sejawat indonesia

Mungkinkah Seorang Dokter Memiliki Work-Life Balance?

Konsep keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan (Work-life Balance), bukanlah hal baru atau sesuatu yang unik bagi profesi kedokteran. Gagasan bahwa seseorang harus membatasi jumlah waktu yang dihabiskan di tempat kerja berasal dari undang-undang manufaktur pada akhir 1800-an, ketika jam kerja perempuan dan anak-anak dibatasi. Pada tahun 1938, Undang-Undang Standar Perburuhan yang Adil (Fair Labor Standards Act) menetapkan 44 jam kerja seminggu, meskipun para profesional seperti dokter dianggap harus selalu ‘siap siaga’.

Gerakan Pembebasan Perempuan tahun 1980-an membawa keseimbangan kehidupan pribadi-pekerjaan kembali menjadi isu utama. Untuk mengakomodasi perempuan dalam angkatan kerja, jadwal kerja yang fleksibel dan cuti hamil dipopulerkan. Awalnya, konsep ini hanya untuk perempuan, diharapkan dapat mempertahankan karir dan melanjutkan manajemen utama keluarga dan rumah.

Manfaat dan ide tersebut kemudian diperluas untuk mencakup pria dan perempuan profesional. Gagasan bahwa orang ingin memiliki keseimbangan antara kehidupan profesional dan pribadi mereka, lebih banyak fleksibilitas dalam mengatur jadwal mereka, dan dianggap meningkatkan kepuasan dari pekerjaan dan kehidupan menjadi konsep kunci di akhir abad ke-20.

Saat ini, keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan merupakan satu industri tersendiri, dan faktor penentu dalam memilih pekerjaan. Namun, seperti apa keseimbangan antara kehidupan personal dan pekerjaan tersebut untuk para dokter?

Kamus Cambridge mendefinisikan keseimbangan kehidupan kerja sebagai “jumlah waktu yang Anda habiskan untuk melakukan pekerjaan dibandingkan dengan jumlah waktu yang Anda habiskan bersama keluarga dan melakukan hal-hal yang Anda sukai.”

Namun, bagi dokter, konsep keseimbangan kehidupan kerja tidak begitu mudah. Prinsip 3A: Able (Cakap), Affable (Ramah), dan Avalaible (Siap sedia) menjadi tantangan tersendiri dalam membentuk keseimbangan kehidupan personal dan pekerjaan para dokter, terutama poin ‘avalaible’. 

Mendefinisikan apa yang dimaksud dengan waktu kerja merupakan hal yang kompleks dalam pengobatan modern. Tugas dokter yang umum meliputi kontak pasien, tugas administratif, edukasi, pertemuan, dan kegiatan penjangkauan masyarakat. Penambahan teknologi seluler juga berarti waktu kerja dapat dengan mudah merambat ke waktu personal.

Ketidakseimbangan kehidupan personal dan pekerjaan dikaitkan dengan penurunan kepuasan kerja, produktivitas, dan akhirnya kelelahan. Untuk dokter dengan jadwal klinis dan akademik yang menuntut bersama dengan jalur pelatihan yang panjang, ada alasan pribadi dan profesional untuk menjaga keseimbangan tersebut.

Penelitian menunjukkan bahwa dokter bekerja rata-rata 51,4 jam seminggu, dengan hampir 1 dari 4 (23,5%) bekerja 61-80 jam setiap minggu. Tingkat depresi dilaporkan lebih tinggi pada dokter daripada populasi umum. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat depresi, penyalahgunaan zat, dan bunuh diri di antara mahasiswa kedokteran dan dokter adalah dua hingga enam kali lebih banyak. Terdapat 30% ahli bedah yang diskrining positif depresi dan 40% memenuhi kriteria untuk mengalami burnout. Faktor-faktor yang secara independen terkait dengan burn out termasuk usia yang lebih muda, memiliki anak, bidang spesialisasi, jumlah panggilan malam per minggu, jam kerja per minggu, dan kompensasi yang ditentukan seluruhnya berdasarkan penagihan.

Dokter juga sering mengorbankan kesehatan fisik mereka. Berbagai penelitian telah menunjukkan efek fisik dari jam kerja yang panjang, kurangnya akses ke makanan sehat, dan kurang tidur. Bahkan dalam kehidupan personal, banyak dokter tidak meluangkan waktu untuk memastikan kesehatan mereka sendiri. 

Studi telah menunjukkan bahwa dokter yang bekerja lebih sedikit memiliki efisiensi yang lebih baik daripada mereka yang bekerja penuh waktu.

Terlepas dari kumpulan bukti yang menunjukkan kerugian nyata bagi dokter dari jam kerja yang berlebihan, hanya sedikit dari para dokter yang menyadari data ini dan bahkan lebih sedikit lagi yang memahami cara memutus siklus destruktif tersebut.


Baca Juga:


Di bawah ini adalah empat cara yang bisa dilakukan sebagai cara praktis untuk menemukan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan personal:

Menetapkan tujuan (Goals)

Tujuan harus ditetapkan sebagai jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Itu akan membantu Anda mengalokasikan berapa banyak waktu yang ingin Anda habiskan dalam setiap bagian kehidupan. Aktivitas yang mengikutinya harus fokus pada apa yang ingin Anda capai. Jadilah realistis. Anda tidak hanya membutuhkan waktu untuk klinik dan ruang operasi tetapi membalas panggilan telepon pasien, meninjau data, mempersiapkan operasi juga harus disertakan selama alokasi waktu.

Pastikan Anda membuat tujuan yang mencakup kesehatan pribadi, olahraga, kesehatan, atau aspek spiritual.

Manajemen waktu

Langkah pertama dalam proses ini adalah mencatat waktu Anda selama seminggu atau lebih untuk melihat di mana dan bagaimana Anda menghabiskan waktu selama seminggu. 

Setelah mencatat satu minggu waktu Anda, pisahkan waktu yang Anda habiskan ke dalam kategori: perawatan pasien langsung (klinik/operasi), tugas administrasi (dokumen/panggilan telepon/email), akademik (penelitian/menulis artikel), edukasi (mengajar/membaca/kuliah/pendidikan kedokteran berkelanjutan atau CME), dan kegiatan sosial. 

Lihatlah bagaimana waktu yang dialokasikan selama jam tidak bekerja antara keluarga, teman, olahraga, tidur, dan menjalankan tugas. Juga pastikan untuk melihat berapa banyak waktu "jauh" dari pekerjaan tapi masih harus terus bekerja: memeriksa pasien melalui telepon, email, atau komputer, melakukan pekerjaan akademik atau administrasi di rumah. 

Setelah Anda menyelesaikan analisis harian, petakan waktu Anda setiap tahun: berapa hari yang dialokasikan untuk klinik, operasi, dan administrasi. Apakah Anda menggunakan semua hari libur Anda, hari CME? Bagaimana Anda menggunakannya?

Terkadang, ini akan mencerahkan dan membuat Anda menyadari di mana waktu dihabiskan dengan baik atau di mana waktu disia-siakan. 

Prioritas

Di antara berbagai tanggung jawab Anda, penting untuk mengidentifikasi apa yang penting bagi Anda dalam kehidupan. Misalnya, jika keluarga selamanya adalah prioritas, maka bekerja 3 hari per minggu untuk tetap punya waktu lebih banyak bagi keluarga adalah pilihan bijaksana.

The Medscape National Physician Burnout, Depression & Suicide Report dari 2019 menunjukkan bahwa jam kerja yang lebih sedikit mengurangi gejala burnout: 36% dari mereka yang bekerja 31–40 jam seminggu, memiliki gejala burnout, terdapat 50% yang bekerja 61–70 jam, dan 57% bekerja lebih dari 71 jam.

Menilai kembali (Reasessing) dan mengatur ulang (Resetting)

Selama transisi kehidupan, seperti penyelesaian pelatihan, pernikahan, persalinan, dan kematian anggota keluarga, meluangkan waktu untuk menilai kembali dan mengatur ulang tujuan kerja dan tujuan hidup dapat membantu dalam menciptakan keseimbangan. 

Jangan merasa harus selalu mengatakan ‘ya’. Lebih baik mengatakan ‘tidak’ dan berhasil pada apa yang bisa dilakukan daripada mengatakan ‘ya’ dan berkinerja buruk atau lebih buruk.

ini adalah tentang menemukan tujuan hidup Anda baik di tempat kerja maupun di rumah dan berjuang untuk memenuhinya. Keseimbangan ada dalam gerakan, jadi pertahankan siklusnya.

Referensi:

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaLebaran Nutrition Plan

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar