelitian, tidak silau oleh temuan ini bahkan ada yang skeptis terhadap berita utama dari penelitian yang banyak dikutip berbagai pihak. Brian Bender, PhD, seorang ahli gizi bersertifikat dan salah satu pendiri myintakepro.com, mengatakan reaksi awalnya terhadap penelitian ini adalah bahwa itu tidak terlalu mengejutkan. “Kecenderungan penelitian terus kembali ke gagasan bahwa, pada tingkat populasi, tingkat konsumsi 'moderat' untuk hampir semua komponen diet menghasilkan hasil kesehatan terbaik,” katanya kepada Healthline, “diet ekstrem yang terlalu fokus pada satu atau nutrisi lain jarang menghasilkan hasil jangka panjang yang optimal.” Dr. Tro Kalayjian, dokter ahli diet dan nutrisi yang berbasis di negara bagian New York, mengatakan bahwa penelitian ini adalah studi nutrisi berbasis populasi epidemiologi berdasarkan kuesioner frekuensi makanan dan tidak menguji diet tertentu, itu membuat hasilnya tentu sangat dipengaruhi berbagai variabel dan faktor. “Tidak seorang pun dalam penelitian itu yang pernah menjalani diet khusus untuk menilai hasil dari pendekatan nutrisi tertentu, secara luas hanya terlihat pada populasi." Kalayjian cepat menunjukkan bahwa jangkauan ‘rendah karbohidrat’ dari penelitian ini berasal dari peserta dengan tingkat merokok, penggunaan alkohol, obesitas, dan perilaku menetap yang jauh lebih tinggi. "Dengan kata lain, peneliti hanya membandingkan kelompok yang sehat dengan kelompok yang kurang sehat dan diet hanyalah hasil dari perbedaan ini dan bukan penyebab," katanya. Dia memperingatkan bahwa berita utama yang menyatakan bahwa diet rendah karbohidrat yang berkinerja buruk, mampu menyesatkan. Meringkas cara pandang bahwa semua karbohidrat baik atau buruk untuk semua orang, bukanlah sesuatu yang benar. Sebab, tidak semua karbohidrat diciptakan sama: beberapa dapat membantu memberi energi untuk fungsi tubuh yang vital, sementara yang lain bisa saja tidak berguna sama sekali.

Karbohidrat Ideal

“Melihat luasnya penggunaan karbohidrat sederhana dari sumber seperti gula yang banyak diproses menjadi makanan kemasan, wajar untuk mengasosiasikan peningkatan asupan karbohidrat dengan risiko kesehatan,” ujar Rachel Fine, seorang ahli gizi diet di negara bagian New York. Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa karbohidrat kompleks yang kaya serat adalah kunci untuk mengontrol gula darah dan manajemen berat badan, sementara karbohidrat sederhana menimbulkan banyak risiko kesehatan ketika dikonsumsi berlebihan. Dia juga merekomendasikan mengonsumsi protein nabati dan lemak, ia menyebutnya sebagai ‘pusat kekuatan nutrisi.’ "Ada banyak alasan mengapa ini benar, salah satunya adalah ketika dikonsumsi sebagai sumber makanan utuh yang diproses secara minimal, makanan ini mengandung serat utuh yang alami dan nutrisi lain yang bermanfaat bagi kesehatan," katanya. Diet rendah karbohidrat memang menjadi satu persoalan pelik. Karbohidrat yang menjadi kandungan wajib dalam makanan pokok sehari-hari, terutama bagi mereka yang tinggal di Asia atau Eropa, tentu menjadi tantangan tersendiri. Beberapa ahli boleh berbeda pendapat dan banyak yang mempertanyakan keakuratan temuan dari studi terbaru di atas, namun mereka cenderung bersepakat pada satu hal: pendekatan moderat terhadap konsumsi karbohidrat masih menjadi pilihan yang paling sehat. Namun, sekadar menghitung karbohidrat bukanlah fokus solusi yang terbaik. Sebagai gantinya, para ahli setuju bahwa memprioritaskan kualitas karbohidrat atas kuantitas karbohidrat sangat ideal bagi siapa saja yang sedang berusaha memperbaiki pola makan mereka.
Sumber: www.thelancet.com
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaRadang Usus Menambah Risiko Serangan Jantung

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar