sejawat indonesia

Insiden Korban Massal: Triase mana yang lebih efektif?

Pan American Health Organization (PAHO), Badan Kesehatan Masyarakat Internasional tertua di dunia, mendefinisikan Insiden Korban Massal/Mass Casualty Incident (MCI) sebagai peristiwa yang menghasilkan lebih banyak pasien pada satu waktu daripada sumber daya yang tersedia secara lokal, sehingga mengubah penanganan kegawatdaruratan yang berlaku secara normal.


Dari definisi tersebut, maka fokus mengukur MCI berarti ada dua: peristiwa dan kapasitas fasilitas/pelayanan kesehatan di lokasi kejadian. Sebagai contoh, kecelakaan bus di desa terpencil dengan puluhan korban selamat yang terluka bisa saja menjadi satu peristiwa yang masuk sebagai Mass Casualty Incident (MCI).

Mass Casualty Incident (MCI) menjadi kian penting jika kita melihat konteks Indonesia. Baik posisi geografisnya yang dekat dengan bencana alam, maupun dari sisi pelayanan kesehatan yang masih terbatas di banyak wilayah. Belum lagi ancaman-ancaman lain yang potensial menghasilkan korban secara masif, misalnya teroris atau kerusuhan.


Angka Kejadian Bencana tahun 2020 (Sumber: Statista)

Terdapat beberapa faktor dalam insiden korban massal (MCI) yang membuat evaluasi klinis lebih menantang. Pada fase pertama, semua evaluasi klinis harus dilakukan dalam mode triase. Artinya, upaya diagnostik harus difokuskan untuk mengidentifikasi kondisi yang mengancam jiwa secara langsung dan keputusan cepat tentang ke mana pasien harus dipindahkan pada tahap berikutnya.

Lebih jauh, Triase berarti mengurutkan pasien di MCI menurut kebutuhan dan sumber daya medis yang tersedia. Tidak ada seperangkat aturan universal yang menjadi panduan tentang pasien mana yang harus menerima opsi apa. Cara triase klinis yang paling diterima selama ini adalah triase START (Simple, Triage, and Rapid Treatment).


Algoritma Sistem Triase START

Dalam sistem triase START selama MCI, pasien diprioritaskan berdasarkan kemampuan mereka untuk berjalan, sebaik apa napas mereka, dan status mental mereka (merespon keadaan dan bisa menjawab pertanyaan).

Ada empat kategori penilaian dalam START:


  1. Memiliki cedera yang mengancam jiwa
  2. Memerlukan intervensi penyelamatan jiwa segera
  3. Memiliki cedera yang tidak langsung mengancam jiwa
  4. Memiliki luka ringan

SALT Vs. START

Sebagai respon atas kurangnya bukti dari efektivitas sistem triase yang mapan, Centers for Disease Control (CDC) membentuk komite khusus pada tahun 2006 untuk menganalisis protokol triase yang ada. Mereka memutuskan bahwa tidak ada satu sistem yang lebih baik dari yang lain. Mereka pun berinisiatif untuk mengkompilasi praktik triase "terbaik" dari beberapa sistem tersebut, sehingga mengembangkan algoritma SALT.

Dengan algoritma SALT (Sort, Assess, Lifesaving Interventions, Treatment/Transport), pasien diurutkan dan diberikan tingkat prioritas untuk penilaian individu. Penilaian ini menggabungkan intervensi penyelamatan hidup yang cepat dan terbatas seperti pengendalian perdarahan besar dan pembukaan jalan napas.

Menurut publikasi tahun 2017 di American Journal of Disaster Medicine, SALT menurunkan undertriage, terutama untuk pasien yang diklasifikasikan oleh responden pertama sebagai tertunda ataupun mendapat perhatian medis segera.

SALT berlaku dalam insiden dengan lima atau lebih pasien, seperti kecelakaan kendaraan bermotor besar. Dalam keadaan ini, responden pertama perlu menilai orang dengan cepat untuk menentukan siapa yang membutuhkan perawatan dalam urutan apa dan kemudian memberi tahu rumah sakit penerima sehingga staf medis dapat bersiap untuk penanganan lebih lanjut.

Dalam SALT dan START, responden mengklasifikasikan setiap korban yang terlibat dalam insiden korban massal ke dalam kategori berikut:

  • Hijau (minimal)
  • Kuning (tertunda)
  • Merah (langsung)
  • Hitam (meninggal dunia)

Tapi SALT memasukkan kategori baru yaitu Abu-abu, artinya responden menilai korban akan meninggal. Ini menghilangkan kekhawatiran sebelumnya tentang bagaimana penilaian ketika seorang korban ada dalam kondisi sekarat. Sebab, jadi satu kebingungan jika pada mulanya seorang korban dilabeli Hitam (Meninggal dunia) tetapi petugas kesehatan lain masih menyaksikannya bernapas.

SALT dimulai dengan kategorisasi korban, diikuti dengan penilaian yang diperluas dari penilaian yang digunakan dalam START, termasuk masalah seperti perdarahan.

Meskipun SALT dan START 100% sama dalam kategori korban Hijau dan Hitam, perbedaan muncul dalam kategori Kuning dan Merah. Tingkat undertriage SALT 9% lebih rendah dari START dalam simulasi insiden korban massal. Secara sederhana, SALT menjadi penyempurnaan dari konsep START. Selain pengkategorian Abu-abu, juga memberi koreksi pada logika dari START. Sebab, selama korban masih bisa merespon dan berjalan, ia akan dikategorikan sebagai Hijau. Sedangkan, pada kenyataannya ada kondisi darurat yang bisa saja terjadi tapi korban masih bisa berjalan dan merespon.


Dapatkan informasi terbaru dan akurat tentang penanganan Kegawatdaruratan melalui Artikel dan CME dari Sejawat Indonesia. 


Referensi:

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaApa Setelah Omicron?

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar