sejawat indonesia

Kesigapan Dokter dalam Hadapi Kegawatdaruratan Onkologi

Kanker masih memimpin penyebab kematian utama di seluruh dunia hingga saat ini. Dokter harus memiliki kesiapan dan kesigapan dalam menghadapi kegawatdaruratan onkologi. Selain rujukan, stabilisasi juga diperlukan untuk mengelola keganasan yang mendasari dan memulai tindakan paliatif.

Kegawatdaruratan onkologi didefinisikan sebagai setiap kejadian morbid (mengancam jiwa) akut yang mungkin terjadi pada pasien dengan kanker, baik karena keganasannya sendiri atau karena pengobatannya.

Kanker (tumor ganas; neoplasma) muncul dari transformasi sel normal menjadi sel tumor dalam proses multi-tahap yang umumnya berkembang dari lesi pra-kanker menjadi tumor ganas. Kanker dapat menyerang bagian tubuh yang berdekatan dan menyebar ke organ lain, dan disebut sebagai metastasis. Metastasis luas adalah penyebab utama kematian akibat kanker.

Pada umumnya, kegawatdaruratan onkologis dapat diklasifikasikan menjadi (1) metabolik, (2) hematologis, (3) struktural, dan (4) terkait pengobatan. Berikut adalah empat dari kegawatdaruratan onkologi yang paling penting dan umum untuk dikuasai oleh dokter klinis khususnya yang berada pada garda emergency dalam hal pengenalan, evaluasi, dan pengelolaan kondisi.

Neutropenia Febrile (NF)

Neutropenia Febrile (NF) adalah salah satu kegawatdaruratan onkologi yang paling umum terjadi. Sekitar 80% pasien yang menerima kemoterapi dapat mengalami NF setidaknya sekali selama terapi. NF didefinisikan sebagai suhu oral atau aksila tunggal 38,3°C atau suhu 38,0°C yang bertahan lebih dari 60 menit pada pasien dengan ANC (jumlah neutrofil absolut) <500 /μL.

Peningkatan demam dapat dipengaruhi oleh lamanya (durasi) dan tingkat keparahan neutropenia serta tingkat penurunan jumlah neutrofil absolut, yang seringkali memuncak pada 7-10 hari setelah berakhirnya kemoterapi. Derajat neutropenia terbagi menjadi 4 derajat yaitu derajat ringan (ANC 1000-1500), derajat sedang (ANC 500-999), derajat berat (ANC 100-499), derajat sangat berat (ANC<100).

Penting bagi seorang dokter kegawatdaruratan memikirkan kemungkinan adanya infeksi bakteri pada kasus NF karena meningkatnya insiden pemasangan kateter, beban komunitas, pemberian antibiotik empiris, pemberian nutrisi parenteral total, atau insiden mukositis pada pasien.

Berikut adalah langkah pengelolaan NF :

1. Identifikasi pasien.

2. Bila mengarah NF, lakukan pemeriksaan (penunjang) darah lengkap, profil metabolik lengkap, dua set kultur darah, urinalisis dan kultur, CXR 2 posisi. Jika pasien mengalami diare, pertimbangkan untuk menambahkan kultur feses dan uji Clostridium difficile.

3. Pemberian antibiotik spektrum luas harus dalam waktu 60 menit setelah NF diidentifikasi dan kultur yang sesuai telah diperoleh. Regimen yang umum diberikan :





4. Keputusan disposisi pasien untuk rawat inap perlu didiskusikan dengan spesialis bedah onkologi, terutama yang sebelumnya merawat pasien. Tidak semua pasien NF perlu rawat inap karena paparan patogen nosokomial di rumah sakit dapat memperparah kondisi pasien, kecuali pasien NF dengan sepsis atau penyakit penyerta yang signifikan seperti gagal jantung kongestif dan PPOK, perlu untuk dilakukan rawat inap. Para ahli merekomendasikan penggunaan skor Multinational Association for Supportive Care in Cancer (MASCC) untuk memutuskan disposisi.

Semakin tinggi skor MASCC, semakin baik outcome dari pasien. Pasien dengan skor ≥21 dianggap berisiko rendah dan diperbolehkan untuk rawat jalan.


Baca Juga :


Tumor Lysis Syndrome (TLS)

Tumor lysis syndrome (TLS) adalah krisis metabolik yang paling sering ditemui pada keganasan hematologi dan berpotensi mematikan. TLS terjadi karena pembebasan komponen intraseluler ke dalam sirkulasi.  Insidens TLS paling sering terjadi setelah kemoterapi dan spontan pada pasien dengan keganasan hematologi (terutama leukemia akut).

Faktor risiko TLS adalah pasien dengan disfungsi ginjal, pasien lanjut usia dengan komorbid, dan pasien multi farmasi. Gejala yang muncul dapat berupa kelelahan, tanda-tanda dehidrasi, kejang, disritmia jantung, mual dan muntah. Penunjang sel darah lengkap, CMP, laktat dehidrogenase, asam urat, fosfat, kadar kalsium total dan terionisasi, dan urinalisis serta EKG perlu dilakukan.

Hasil pemeriksaan dapat mencerminkan hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan hiperurisemia. Diagnosis TLS dapat ditegakkan dengan bantuan kriteria Cairo-Bishop berikut :


Berikut adalah langkah pengelolaan TLS:

1. Identifikasi TLS.

2. Pemberian cairan intravena agresif dan koreksi kelainan elektrolit. Resusitasi cairan isotonik direkomendasikan minimal 2000–3000 L/m² /hari untuk dewasa dan anak-anak (gunakan target 200 ml/kg/hari untuk anak-anak dengan berat badan >10 kg).

3. Hiperkalemia sekunder akibat TLS harus menjadi prioritas pengelolaan dengan cara yang sama seperti pasien hiperkalemia lainnya.

4. Dialisis mungkin diperlukan untuk kasus TLS parah atau refrakter untuk mengatasi gagal ginjal serta kadar asam urat, kalium, atau fosfat yang sangat tinggi.

5. Hiperfosfatemia pada pasien stabil dapat diberikan aluminium hidroksida 300-600 mg oral.

6. Hipokalsemia simtomatik (misalnya, kejang, tetani atau disritmia jantung) harus diberikan kalsium glukonas 1 gram IV, dapat diulang sesuai kebutuhan.

Penting untuk dipahami oleh dokter emergency bahwa :

1. Hipokalsemia asimtomatik tidak boleh dikoreksi karena kalsium tambahan dapat menyebabkan pengendapan kalsium fosfat dan uropati obstruktif akut.

2. Hiperurisemia harus ditangani untuk mencegah nefropati asam urat karena dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi dan obstruksi kristal, dengan rasburicase 0,2 mg/kg IV.

Hiperkalsemia pada Keganasan

Hiperkalsemia terjadi pada 10-30% pasien dengan keganasan dan merupakan sekunder pada metastasis tulang. Hiperkalsemia paling sering berkaitan dengan insiden kanker payudara, kanker paru-paru, limfoma non-Hodgkin dan Myeloma multipel. Kehadiran hiperkalsemia umumnya menjadi tanda prognosis buruk.

Aktivitas protein terkait paratiroid (PTHrP) meningkatkan resorpsi tulang melalui aktivitas osteoklas dan meningkatkan resorpsi kalsium di tubulus ginjal. Gejala umum hiperkalsemia adalah anoreksia, mual, muntah, dan konstipasi, tetapi mungkin termasuk malaise, poliuria, polidipsia, lesu, bingung, dan bahkan koma.

Perlu dilakukan analisis laboratorium mencakup kadar kalsium total dan kalsium terionisasi. Jika nilai kalsium terionisasi tidak tersedia, nilai kalsium terkoreksi dapat dihitung dengan rumus :

Kadar kalsium terkoreksi =

kadar kalsium terukur + (0,8 × [4,0 - kadar albumin serum {g/dl}])

Pemeriksaan sel darah lengkap CMP, kadar magnesium dan fosfat serta EKG juga diperlukan. Gambaran EKG akan menunjukkan PR memanjang, QRS melebar, QT memendek, dan disritmia ventrikel. Langkah pengelolaan hiperkalsemia pada keganasan sebagai berikut :

1. Pemberian cairan isotonik intravena agresif dengan bolus awal 1000-2000 ml diikuti dengan kecepatan infus 200-300 ml/jam dengan target keluaran urin 100-150 ml/jam.

2. Pemberian obat-obatan dengan menyesuaikan fungsi ginjal seperti:

a. Diuretik loop dosis tinggi dapat menurunkan kadar kalsium serum

b. Bifosfonat untuk menurunkan kadar kalsium.

c. Kalsitonin rute IM atau IV dapat  meningkatkan ekskresi kalsium melalui urin.

d. Glukokortikoid untuk menurunkan absorpsi usus dan reabsorpsi kalsium di ginjal, direkomendasikan hidrokortison IV 200-300 mg/hari.

3. Persiapan hemodialisa untuk pasien dengan gagal ginjal oliguria.

4. Pertimbangkan perawatan di ICU.

Pasien yang memiliki gejala ringan, atau tanpa gejala dengan kalsium serum <14 mg/dl dapat menjalani rawat jalan.

Hyperviscosity Syndrome (HVS)

Sindrom hiperviskositas adalah konsekuensi yang jarang, tetapi berpotensi bahaya akibat peningkatan viskositas serum karena kelebihan protein serum secara signifikan seperti pada macroglobulinemia Waldenström (WM) atau myeloma multipel. Trias klasik HVS adalah perdarahan mukosa atau kulit, perubahan visual, dan defisit neurologis fokal.

Dokter emergency perlu mempertimbangkan diagnosis ini pada setiap pasien dengan jumlah sel darah putih yang meningkat secara nyata (yaitu >100 × 10^4) atau hemoglobin (yaitu, ~20 g/dl) yang berhubungan dengan gejala hipoperfusi.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan yaitu CMP (total protein dan tingkat albumin), sel darah lengkap (hemoglobin, jumlah sel darah putih) dengan apusan perifer, dan uji koagulasi karena koagulopati umum terjadi pada HVS.

Pengelolaan yang perlu dilakukan adalah :

1. Hindari transfusi darah karena dapat memperburuk kondisi HVS.

2. Penurunan viskositas serum dengan resusitasi cairan IV, plasmapheresis, atau leukopheresis.

3. Bila perlu indikasikan flebotomi pada kasus polisitemia atau kemoterapi cito pada kasus leukemia akut.

Semua pasien dengan HVS perlu rawat inap dan pertimbangan masuk ICU.

Kegawatdaruratan onkologi menjadi presentasi yang semakin umum dalam unit emergency. Penting bagi seorang dokter emergency dapat melakukan pengelolaan awal untuk semua keadaan gawat darurat onkologi khususnya terkait empat kasus yang paling umum di atas.

Ketahui lebih banyak tentang kanker dalam seri Live CME "Basic Oncology Course", yaitu Diagnosis & Management of Lung Cancer serta Diagnosis & Management of Thyroid Cancer.


Oleh : dr. Pamela Sandhya De Jaka

Referensi :

  • Jafari A, Rezaei-Tavirani M, Salimi M, Tavakkol R, Jafari Z. Oncological Emergencies from Pathophysiology and Diagnosis to Treatment: A Narrative Review. Soc Work Public Health. 2020;35(8):689-709.
  • World Health Organization. Cancer. February, 2022. Diakses melalui https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/cancer
  • Klemencic S, Perkins J. Diagnosis and management of oncologic emergencies. Western Journal of Emergency Medicine. 2019;20(2):316–22.   
  • Tidy DC. Oncological emergencies (types and treatment). Patient. Info. 2022  Diakses melalui https://patient.info/doctor/oncological-emergencies  https://patient.info/doctor/oncological-emergencies.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaMengenali Gejala dan Penanganan Infeksi Varicella Zoster pada Anak

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar