sejawat indonesia

Kegawatdaruratan Dermatologis: Bagaimana Cara Mengenali dan Menanganinya?

Dalam dermatologi, keadaan darurat lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan cabang ilmu kedokteran lainnya. Tapi, memilki tingkat kematian yang cukup tinggi. Dampaknya terhadap kualitas hidup yang buruk dan memerlukan rawat inap, bahkan perawatan intensif.  

Berbagai penelitian telah dilaporkan bahwa 5% hingga 8% dari keluhan pasien yang dirawat di ruang gawat darurat terkait masalah kulit. Erdogen et. al. melaporkan bahwa alasan konsultasi yang paling sering diminta dari layanan darurat adalah urtikaria-angiodema yakni 30,25%, dermatitis kontak sebanyak 11,5% dan gigitan serangga 9,75%. 

Kedaruratan dermatologis sejatinya disebabkan oleh reaksi alergi atau infeksi (bakteri atau virus). Penatalaksanaan yang cepat mungkin diperlukan dalam kasus reaksi obat yang parah, infeksi, reaksi alergi, dan inflamasi dermatosis. Dan beberapa reaksi pada kulit yang paling parah, seperti eritema multiforme dan sindrom Stevens-Johnson. 

Pada kasus-kasus seperti ini, lazim kita temukan pada layanan primer. Tapi, sangat jarang mendapatkan penatalaksanaan awal sebelum dilakukan perujukan ke fasilitas layanan sekunder dan tersier. 

Dalam ulasan selanjutnya, akan diuraikan beberapa penyakit yang akan sering ditemukan, bagaimana mengenali dan melakukan tatalaksana yang tepat untuk mencegah memburuknya kondisi pasien. 

Urtikaria-Angiodema

Urtikaria ditandai dengan pruritus, plak eritematosa yang memucat tanpa jaringan parut dalam waktu 24 jam. Urtikaria dianggap akut jika berlangsung kurang dari 6 minggu. Urtikaria biasanya disertai dengan edema angioneurotik.

Namun, terkadan kedua kondisi klinis tersebut akan muncul secara terpisah. Hal ini dikarenakan urtikaria-angiodema (UA) terjadi di lapisan kulit yang lebih dalam yang memiliki lebih sedikit sel mast dan saraf sensorik, pruritus lebih jarang terjadi dibandingkan lesi urtikaria.

Tidak ada kemerahan atau peningkatan panas di daerah yang bengkak. Selain kulit, mukosa mulut dan mukosa gastrointestinal mungkin juga terpengaruh dari indikasi pertama keterlibatan saluran pernapasan mungkin gangguan bicara. 

Gejala yang sering ditemukan seperti edema uvula dan  jika terdapat bekas gigitan di lidah, harus diselidiki pada pasien yang dirawat di layanan darurat dengan urtikaria. Karena adanya edema uvula atau keterlibatan laring (edema laring) dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan memiliki efek yang mengancam jiwa, pasien harus dirawat di rumah sakit, dan pengobatan harus segera dimulai.

Batas lesi tidak pasti pada angioedema dibandingkan dengan urtikaria, dan lesi biasanya menghilang dalam waktu 72 jam. 

Diagnosis urtikaria dapat dengan mudah dikonfirmasi dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Terutama dalam kasus dengan riwayat lebih dari 24 jam, penting untuk membedakan urtikaria dari vakulitis urtikaria.

Vaskulitis urtikaria ditandai dengan pupura, lesi jangka panjang yang bertahan lebih dari satu hari, dan hiperpigmentasi. Kemungkinan penyebab pembengkakan lainnnya di wilayah UA juga harus dipertimbangakan dalam diagnosis banding.

Tes laboratorium rutin tidak dianjurkan pada pasien dengan urtikaria akut. Jika ada pemicu alergi dalam riwayat pasien dapat dilakukan skin test. 

Pasien darurat dengan angioedema harus segera diawasi, dan protocol pengobatan berikut ini (Tabel 1) urtikaria akut dan kronis melibatkan antihistamin generasi kedua yang memiliki efek sedative dan kolinergik yang minimal. Biasanya diberikan dalam dosis tunggal dan dapat ditingkatan 4 kali dalam sehari. Penggunaan rutin setiap hari dianjurkan bahkan jika gejala sudah tidak ada dan pengobatan harus dilanutkan setidaknya selama 4 sampai 6 minggu.

  1. Adrenalin: dosis intramuskular atau subkutan adalah 0,3 hingga 0,5 ml adrenalin 1/1000 (1 mg/ml) pada orang dewasa, ulangi setiap 5 hingga 20 menit, jika perlu, dosis maksimum adalah 0,5 mg.
  2. Hidrasi harus dipastikan melalui akses vascular.
  3. Oksigen (5-10 L/menit).
  4. Kortikosteroid sistemik (1g/kg prednisolone IV).
  5. Antihistamins sistemik (Iv diphenhydramine atau pheniramine maleate).


Tabel 1: Protokol perawatan darurat.

Anafilaksis

Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Tipe-1 yang mengancam jiwa dan sistemik yang terkait dengan IgE yang mungkin berkembang karena pengaruh mediator yang disekresikan dari sel mast dan basofil.

Penyebab paling umum dari anafilaksis yang dimediasi IgE adalah sengatan serangga (terutama lebah) atau paparan obat-obatan, lateks, kacang tanah, pohon hazel, kerang, ikan, susu, telur, atau gandum. aspirin, obat antiinflamasi nonsteroid, opiat, dan zat radiokontras juga dapat menyebabkan anafilaksis.

Namun, reaksi anafilaksis yang dipicu oleh agen ini dikembangkan sebagai hasil dari mekanisme yang dimediasi non-IgE. Juga, mekanisme non-imunologis juga dapat menyebabkan reaksi anafilaksis. 

Diagnosis anafilaksis dapat ditegakkan dengan kehadiran salah satu dari tiga opsi berikut: 

1. Onset akut pada kulit atau keterlibatan mukosa, urtikaria, pruritus, kemerahan, atau angioedema, dan setidaknya salah satu dari : 

a. Kesulitan bernafas, mengi, stridor 

b. Disfungsi organ atau penurunan tekanan darah

2. Setidaknya dua temuan setelah pajanan akut terhadap zat seperti allergen:

a. Keterlibatan kulit atau mukosa (urtikria, kemerahan dan edema)

b. Kesulitan dalam bernafas seperti mengi, stridor

c. Disfungsi organ atau penurunan tekanan darah

d. Keluhan lambung yang berulang (mual dan muntah)

Penyebab potensial anafilaksis harus dieliminasi terlebih dahulu. Terapi adrenalin dan oksigen adalah agen yang paling signifikan. Dosis IM adrenalin adalah 1/1000 per 0,01 mg/kg berat badan hingga maksimum 0,5 mg. Dapat diulang setiap 5 sampai 20 menit.

Terapi hidrasi IV 1000 ml diberikan pada orang dewasa, dan bolus kristaloid 20 ml/kg diberikan pada anak-anak. Agonis beta-2 inhalasi, antihistamin (H1-antagonis difenhidramin IM atau infus IV lambat) glukokortikosteroid (prednisolone 1 mg/kg IV) dan vasopressor dapat digunakan untuk bronkospasme, edema laring, dan hipotensi, masing-masing sesuai dengan prioritas pengobatan pada anafilaksis.

Sindrom Steven-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik


Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap obat yang biasanya melibatkan kulit dan selaput lendir, dengan mortalitas dan morbiditas yang parah.

SSJ dan NET biasanya terjadi 1 sampai 45 hari setelah inisiasi obat tertentu (yang diduga menjadi penyebab SSJ dan NET, paling banyak agen allopurinol). Secara etiologi masih bersifat idiopatik, kondisi ini ditandai dengan Nikolsky-positif bulosa dan lesi seperti target yang dikaitkan dengan pemisahan epidermis dan keterlibatan mukosa dengan dasar eritematosa. 

Gejala klinis biasanya cukup untuk diagnosis, tapi untuk menghilangkan diagnosis banding lainnya dapat dilakukan pemeriksaan biopsy kulit. Jika, melibatkan kurang dari 10% dari luas permukaan tubuh dapat dikategorikan sebagai SSJ.

Namun, jika melibatkan 10% hingga 30% dapat dikategorikan sebagai SSJ/NET, dan jika mempengaruhi lebih dari 30% dari luas permukaan tubuh disebut dengan NET. Selain itu, melibatkan setidaknya dua permukaan mukosa, seperti mukosa oral, genital, ataupun ocular.

Gejala prodormal meliputi demam, konjungtivitis, faringitis dan pruritus dan dapat bertahan selama 2 hingga 3 hari. Kemudian diikuti rasa seperti terbakar, sensitivitas pada kulit, eritema lokal, demam dan arthralgia. 

Langkah terpenting dalam pengobatan adalah dengan diagnosis dini dan penghentian obat. Pasien harus mendapatkan penanganan di unit perawatan luka bakar atau intensif. Skala SCORTEN (Tabel 2) dikembangkan untuk menilai NET, yang secara luas digunakan untuk memprediksi tingkat keparahan penyakit dan tingkat kematian yang sesuai.

Penting untuk diingat bahwa pasien dengan skor SCORTEN 3 angka kematian 35,5% maka dari itu pasien segera mendapatkan perawatan intensif.

Pasien harus dievaluasi dalam hal system keseimbangan elektrolit, infeksi, lesi pada mata, dan kontrol nyeri. Terapi tambahan diringkas pada tabel berikut :


Tidak ada terapi standar untuk NET. Beberapa model terapi imunosupresif atau imunodulator telah dibuat menggunakan kortikosteroid sistemik, immunoglobulin intravena, siklosporin, dan plasmapheresis dan penghambat alfa faktor nekrosis tumor. Namun, data untuk terapi tersebut masih terbatas dan masih kontradiktif. 

Kematian mungkin terjadi dalam waktu 6 minggu setelah timbulnya penyakit, dan biasanya berhubungan dengan komplikasi penyakit. Penyebab kematian paling umum adalah kehilangan cairan transepidermal, kegagalan multi-organ terkait sepsis, syok, emboli paru, ARDS, disfungsi jantung perdarahan gastrointestinal dan gagal ginjal.

Eritroderma

Istilah eritroderma dan dermatitis eksfoliatif digunakan secara sinonim dalam literatur untuk entitas yang sama, kedua hal diatas merupakan istilah yang berbeda yang digunakan untuk presentasi klinis yang umum.

Eritroderma digambarkan sebagai peradangan kulit yang persisten, parah, dan menyeluruh yang melibatkan setidaknya 90% dari luas permukaan tubuh. Diagnosis dini dan pengobatan eritroderma menurunkan mortalitas dan morbiditas. Rasio pria dan wanita adalah 2:1, lebih sering terlihat pada orang dewasa berusia di atas 40 tahun. 

Diagnosis klinis eritroderma cukup mudah. Namun, tidak selalu mungkin untuk  dapat mendeteksi penyakit yang mendasarinya. Pada hampir 30% kasus, etiologi tidak dapat dideteksi, dan kondisi ini disebut eritroderma idiopatik. Pada stadium lanjut penyakit kasus eritroderma idiopatik memiliki limfoma sel T kulit.

Pasien-pasien ini harus ditindaklanjuti dalam hal limfoma sel-T dengan melakukan biopsi kulit secara berkala. Selaput lendir biasanya tidak terpengaruh; edema pretibial, edema periorbital, dan ektropion mungkin terlihat. Gejala yang paling umum, selain gejala kulit, adalah limfadenopati multiple.

Penyebab paling umum dari eritroderma adalah psoriasis pada orang dewasa. Pada anak-anak, reaksi obat adalah penyebab paling umum dari eritroderma, dan psoriasis adalah penyebab paling umum kedua.

Penyebab eritroderma dapat diringkas sebagai SKALPIR; Dermatitis Seboroik/Sarkoidosis, Dermatitis Kontak, Dermatitis Atopik, Limfoma/Leukemia (Sindrom Sezary), Psoriasis/Piyriasis Rubra Pilaris, Infeksi (HIV, Dermatofitosis), Reaksi obat.

Langkah yang paling penting adalah perawatan suportif. Keseimbangan cairan elektrolit harus diatur, diet kaya protein harus disediakan, infeksi harus diobati, termoregulasi harus dikendalikan, dan, jika defisiensi kardiovaskular berkembang karena vasodilatasi pada kulit, harus diobati.

Angka kematiannya sekitar 20%. Acitretin, metotreksat, dan siklosporin digunakan untuk eritroderma psoriasis. Siklosporin harus menjadi pilihan pertama jika tidak ada kontraindikasi. Steroid sistemik, azathioprine, interferon, infliximab, dan IV IG dapat digunakan untuk mengobati eritroderma.

Terapi kortikosteroid harus diberikan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan aktivasi rebound psoriasis pustular pada permukaan, dengan meningkatkan retensi cairan dan hypokalemia. 

Tidak tepat menerapkan pendekatan pengobatan simtomatik tanpa diagnosis yang jelas; pertama, diagnosis harus diklarifikasi kemudian dilakukan pengobatan yang sesuai. Penggunaan obat kortikosteroid sistemik tanpa diagnosis yang jelas dapat mempengaruhi akurasi diagnostik biopsi dan imunofluoresensi langsung.

Perhatian harus diberikan pada kondisi yang melibatkan hipovolemia, gangguan cairan-elektrolit, infeksi penyerta, dan hipoalbuminemi. Pada kondisi tersebut  pasien harus dievaluasi dengan pendekatan multidisiplin dan terpadu. Kedaruratan dermatologis biasanya memerlukan intervensi perawatan intensif. 


Penulis : Suci Sasmita, S.Ked

Referensi :

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaKesigapan Dokter dalam Hadapi Kegawatdaruratan Onkologi

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar