sejawat indonesia

Layanan Kesehatan Virtual ketika Pandemi Berakhir

Sejak Pandemi Covid-19 meluas, layanan kesehatan virtual turut meningkat. Dari data Definitive Healthcare di tahun 2020 lalu, penggunaan layanan kesehatan virtual secara global tumbuh sebesar 6000% dari tahun sebelumnya. Namun, menjelang dua setengah tahun pandemi, berbagai pembatasan mulai dihentikan. Lockdown, PPKM, bahkan terakhir, penggunaan masker mulai dilonggarkan yang akhirnya memicu pertanyaan:

Akankah layanan kesehatan virtual tetap digemari dan menjadi sebuah layanan kesehatan yang permanen?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat berbagai faktor yang mampu menghambat penerapan layanan kesehatan virtual secara lebih luas. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

Terbatasnya Infrastruktur

Salah satu rintangan terbesar untuk adopsi perawatan virtual, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, terus membangun fondasi teknologi yang andal, seperti internet berkecepatan tinggi, akses luas ke perangkat seluler, dan pasokan listrik berkualitas tinggi. Tetapi bahkan di negara-negara berpenghasilan tinggi, mendapatkan infrastruktur yang tepat untuk mendukung perawatan virtual adalah tantangan yang kompleks.

Selama beberapa tahun terakhir, misalnya, infrastruktur TI perawatan kesehatan semakin dibombardir oleh tuntutan jaringan skala besar seperti mendigitalkan catatan kesehatan pasien atau soal automasi proses operasional lainnya. Penambahan sistem perawatan virtual, yang biasanya menggabungkan aliran video, audio, dan data, sudah pasti menuntut permintaan bandwidth yang sangat tinggi.

Lalu, ada tantangan tentang bagaimana mengelola, dan apa yang harus dilakukan terkait data pasien yang secara terus menerus dihasilkan oleh perawatan virtual. Dalam laporan Future Health Index 2021, dua hambatan terbesar untuk adopsi teknologi kesehatan digital adalah terkait data: kesulitan manajemen data (44%) dan kurangnya kemampuan untuk integrasi data di berbagai platform teknologi (37%).

Khusus soal integrasi data, misalnya, Tele-ICU yang bergantung pada pengambilan data berkelanjutan, ditambah teknologi visualisasi canggih dan analitik prediktif, untuk memberi informasi kepada dokter, secara cepat dan akurat agar mampu menimbang probabilitas dan mengambil tindakan terbaik pada saat-saat sensitif.

Contoh lain adalah tentang perangkat wearable dalam manajemen perawatan pasien. Sistem tersebut harus dilengkapi dengan integrasi data yang aman untuk mengetahui dan memandu pengambilan keputusan yang meyakinkan tentang apakah pasien perlu diperiksa atau dirawat di Rumah Sakit.  

Hambatan lainnya, persoalan infrastruktur adalah persoalan yang unik, sangat mungkin berbeda di hampir setiap wilayah dan kelompok masyarakat, mulai dari aksesibilitas perangkat seluler hingga manajemen data dan integrasinya. Di Indonesia misalnya, kesenjangan infrastruktur internet masih sangat besar antara wilayah urban dan perdesaan. 

Ketimpangan Literasi Digital dan Kesehatan

Agar perawatan virtual menjadi permanen, dan melayani semua orang secara setara, bukan hanya industri perawatan kesehatan yang perlu diubah. Individu dan masyarakat juga perlu diyakinkan tentang nilai perawatan virtual dan mempelajari keterampilan teknis yang diperlukan untuk mendapatkan hasil maksimal dari layanan perawatan virtual tersebut.

Ini tidak akan menjadi hal yang mudah, misalnya pada kelompok pasien seperti orang tua, yang rata-rata kurang mengenal – dan seringkali kurang mempercayai – teknologi digital. Lalu, ada fakta bahwa banyak orang masih tidak memiliki akses ke teknologi yang diperlukan untuk terlibat dari jarak jauh dengan penyedia layanan, seperti smartphone atau webcam. Tantangan-tantangan tersebut akan memakan waktu bertahun-tahun untuk diatasi. 

Meskipun, beberapa strategi bisa dilakukan untuk mengurangi efek persoalan tersebut. Misalnya, untuk mengatasi soal fasilitas smartphone, penyedia layanan kesehatan tetap bisa melakukan panggilan telepon ‘tradisional’, bisa juga dengan menyediakan layanan virtual di spot-spot khusus (seperti di gedung-gedung pemerintahan) yang memungkinkan akses internet untuk digunakan dalam melakukan konsultasi atau bentuk perawatan lain bersama penyedia layanan kesehatan virtual.

Regulasi Layanan Kesehatan Virtual

Regulasi perawatan virtual telah menjadi area abu-abu selama bertahun-tahun. Faktanya, sebelum pandemi COVID-19, kita akan kesulitan menemukan kebijakan yang berlaku khusus untuk perawatan virtual, selain di beberapa negara tertentu seperti Prancis, Ukraina, dan Kolombia di mana perawatan virtual telah ada sejak lama.

Meskipun, sejak penggunaan yang masif, beberapa negara mulai mengatur tentang layanan kesehatan virtual. Misalnya, September 2020 lalu, Hongaria memberlakukan peraturan telemedis permanen, bahkan setelah pandemi tak lagi terjadi nanti.

Sebulan sebelumnya, Menteri Kesehatan Australia mengumumkan bahwa layanan perawatan virtual universal untuk seluruh populasi akan tersedia secara permanen di Australia. Di Singapura, layanan virtual telah diterapkan dan diatur secara bertahap dalam undang-undang kesehatan.


Baca Juga:


Khusus di Indonesia, ada 3 instrumen kebijakan tentang Layanan Kesehatan Virtual: 

  1. Peraturan Menteri Kesehatan No. 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Permenkes 20/2019).
  2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4829/2021 tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Covid-19 (Kepmenkes 4829).
  3. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 74 Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik kedokteran Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia (Perkonsil 74/2020).

Namun, 3 (tiga) instrumen tersebut memiliki keterbatasan. Regulasi pertama hanya mengatur tentang pelaksanaan telemedicine antar penyedia layanan. Sedangkan yang kedua dan ketiga hanya mengatur layanan kesehatan virtual di masa pandemi. Regulasi yang lebih memadai dibutuhkan jika ingin layanan kesehatan virtual diterapkan lebih luas. 

Selain itu, tak boleh dilupakan bahwa dua faktor lain di atas (infrastruktur dan literasi digital) adalah dua hal yang juga berpengaruh dalam pembuatan dan penerapan regulasi di masa yang akan datang.

Masa depan layanan kesehatan virtual

Layanan kesehatan virtual diprediksi masih akan terus bertumbuh, berbagai solusi untuk persoalan yang selama ini hadir di layanan kesehatan offline mampu diredam secara online. Misalnya, mengurangi daftar antrean, konsultasi jadi lebih nyaman, atau akses ke tenaga spesialis jadi lebih dimungkinkan. 


Alasan menggunakan layanan kesehatan virtual

Dari survey yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (KIC), Pandemi Covid-19 hanya satu dari sekian banyak pertimbangan orang-orang memilih layanan kesehatan virtual. Bahkan, pandemi hanya menempati urutan kedua (54,6%), posisi pertama ditempati oleh pertimbangan akan waktu (54,9%), pertimbangan lain ada fleksibilitas yang bisa digunakan kapan saja dan di mana saja (48,7%) dan hemat biaya transportasi (41,4%). Pertimbangan-pertimbangan tersebut menjadi alasan optimisme layanan kesehatan virtual akan terus digunakan, bahkan ketika pandemi Covid-19 berakhir. 



Kecenderungan penggunaan layanan kesehatan virtual saat Pandemi Covid-19 berakhir

Jadi, pertanyaan yang patut diajukan bukan lagi kelangsungan layanan kesehatan virtual, tapi seberapa mau dan mampu para stakeholder menyelenggarakan layanan kesehatan virtual yang lebih luas dan lebih setara?

Referensi:

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPeran Multivitamin pada Glaukoma

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar