sejawat indonesia

Aflatoxin, Faktor Risiko Kanker Hati yang Mengintai Produk Makanan

Kanker hati atau dalam Bahasa kedokteran dikenal sebagai hepatocellular carcinoma (HCC) merupakan salah satu jenis kanker yang paling mematikan didunia, berkontribusi terhadap 746.000 kematian akibat kanker di tahun 2012. HCC memiliki reputasi sebagai jenis kanker yang paling sulit ditangani dikarenakan berbagai faktor penyulit misalnya keterlambatan diagnosis, ketiadaan metode surveilans yang efektif mendeteksi HCC pada stadium awal, dan tingginya angka rekurensi pasca terapi. Terlebih, hingga saat ini belum ada strategi penanganan yang benar-benar efektif terutama pada penderita dengan HCC stadium lanjut. Ada banyak faktor risiko yang menyebabkan terjadinya HCC. Infeksi kronik virus hepatitis B dan C tetap menjadi penyebab utama dari insidens HCC. Diperkirakan, infeksi virus Hepatitis B berkontribusi terhadap 55% kejadian HCC di dunia, dan 89% pada daerah endemis seperti di negara-negara Asia dan Afrika. Selain itu,  berbagai faktor eksternal yang berkaitan dengan gaya hidup seperti kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, ataupun obesitas juga cenderung meningkatkan risiko HCC. Di antara faktor-faktor risiko tersebut, salah satu faktor risiko yang beberapa periode ini menarik diperbincangkan adalah Aflatoxin B1, jenis mikotoksin yang diproduksi oleh beberapa spesies Aspergillus termasuk A. flavus atau A. parasiticus dan seringkali dijumpai pada berbagai produk agrikultural di daerah dengan kelembaban tinggi. Pertumbuhan Aspergillus dan kontaminasi aflatoxin pada produk agrikultur kerap ditemukan pada tahapan panen atau tahapan penyimpanan produk. Aflatoxin B1 merupakan zat karsinogenik yang berbahaya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan aflatoxin kedalam kelompok karsinogenik kelas “A” di mana telah dibuktikan bahwa zat ini berkontribusi langsung terhadap patogenesis terjadinya HCC. Berbagai jenis produk agrikultur seperti jagung, kacang-kacangan, tepung, bumbu, susu, ataupun produk fermentasi tercatat rentan terkontaminasi oleh aflatoxin. Faktanya, >5 miliar penduduk negara berkembang berada pada risiko jangka panjang terpapar oleh kontaminasi aflatoxin pada produk makanan. Berdasarkan data dari Pusat Pengendalian Penyakit (CDC), salah satu wabah intoksikasi aflatoxin terburuk telah terjadi di Kenya pada tahun 2004-2005, yang disebabkan oleh kontaminasi dari produk jagung yang diproduksi secara rumahan dan disimpan tanpa standarisasi yang terjamin. Di Indonesia sendiri, masih sedikit data yang melaporkan kontaminasi pada makanan ataupun risiko HCC yang disebabkan oleh aflatoxin. Analisis oleh Nugraha et al. menggunakan margin of exposure (MOE) mengestimasi angka kejadian HCC yang berhubungan dengan kontaminasi aflatoxin pada produk jagung dan kacang diatas rata-rata, namun belum ada analisis spesifik yang dilakukan pada jenis makanan lain ataupun analisis yang dilakukan pada skala yang lebih luas. Mekanisme karsinogenesis akibat aflatoxin diperkirakan melibatkan aktivasi proto-onkogen dan mutasi dari gen tumor suppressor p53. Temuan ini juga menegakkan hubungan erat antara aflatoxin, HCC, dan kofaktor penyebab kanker seperti infeksi virus Hepatitis B yang juga berkaitan erat dengan gen p53. Mekanisme lain yang diperkirakan terjadi adalah produksi zat mutagenik akibat metabolism aflatoxin oleh sitokrom hepar p450. Dua populasi yang disebutkan rentan terhadap bahaya aflatoxin adalah anak-anak serta individu dengan infeksi virus hepatitis. Anak-anak memiliki sistem imunitas tubuh yang lebih rentan terpengaruh oleh dosis aflatoxin yang lebih rendah sedangkan individu dengan hepatitis yang juga terekspos oleh aflatoxin memiliki risiko HCC 30 kali lebih tinggi dibanding kelompok yang hanya terpapar dengan aflatoxin saja. Kombinasi antara faktor-faktor risiko ini rentan ditemukan di negara berkembang, sehingga usaha preventif dan strategi intervensi yang baik harus menjadi perhatian utama. Pengendalian kontaminasi aflatoxin merupakan solusi yang terpenting. Regulasi terkait quality control dari produk ekspor impor harus dimiliki tiap negara, terutama ketika produk tersebut berasal dari negara dengan angka kontaminasi aflatoxin yang tinggi. Di bidang produksi pangan dan pengendalian makanan, produk-produk pangan harus diproses secara higienis sejak di tingkat panen (pre harvest), hingga ditingkat penyimpanan, pengemasan, dan distribusi (post harvest). Survei dan pengukuran dari kadar aflatoxin juga perlu dilakukan secara berkala pada produk-produk agrikultural yang berisiko terkontaminasi, terutama pada daerah-daerah dengan populasi atau lingkungan yang riskan. Selain itu, masyarakat juga perlu mendapatkan informasi yang adekuat terkait bahaya aflatoxin dan kesehatan, serta untuk lebih hati-hati dalam mengkonsumsi produk-produk agrikultur yang tidak terstandarisasi.  
Referensi:
  1. Magnussen A, Parsi MA. Aflatoxins, hepatocellular carcinoma and public health. World J Gastroenterol. 2013 Mar 14;19(10):1508–12.
  2. Kumar P, Mahato DK, Kamle M, Mohanta TK, Kang SG. Aflatoxins: A Global Concern for Food Safety, Human Health and Their Management. Front Microbiol [Internet]. 2017 Jan 17 [cited 2018 Apr 13];7. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5240007/
  3. Ashtari S, Pourhoseingholi MA, Sharifian A, Zali MR. Hepatocellular carcinoma in Asia: Prevention strategy and planning. World J Hepatol. 2015 Jun 28;7(12):1708–17.
  4. Nugraha A, Khotimah K, Rietjens IMCM. Risk assessment of aflatoxin B1 exposure from maize and peanut consumption in Indonesia using the margin of exposure and liver cancer risk estimation approaches. Food Chem Toxicol. 2018 Mar;113:134–44.
  5. Wu HC, Santella R. The Role of Aflatoxins in Hepatocellular Carcinoma. Hepat Mon [Internet]. 2012 Oct 11 [cited 2018 Apr 13];12(10 HCC). Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3496858/
  6. Strosnider H, Azziz-Baumgartner E, Banziger M, Bhat RV, Breiman R, Brune M-N, et al. Workgroup Report: Public Health Strategies for Reducing Aflatoxin Exposure in Developing Countries. Environ Health Perspect. 2006 Dec;114(12):1898–903.
 
Kontributor:
Yogi Pratama saat ini berstatus sebagai mahasiswa program doktoral di University of Trieste, Italy pada program studi Biomolecular Medicine. Di bawah Italian Liver Foundation, saat ini Yogi bekerja pada proyek di bidang MicroRNA dan hubungannya prediktor pada Hepatocellular Carcinoma. Sebelumnya, Yogi telah menyelesaikan pendidikan dokter di Universitas Hasanuddin di tahun 2015, dan bekerja sebagai dokter umum di RSUD Lanto Dg. Pasewang Jeneponto. Di waktu luang, Yogi menggemari Traveling, fotografi, dan bereksperimen di dapur. Pembaca dapat berkorespondensi dengan yogi melalui email yogipratama.md@gmail.com
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPenggunaan Vitamin C untuk Perawatan pada Kanker Paru-paru

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar