sejawat indonesia

MIS-C, Komplikasi COVID-19 yang Mengancam Anak

Pada bulan april tahun 2020, beberapa klinisi mulai melaporkan infeksi severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-COV 2) dengan sindrom peradangan multisistem pada anak (MIS-C) sebagai suatu komplikasi yang jarang namun serius. Multisystem Inflammatory Syndrome (MIS) adalah suatu sindrom klinis serius yang dapat terjadi akibat coronavirus disease 2019 (COVID-19). MIS dapat terjadi pada anak dan remaja (MIS-C) maupun pada pasien dewasa (multisystem inflammatory syndrome in adults/ MIS-A). 

Sejak kaitan MIS dan COVID-19 diketahui, MIS-C dilaporkan terjadi 2 hingga 6 minggu setelah terinfeksi SARS-CoV-2 yang ditandai dengan demam persisten dan gejala nonspesifik termasuk nyeri abdomen, muntah, nyeri kepala, dan lelah. Beberapa organ speerti jantung, paru-paru, pembuluh darah, ginjal, saluran pencernaan, otak, kulit, atau mata dapat terkena peradangan yang berat yang menimbulkan gejala klinis terkait organ yang terkena. 

U.S. Center for Disease Control and Prevention (CDC) mengklasifikasikan MIS-C sebagai suatu sindrom, bukan merupakan suatu penyakit, karena masih banyak yang perlu dipelajari mengenai keadaan ini. Oleh karena itu dibutuhkan urgensi dalam pengumpulan data terstandardisasi dari gejala klinis, severitas penyakit, prognosis, dan epidemiologi penyakit. 

Penyebab dan mekanisme terjadinya MIS-C masih belum jelas, Terdapat peningkatan kejadian MIS-C di daerah dengan kurva kasus COVID-19 yang tinggi (positif tes RNA maupun serologis). Data epidemiologi menemukan kasus ini terjadi pada umur 0 hingga 19 tahun, dimana jumlah kasus tertinggi berada di rentang umur 4 bulan hingga 17 tahun, jumlah kasus pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, dan dari laporan kasus kejadian terbanyak dilaporkan pada ras afrika, afrika-karibia, dan hispanik yang tinggi berdasarkan demografi lokal.  

Keadaan ini ditandai dengan demam persisten (menetap lebih dari 24 jam), meningkatnya penanda inflamasi, dan terdapatnya tanda disfungsi organ tunggal atau multipel. Gejala gastrointestinal yang dapat ditimbulkan seperti diare tanpa darah, muntah, nyeri abdomen yang ringan hingga berat. Gejala nonspesifik seperti nyeri dan peradangan pada ekstremitas juga pernah dilaporkan. 

Selain itu, odinofagi, nyeri kepala, myalgia, ruam kulit, dan gangguan status mental seperti apatis, somnolen hingga pingsan juga pernah dilaporkan terjadi pada MIS-C. Gejala respiratorik dapat juga ada, namun tampaknya bukan merupakan gejala yang predominan pada MIS-C. Termasuk di dalam MIS-C adalah gejala sugestif sindrom kawasaki (injeksi konjungtiva dan mukosa, ruam, bengkak pada tangan dan kaki, dilatasi arteri koroner) dan sindrom syok toksik (eritroderma, gangguan ginjal, dan hipotensi). 

Baca Juga:

Berdasarkan penelitian di university of Texas Health Science Center di San Antonio, sebagian besar dari 622 anak yang mengidap sindrom peradangan multisistem (MIS-C) mengalami komplikasi jantung. Kerusakan yang ditimbulkan berupa berkurangnya kemampuan jantung untuk memompa darah beroksigen ke jaringan tubuh, dan hampir 10% anak memiliki aneurisma pembuluh koroner. Pada pemeriksaan fisis, tampak pasien sakit berat dengan tanda syok dapat berupa hipotensi dengan takikardi atau bradikardi, Capilllary Refill time (CRT) yang memanjang, Takipnea, petekia, purpura, akral dingin, oliguria, perubahan status mental, hipertermia atau hipotermia. 

Terdapat beberapa definisi kasus yang berbeda dari WHO dan CDC terkait MIS-C. Menurut Definisi WHO, MIS-C dapat terjadi pada anak atau remaja mulai umur 0-19 tahun yang memenuhi kriteria berikut:

- Demam selama 3 hari atau lebih

- Dua atau lebih dari gejala di bawah ini:

  • Ruam atau konjungtivitis bilateral (nonpurulen) atau inflamasi mukokutan dari mulut, tangan, atau kaki
  • Hipotensi atau syok Tanda disfungsi miokardium, perikarditis, valvulitis, atau abnormalitias arteri koroner, termasuk yang didapatkan melalui pemeriksaan radiologi (ekografi) dan pemeriksaan laboratorium (peningkatan kadar troponin, NT proBNO)
  • Koagulopati (peningkatan PT/INR, APTT, D-dimer) 
  • gejala gastrointestinal akut (muntah, diare) maupun nyeri abdomen 

Dan

- Peningkatan kadar marker inflamasi non-sistemik (Erythrocyte sedimentation rate, C-Reactive Protein, Prokalsitonin)

Dan

- Tidak terdapat bukti lain penyebab inflamasi oleh bakteri (sepsis bakterial, staphylococcal atau streptococcal toxic shock syndrome)

Dan

- Terdapat bukti infeksi Coronavirus (melalui tes PCR, antigen atau antibodi) atau riwayat kontak dengan COVID-19

Sedangkan CDC dan Royal College of pediatrics and Child Health telah mempublikasikan definisi kasus MIS-C sedikit lebih luas yang lebih menghubungkan infeksi COVID-19 dengan gejala mirip penyakit kawasaki. Kriteria ini menekankan adanya pemenuhan seluruh atau sebagian kriteria sindrom kawasaki yang disertai dengan terpenuhnya kriteria MIS-C. 

Belum ada pemeriksaan diagnostik pasti untuk MIS-C. Diagnosis didasarkan pada klinis, laboratorium, dan data epidemiologi. Sebagian pasien dapat memenuhi kriteria penyakit kawasaki, maupun kriteria sindrom syok toksik. Pada pemeriksaan darah rutin biasanya didapatkan neutropenia dan limfopenia. Anemia dan/atau trombositopenia juga dapat ditemukan. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan hipoalbuminemia, Hiponatremia, peningkatan level kreatinin, blood urea nitrogen (BUN), transaminase dan kreatinin kinase. Pemeriksaan marker inflamasi didapatkan tinggi secara signifikan yaitu C-Reactive Protein, Erythrocyte Sedimentation Rate, dan Prokalsitonin yang mendandakan tingginya peradangan yang terjadi. 

Tujuan terapi dari MIS-C adalah mengatasi dan mencegah syok, mengatasi disfungsi organ dan mencegah terjadinya komplikasi lanjut (aneurisma arteri koroner, penyakit ginjal akut). 

Dihadapkan dengan penyakit baru tanpa terapi empiris yang terbukti, beberapa klinisi mencoba terapi dengan menggunakan hipotesa terbaik mereka dengan mempertimbangkan keuntungan terbaik bagi pasien. Miripnya gejala MIS-C dengan penyakit kawasaki, sindrom aktivasi makrofag, dan staphylococcal toxic shock syndrome, menyebabkan beberapa klinisi memilih penggunaan imunomodulator dengan pertimbangan manfaat obat ini terhadap penyakit tersebut. 

Karena aneurisma arteri koroner merupakan klinis yang sering terjadi pada MIS-C dan penyakit kawasaki, penggunaan imunoglobulin intravena (IVIG) yang merupakan terapi terbukti efektif pada penyakit kawasaki. Walaupun begitu, beberapa anak dengan MIS-C dilaporkan sembuh dengan terapi suportif saja. 

Beberapa klinisi menganggap usaha agresif untuk menurunkan respon inflamasi mungkin tidak terlalu menguntungkan secara klinis.  Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menemukan terapi paling efektif dalam tatalaksana MIS-C. Oleh karena urgensi untuk menemukan terapi, mengingat MIS-C merupakan reaksi serius yang dapat menyebabkan kematian, kegagalan multi-organ, dan kerusakan jantung jangka panjang, beberapa klinisi menggunakan immunomodulator yang belum terbukti dalam uji klinis, namun karena efeknya yang menguntungkan, beberapa guideline lokal dan nasional menyarankan pengobatan ini. 

Dalam sebuah penelitian kohort observasional oleh Mcardle Aj (2021) dengan menggunakan sampel sebanyak 614 anak dengan MIS-C di 32 negara berbeda mulai dari juni 2020 hingga februari 2021 yang membandingkan penggunaan glukokortikoid tunggal, glukokortikoid kombinasi IIVIG, dan IVIG tunggal. Dari hasil penelitian tersebut tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan dalam tingkat kesembuhan dan keparahan penyakit dari ketiga grup tersebut.  

Sebuah meta analisis yang mengevaluasi 27 studi dengan 917 anak yang mengalami MIS-C melaporkan gejala yang dominan terjadi pada anak adalah demam (99,3%) dan gejala gastrointestinal (87,3%) seperti diare, muntah, dan nyeri perut. Gejala lain mencakup keterlibatan jantung seperti disfungsi miokardium (55,3%), syok (65,8%), dan aneurisma arteri koroner (21,7%). Rerata usia anak pada studi ini adalah 9,3 tahun.

Sebagian besar kasus mendapatkan imunoglobulin intravena (81%), aspirin (67,3%), dan kortikosteroid (63,6%). Meskipun perbaikan fungsi jantung saat pulang dari rumah sakit didapatkan pada 55,1% pasien, kebutuhan terhadap extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) dilaporkan sebesar 6,3% dan angka mortalitas dilaporkan sebesar 1,9%.

MISC merupakan sindrom klinis yang baru, dan hingga sekarang belum ada pedoman baku atau bukti ilmiah yang adekuat untuk keadaan ini. Karena gejala penyakit ini yang mirip dengan penyakit kawasaki, toxic shock syndrome, dan staphylococcal atau streptococcal toxic shock syndrome belum ada pedoman baku untuk membedakan penyakit tersebut. Penelitian lebih lanjut terus dilakukan untuk mengetahui modalitas diagnostik, dan pedoman klinis baku untuk diagnosis maupun tatalaksana pada MISC, dengan harapan meningkatkan rasio kesembuhan pasien. 

Update terus informasi tentang Covid-19 dan berbagai kondisi yang terkait melalui artikel dari Sejawat Indonesia atau Ikuti topik CME-nya di sini.


Penulis: dr. Dody Abdullah Attamimi

Referensi
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaInsiden Korban Massal: Triase mana yang lebih efektif?

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar