sejawat indonesia

Manifestasi Refluks Gastroesophageal Menyebabkan Otitis Media

Gastroesophageal Reflux (GERD) merupakan satu dari banyaknya penyakit yang menyerang gastrointestinal, dengan prevalensi sekitar 20% pada orang dewasa. El-serag et al. dalam penelitiannya memaparkan bahwa prevalensi dari GERD di Amerika Utara berkisar di antara 18.1% sampai 27.8% kira-kira dari setengah populasi orang dewasa dilaporkan memiliki gejala refluks esophageal. GERD adalah adalah kondisi kronis dari adanya gejala dan komplikasi diakibatkan terjadinya refluks isi lambung ke dalam esophagus. Besarnya resiko kekambuhan meningkatkan morbiditas signifikan dan potensi mortalitas dari komplikasi penyakit. The National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS) melaporkan bahwa 38,54 juta kunjungan rawat jalan dalam 1 tahun terakhir dengan GERD, 40-60% mengalami refluks esophagitis, lebih dari 10% pasien mengalami esophagitis erosif pada pemeriksaan endoskopi. Etiopatogenesis dari GERD multifactorial. Berbagai mekanime yang dianggap merupakan sebab terjadinya GERD, seperti pengaruh sfingter esophagus bagian bawah yang memilki gangguan fungsi. Lower Esophageal spinchter (LES) adalah segmen otot polos berukuran 3 - 4 cm yang terletak di Esophagogastric Junction (EGJ) bersama dengan diafrgma krural membentuk EGJ barrier yang mencegah migrasi retrograde asam lambung ke esophagus. Pada orang yang sehat, LES mempertahankan zona tekanan tinggi di atas tekanan intragastric dengan relaksasi. Sementara LES sebagai respon fisiologis terhadap makanan yang memfasilitasi makanan turun ke lambung. Etiologi ke-dua yaitu hernia hiatal oleh karena menghambat fungsi dari LES. Patti dkk dalam penelitiannya melaporkan bahwa pasien dengan hernia hiatal besar memiliki LES yang lebih pendek dan lebih lemah yang mengakibatkan peningkatan episode refluks. Selanjutnya, karena adanya gangguan pertahanan mukosa esophagus terhadap refluks lambung. Mukosa esophagus terdiri dari berbagai konstituen structural dan fungsional yang berfungsi sebagai proteksi pertahanan terhadap zat luminal yang dijumpai pada GERD. Barrier ini dapat ditembus dengan paparan refluks dalam waktu lama, yang terdiri dari kandungan asam lambung (asam klorida dan pepsin) dan kandungan basa duodenum (garam empedu dan enzim pancreas) yang menyebabkan kerusakan mukosa. Dan yang terakhir, adanya gangguan pada peristaltic esophagus. Dalam studi prospektif oleh Diener et al 21% pasien dengan GERD tercatat mengalami gangguan peristaltic esophagus yang menyebabkan penurunan pembersihan refluks lambung yang mengakibatkan gejala refluks dan kerusakan mukosa. Berdasarkan etiopatogenesis tersebut di atas, memberikan manifestasi ekstrophageal dengan sekitar 82% pasien mengeluhkan gejala asma, kemudian 78% mengeluhkan suara serak kronis, dan 50% pasien mengeluhkan nyeri dada. Pada lesi supraesophageal, GERD dapat menyebabkan manifestasi pada laring, faring , rongga hidung dan telinga tengah. Diagnosis gastroesophageal reflux disease (GERD) ditegakkan saat refluksat dari gaster menyebabkan beberapa gejala dan/atau komplikasi. Selama masa infant kanak-kanak awal, kondisi ini sering kali bermanifestasi dengan muntah. Kondisi antara GERD dan penyakit saluran napas berdampak pada cabang trakeobrankial, laring, faring, sinus paranasal, dan telinga tengah. Tuba eustasius tidak sepenuhnya berkembang pada anak-anak jika dibandingkan dengan orang dewasa. Pada anak tuba esutasius tampak lebih pendek dan horizontal. Variasi anatomis ini berkaitan dengan migrasi agen infeksius pada tuba dan mekanisme refluks pada telinga tengah. Tidak menempatkan anak pada posisi supinasi selama menyusu dengan botol, merupakan tindakan yang dapat dilakukan guna menghindari adanya refluksat pada telinga tengah akibat varias anatomi yang saling berkaitan. Keberadaan refluksat pada telinga tengah dapat memicu suatu reaksi inflamasi. Dampak klinis akibat adanya refluksat pada telinga tengah dapat berujung menjadi suatu otitis media, yakni suatu kondisi dengan spektrum luas di dalamnya termasuk otitis media efusi, rekuren otitis media, otitis media kronik dengan efusi, dan otitis media kronik. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peran GERD dalam otitis media, yakni 62.9% pasien GERD dengan otitis media rekuren. Beberapa penelitian telah melibatkan GERD sebagai suatu faktor yang mungkin berperan dalam perkembangan otitis media. Pepsin merupakan protease digestif dan merupakan salah satu komponen refluksat yang bersifat merusak. Deteksi adanya pepsin dan prekursornya, yakni pepsinogen pada spesimen jalan napas telah diusulkan sebagai biomarker terhadap refluks ekstraesofageal. Salah satu dari banyak penelitian menunjukkan bahwa terdapat 1000 kali lebih tinggi konsentrasi pepsin dan pepsinogen pada efusi telinga tengah dibandingkan dengan nilai normal serum. Hubungan antara GERD dan otitis media efusi didasari oleh inflamasi yang terjadi oleh karena GERD pada nasofaring, yang kemudian berdampak pada disfungsi tuba eustasius, dan adanya gangguan pada sistem pembersihan mukosiliar, kesemuanya ini meningkatkan insidensi terhadap otitis media efusi. Adanya paparan berulang terhadap asam dengan pH 4 atau kurang pada epitel respiratoris bersilia, menghambat pergerakan silia dalam pembersihan mukus. Selain itu, bahan refluksat seperti HCl dan pepsisn menyebabkan inflamasi lokal, edema dan ulserasi pada mukosa sekitar tuba, yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya fungsi ventilasi pada tuba dan mengganggu ekulisasi tekanan pada telinga tengah disertai adanya persisten tekanan negatif, dan menghasilkan efusi pada telinga tengah. Penegakkan diagnosis terhadap adanya otitis media akibat refluksat gaster dapat dimulai dari proses anamnesis terhadap keluhan yang pasien alami dan pemeriksaan fisik yang tersistematis. Pasien dapat datang dengan keluhan otalgia, rasa penuh pada telinga dan adanya penurunan pendengaran. Otitis media efusi akibat refluksat pada gaster tidak disertai dengan tanda-tanda infeksi, sehingga biasanya tidak terdapat demam. Namun, apabila terdapat agen infeksius yang masuk melalui tuba akibat terganggunya sistem mukosiliar pada tuba, maka tanda-tanda infeksi dapat menyertai otitis media. Diagnosis dari otitis media akut tidak dapat ditegakkan tanpa adanya tanda klinis dari efusi pada telinga tengah. Berdasarkan uraian di atas, bahwa mayoritas pasien dengan otitis media akibat refluks gaster ditemukan konsentrasi pepsin dan pepsinogen yang jauh lebih tinggi. Oleh sebab itu, untuk memastikan jenis cairan yang terakumulasi pada telinga tengah merupakan refluksat gaster, maka  pemeriksaan pepsinogen assay dapat menjadi pilihan. Pemeriksaan baku emas dalam menentukan adanya refluks adalah dengan probe 24-hour monitoring. Otoskopi dapat dilakukan untuk melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya kelainan pada telinga tengah. Dapat dilakukan penilaian terhadap membran timpani, apakah membran timpani tampak intak, apakah ada perubahan warna dari membran timpani, apakah terdapat retraksi atau pun bulging pada membran timpani. Membran timpani bersifat semi transparan sehingga dapat dilakukan evaluasi ada tidaknya cairan pada bagian telinga bagian tengah. Timpanosentesis dapat dipertimbangkan sebagai standar baku emas dalam mendiagnosis otitis media akut. Tetapi teknik ini hanya digunakan pada beberapa kasus dengan adanya kegagalan pada terapi lini kedua untuk membantu dalam mengkultur bahan aspirat. Pneumatic otoskopi dalam dilakukan untuk mengevaluasi pergerakan dari membran timpani. Secara normal membran timpani bergerak fleksibel dengan pemberian sedikit tekanan. Apabila membran timpani tidak bergerak dengan pemberian sedikit tekanan negatif atau pun positif, maka hal ini merujuk kepada otitis media efusi. Penyakit refluks gastroesofageal merupakan suatu kondisi kelainan yang telah umum diteliti secara luas, khususnya pada bidang otolaringologi, sebagai manifestasi ekstraesofageal yang dapat timbul. Menemukan hubungan langsung antara refluks dan manifestasi penyakit otolaringologi merupakan hal yang cukup sulit, oleh karena gejala ekstraesofageal yang tidak spesifik dan kurangnya tanda patognomonik pada saat endoskopi atau laringoskopi. Namun dengan adanya pepsinogen/pepsin dalam otitis media merupakan bukti kuat hubungan antara GERD dan kejadian otitis media.    
Referensi:
  1. Clarret, D.M. Hachem, C. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Science of Medicine : Saint Louis University. 2018; p214.
  2. Shawabkeh MA, Haldar H. 2017. Acute Otitis Media-An Update. Volume 8 Issue 4. Journal of Otolaryngology-ENT Research.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaEfek Peningkatan Dosis Dexamethason pada Pasien Pasca Operasi

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar