sejawat indonesia

Nyamuk Wolbachia: Efektif Tapi Ditolak, Kok Bisa?

Nyamuk Wolbachia kini sedang ramai diperbincangkan setelah rencana penyebarannya ditolak masyarakat di beberapa tempat. Program tersebut adalah tindak lanjut dari keberhasilan uji coba sebelumnya. Namun, apa sebenarnya Nyamuk Wolbachia ini dan mengapa ia ditolak?

Apa itu Nyamuk Wolbachia

Wolbachia adalah bakteri yang sangat umum dan terdapat secara alami pada 50% spesies serangga, termasuk beberapa nyamuk, lalat buah, ngengat, capung, dan kupu-kupu.

Wolbachia hidup di dalam sel serangga dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui telur serangga. Nyamuk Aedes aegypti biasanya tidak membawa Wolbachia, namun banyak nyamuk lainnya yang membawa Wolbachia.

Bakteri ini pertama kali dijelaskan pada tahun 1920-an tetapi hanya sedikit penelitian yang dilakukan hingga dekade 70-an.

Wolbachia pernah dianggap sebagai mikroorganisme serangga yang berdampak kecil terhadap kesehatan manusia. Gagasan tersebut telah direvisi dalam beberapa tahun terakhir setelah disadari bahwa Wolbachia dapat mencegah nyamuk menularkan penyakit yang menyebabkan virus seperti demam berdarah, Zika, chikungunya, dan demam kuning ke manusia.

Dalam perkembangannya, bakteri Wolbachia digunakan pada nyamuk Aedes aegypti, pembawa virus demam berdarah dengue. Bakteri ini akan melemahkan virus dengue yang bersemayam dalam tubuh nyamuk dan menurunkan infektivitasnya. Dengan cara ini, kasus demam berdarah akan menurun.

Program Nyamuk Wolbachia di Indonesia

Berawal dari tahun 2011, Eliminate Dengue Program (EDP) Yogyakarta mengawali fase persiapan di Bantul dan Sleman. Mulai 2014, EDP Yogya melakukan pelepasan terbatas nyamuk ber-Wolbachia di Sleman yang dilaksanakan di dua wilayah penelitian, yaitu Dusun Karangtengah dan Ponowaren, Desa Nogotirto dan Dusun Kronggahan 1 dan Kronggahan 2, Desa Trihanggo. 

Pada 2015, EDP-Yogya kembali melakukan pelepasan terbatas di Bantul. Pelepasan menggunakan telur nyamuk ber-Wolbachia ini dilakukan di dua wilayah penelitian, yaitu Dusun Jomblangan, Desa Banguntapan dan Dusun Singosaren 3, Desa Singosaren. 

Penentuan wilayah-wilayah tersebut didasarkan kepada dua pertimbangan: faktor geografis dan sejarah daerah tersebut sebagai wilayah endemis demam berdarah. Daerah-daerah tersebut merupakan wilayah pemukiman yang, baik luas wilayah maupun kondisi geografisnya, memungkinkan tim melakukan pelepasan nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia. 

Wilayah-wilayah ini biasanya dihuni antara 700-1200 kepala keluarga yang secara fisik terpisah dari pemukiman lainnya baik oleh jalan, hutan atau lahan pertanian.

Setelah keberhasilan tersebut, Kementerian Kesehatan melanjutkan dengan menyebar jutaan telur nyamuk di beberapa daerah. Telur ini akan menetas dan berkembang biak.

Namun, rencana tersebut mendapat penolakan di masyarakat. Beragam alasannya, antara lain metode ini dituding sarat kepentingan bisnis. Nyamuk Wolbachia dicurigai bisa menginduksi penyakit Japanese encephalitis dengan konsekuensi keharusan membeli dan menggunakan vaksin untuk mengatasinya.

Sebagian lagi menuding nyamuk ini produk rekayasa genetika dengan beragam potensi negatif terkait perubahan strain dan mutasi. Ada pula yang berspekulasi nyamuk ini diciptakan untuk menyebarkan penyakit lain agar populasi manusia berkurang.

Tantangan penanggulangan Demam Berdarah

Setiap tahun, lebih dari 100 juta manusia di dunia terinfeksi demam berdarah dan 25.000 di antaranya meninggal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan, hampir empat miliar penduduk Bumi berisiko terkena demam berdarah. 

Di Indonesia, insiden demam berdarah juga terus meningkat. Tahun 2021 jumlah kasus lebih dari 73.000 dengan 700 kematian. Setahun kemudian meningkat menjadi 130.000 kasus dengan lebih dari 1.000 kematian.

WHO melabeli demam berdarah sebagai penyakit akibat nyamuk yang paling kritis, dengan peningkatan 30 kali lipat dalam 50 tahun terakhir.

Masyarakat dianjurkan membersihkan sarang-sarang nyamuk, menggunakan bahan atau krim antinyamuk, dan memproteksi diri dengan kelambu.

Penatalaksanaan konvensional seperti pengelolaan lingkungan, pengendalian bahan kimia, dan tindakan perlindungan diri terhadap nyamuk belum bisa mencegah peningkatan kasus. Di sisi lain, baru ada satu jenis vaksin untuk penyakit demam berdarah, yaitu Dengvaxia. Namun, vaksin ini terkesan rumit karena hanya diberikan pada anak berusia 9-16 tahun yang pernah terinfeksi demam berdarah.

Tahun 2011, World Mosquito Program (WMP) memperkenalkan program nyamuk Wolbachia. Mereka menemukan bahwa memasukkan bakteri Wolbachia ke dalam nyamuk Aedes menyebabkan virus dengue dalam nyamuk menjadi lemah dan tidak dapat bereproduksi.

Berdasarkan konsep ini, WMP mengembangbiakkan telur nyamuk Aedes yang di dalamnya dimasukkan bakteri Wolbachia dan menyebarkan telur-telur ini ke daerah terdampak demam berdarah. Telur nyamuk ini akan menetas, berkembang biak, dan membentuk populasi besar nyamuk yang tidak menyebarkan virus dengue.

Uji model ini telah dilakukan di sejumlah negara. Di Indonesia, hasilnya menunjukkan, kasus demam berdarah menurun 77% dan jumlah perawatan rumah sakit berkurang 86%.

Berdasarkan sejumlah hasil studi, WHO Vector Control Advisory Group telah merekomendasikan penggunaan teknologi Wolbachia untuk pengendalian dengue.

Dengan risiko yang sangat rendah atau bisa diabaikan, baik terhadap manusia, binatang, maupun lingkungan, sehingga secara saintifik, model ini memenuhi kriteria efektif dan aman. 

Faktor Penyebab Terjadinya Penolakan

Penolakan program kesehatan masyarakat bukan hal baru. Cukup banyak program kesehatan, termasuk yang sudah mengglobal dan sudah lama ada, mendapat resistensi atau penolakan.

Sebagai contoh, vaksinasi anak masih rendah akibat narasi Antivax. WHO bahkan memasukkan penolakan vaksinasi sebagai satu dari sepuluh ancaman global utama kesehatan.

Program lain yang pernah ditolak di beberapa negara antara lain pemberian zat fluorida pada air minum untuk mengurangi kerusakan gigi (fluoridation of drinking water), vaksinasi wajib (mandatory vaccination) untuk campak dan Covid-19, serta program pencegahan HIV/AIDS lewat edukasi seksual dan distribusi kondom.

Banyak faktor yang menyebabkan berbagai penolakan tersebut. Salah satunya, minimnya sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat. Setelah merasa memiliki landasan ilmiah yang relevan dan payung kebijakan program, pemerintah sering terburu-buru ingin mengimplementasikan program tanpa memberi ruang luas dalam sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat.

Masyarakat ”dipaksa” menerima program tanpa tahu secara jelas tujuan, mekanisme, hasil yang diharapkan, dan kemungkinan efek samping. Masyarakat ditempatkan hanya sebagai obyek yang harus dan hanya perlu ikut.

Alasan lain, ketidakpercayaan terhadap pemerintah atau pelaksana program. Pemerintah dianggap memiliki kepentingan sepihak di balik program, terutama kepentingan bisnis.

Hal lain, benturan program dengan kebiasaan, etika, budaya, dan agama. Sebagus apa pun sebuah program tetap akan timbul potensi resistansi jika program bertabrakan dengan nilai-nilai ini.

Penolakan program juga berpotensi terjadi pada program-program inisiatif baru. Semakin baru sebuah inisiatif, semakin besar peluang resistansi. Alasannya, inisiatif baru sering dianggap belum teruji dan masih bersifat eksperimental.

Masyarakat enggan mengadopsinya hingga mereka yakin bahwa inisiatif itu benar-benar aman dan efektif. Selain itu, inisiatif baru mungkin memerlukan perubahan perilaku atau rutinitas masyarakat. Hal ini membuat implementasinya menjadi sulit.

Begitu pula dengan penolakan nyamuk wolbachia, kita belum pernah mendengar sosialisasi adekuat dari program terhadap masyarakat dan tiba-tiba saja program dijalankan. Jangankan masyarakat umum, tenaga kesehatan juga banyak yang belum tahu tentang adanya program ini.

Padahal, sebagai sebuah program strategis, mestinya informasi program ini begitu masif terdengar. Keterlibatan Bill Gates dalam proyek ini, dan juga pada proyek-proyek WMP lain sejak 20 tahun lalu, turut menimbulkan spekulasi tentang adanya kepentingan bisnis di baliknya.

Masyarakat pun belum terbiasa dengan konsep ”melawan nyamuk dengan memperbanyak nyamuk lain”. Ini konsep yang tidak sederhana bagi mereka. Apalagi mekanismenya melalui penyuntikan bakteri ke dalam telur nyamuk dan mengharapkan nyamuk berkembang biak dan menjadi populasi mayoritas tanpa risiko.

Lagi-lagi, persoalan komunikasi

Sebagai masyarakat awam, alur-alur proses ini menimbulkan beragam pertanyaan logis: bagaimana jika nyamuknya menjadi ganas, bagaimana jika Wolbachia membawa infeksi baru, mengapa harus menggunakan program rumit, sementara nyamuk bisa dibasmi dengan abatisasi dan obat nyamuk?

Meski disuguhi data ilmiah keuntungan program, sepanjang pertanyaan-pertanyaan sederhana ini belum terjawab, sulit bagi mereka menerima program ini.

Alasan lain, program ini masih relatif baru dan teknologinya pun dianggap uji coba. Hasil penelitian epidemiologisnya di Indonesia baru dipublikasikan dua tahun lalu. Masyarakat khawatir akan ada efek samping pengembangan populasi nyamuk baru ini, baik pada manusia, binatang, maupun lingkungan. Sebagian berargumen uji coba selama ini hanya dalam kurun beberapa tahun dan pada populasi terbatas. Bagaimana efek jangka panjangnya dan pada populasi berbeda?

Sejatinya, model nyamuk Wolbachia ini sebuah program yang sangat menjanjikan. Bisa jadi suatu saat kasus demam berdarah akan menghilang di muka Bumi lewat program ini. Apalagi, hingga saat ini belum ada bukti ilmiah bahwa program ini berbahaya. Artinya, sejauh ini aspek efektivitas dan keamanannya terpenuhi.

Sayangnya, hampir serupa dengan program baik lainnya. Program ini juga tidak diiringi strategi yang baik, sehingga dalam implementasinya mendapat hambatan, sekaligus menjadi bukti lemahnya evaluasi dari program sebelumnya yang berujung pada perencanaan yang juga kurang maksimal. 

Referensi:

  • World Mosquito Program
  • Wolbachia, Inovasi Baru Cegah Penyebaran DBD, Kemenkes, 2023
  • Utarini A, Indriani C, Ahmad RA, Tantowijoyo W, Arguni E, Ansari MR, et al. Efficacy of Wolbachia-infected mosquito deployments for the control of dengue. N Engl J Med. 2021;384:2177–2186. 
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaBagaimana AI Akan Mengubah Hubungan Dokter-Pasien

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar