sejawat indonesia

Mengenal Penyebab Serta Gejala Klinis Sindrom Nefrotik

Sindrom Nefrotik (SN) pada pediatri merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan adanya proteinuria nefrotik (nephrotic range proteinuria), edema, hiperlipidemia, dan hipoalbuminemia. Proteinuria nefrotik pada anak didefinisikan sebagai ekskresi protein urine > 40 mg/m2/jam.

Karena pengambilan sampel urin tampung 24 jam sulit dan kurang dapat diandalkan, beberapa klinisi lebih memilih pengambilan sampel urin pagi untuk mengukur rasio protein/kreatinin.

Kumpulan gejala klinis pada SN diakibatkan oleh porteinuria yang masif. Oleh karena itu, SN bukan merupakan penyakit sendiri, tapi merupakan manifestasi dari beberapa penyakit glomerular.

Penyakit-penyakit ini dapat bersifat akut atau transien seperti pada glomerulonefritis post infeksi atau kronik progresif seperti pada glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS). Salah satu bentuk yang sering mengalami remisi dan relapse yaitu sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM).

Pada anak, sebagian besar SN idiopatik memiliki gambaran SNKM yaitu 80%, GSFS sebanyak 7-8%, Mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%, Glomerulonefritis membranoproliferatif 4-6%, dan Nefropati membranosa (GNM) 1.5%.


Baca Juga :


Penyakit glomerulus yang dapat menyebabkan sindrom nefrotik dibagi menjadi primer dan sekunder. Sindrom nefrotik primer atau disebut sindrom nefrotik idiopatik merupakan keadaan patologi glomerulus yang tidak disebabkan oleh kelainan sistemik.

Sedangkan SN sekunder diakibatkan oleh beberapa kelainan sekunder. Seperti penyakit autoimun, infeksi (sifilis, malaria, HIV), keganasan, pengaruh obat, atau penyakit metabolik (diabetes mellitus).

Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare.

Sedang pada penderita sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-20%, disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik adalah dengan menggunakan steroid. Dosis inisial sesuai anjuran ISKDC (international study of kidney disease in children) adalah dengan prednison 60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4  minggu.

Remisi didefinisikan dengan tidak adanya atau trace proteinuria (proteinuria < 4 mg/m2/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

SN relapse didefinisikan sebagai SN dengan albumin urin 3+ atau 4+ (atau proteinuria >40 mg/m2/jam) yang didapatkan pada urine pagi selama 3 hari berturut-turut pada kasus SN yang telah mengalami remisi sebelumnya.

ISKDC melaporkan persentase relapse rate pada kasus SN didapatkan meningkat dari 60% menjadi 76-90% dengan angka relaps berulang (frequent relapse) sebanyak 50%. Penyebab pasti terjadinya relaps ini belum diketahui pasti. Beberapa peneliti menduga adanya peningkatan sitokin TH1 (T-Helper 1).

Sitokin ini berperan dalam meningkatkan permeabilitas glomerulus sehingga terjadi proteinuria yang mencetuskan keadaan relapse. Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat berpengaruh terhadap kejadian relaps SN yaitu umur, jenis kelamin, status nutrisi, hipertensi, kadar kreatinin, dan infeksi pada saat diagnosis SN.

Sebuah studi menemukan adanya hubungan yang signifikan antara infeksi  dengan SN relaps berulang yaitu Infeksi saluran nafas bagian atas atau infeksi saluran pencernaan yang berulang. Meningkatnya risiko infeksi pada SN disebabkan oleh menurunnya immunoglobulin, komplemen, dan properdin.

Perbuahan mekanisme sel T, penggunaan terapi immunosupresif berkepanjangan, dan adanya edema juga berkontribusi dalam meningkatkan risiko infeksi. Sebuah penelitian dari pakistan dengan 62 sampel anak SN disertai dengan infeksi penyerta. Dari sampel tersebut ditemukan infeksi pernapasan akut (29.27%) yang paling banyak diikuti dengan infeksi kulit (27%), dan diare. hampir seluruh infeksi ini (78%) diikuti dengan kejadian relaps berulang.  

Beberapa penelitian juga menemukan kadar albumin serum yang rendah pada saat onset gejala SN, dapat meningkatkan faktor risiko relaps berulang setelah pengobatan. Sarker et al (2012) meneliti 100 sampel yang terdiri dari 50 pasien SN relaps berulang, dan 50 pasien SN relaps jarang.

Dari penelitian ini  ditemukan pasien dengan SN relaps berulang adalah pasien dengan kadar rata-rata albumin serum yang rendah dibandingkan SN relaps yang jarang. Hasil ini juga sama yang dilaporkan oleh Takeda et al. (2001)

Studi lain oleh Situmorang et al (2016) yang dilakukan di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung menggunakan 90 kasus SN relaps berulang yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu  < 5 tahun dan > 5 tahun.

Dari analisis bivariat yang dilakukan, ditemukan relaps lebih sering terjadi pada kelompok umur < 5 tahun (p<0.001). Hasil studi ini juga didukung oleh 3 studi yang dilakukan sebelumnya yaitu Sarker (2012), Constantinescu (2000), dan Meyers (1997).

Pada penelitian ini, sampel juga dibagi berdasarkan waktu remisi yaitu ≤ 6 bulan dan > 6 bulan. Berdasarkan analisis bivariat ditemukan adanya perbedaan diantara kedua kelompok ini, di mana kelompok dengan waktu remisi pendek (< 6 bulan) lebih banyak yang mengalami relaps berulang (frequent relaps).

Sedangkan waktu remisi lebih panjang ( > 6 bulan) hanya mengalami relaps yang jarang. Hasil ini juga dilaporkan oleh Constatinencu (2000), tapi alasan mekanisme terjadinya masih belum jelas.

Anak dengan status nutrisi yang buruk memiliki risiko tinggi untuk terjadinya relaps. Sebuah studi yang dilakukan oleh Albar H. (2018) dengan sampel 142 anak SN idiopatik, didapatkan bahwa status nutrisi memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian relaps berulang SN (p=0.023).

Dari 10 anak SN idiopatik dengan status nutrisi yang buruk, 7 diantaranya ditemukan relaps berulang. Oleh karena itu, klinisi harus lebih memperhatikan intervensi nutrisi pada pasien SN untuk mencegah kemungkinan relaps berulang, dan melakukan evaluasi ulang setidaknya 6 bulan setelah terapi steroid pada pasien dengan status nutrisi yang buruk.

Waktu relaps pertama yang lebih cepat, adanya infeksi konkominan, status nutrisi yang buruk, kadar albumin serum saat onset gejala, dan umur pasien saat diagnosis dapat memprediksi kemungkinan adanya relaps yang sering (frequent relapse).

Prediktor-prediktor ini dapat dapat digunakan untuk menyusun rencana terapi yang lebih baik dan melakukan follow up yang lebih ketat untuk mencegah relaps berulang pada pasien SN. 


Penulis : dr. Dody Abdullah Attamimi

Referensi :

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaTirzepatide Jadi Terobosan Baru Terapi Ganda Obesitas dan DM Tipe 2

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar