sejawat indonesia

Perubahan Farmakologi dan Farmakokinetik Obat Psikotropika pada Pasien dengan Gangguan Liver

Gangguan kejiwaan secara klinis berkaitan langsung dengan distress (penderitaan) dan menimbulkan hendaya (disabilitas) pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia. Fungsi kejiwaan yang terganggu meliputi fungsi biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.

Secara umum, gangguan fungsi kejiwaan yang dialami seseorang individu dapat terlihat dari penampilan, komunikasi, proses berpikir, interaksi dan aktivitasnya sehari-hari. Obat-obatan yang digunakan dalam psikiatri dan neurologi adalah kelompok obat kedua tertinggi yang terlibat dalam hepatotoksisitas, setelah obat antibiotik.  Gagal Liver terjadi ketika sebagian besar dari liver mengalami kerusakan dan tidak lagi dapat berfungsi. Drug Induce Liver Injury (DILI) adalah penyebab penyakit liver ke empat tertinggi di negara-negara Barat. Insiden DILI adalah antara 1/10.000 dan 1/100.000 pasien setiap tahun.

Faktor risiko Drug Induced Liver Injury (DILI) di antaranya, Usia (pasien lansia biasanya lebih berisiko tinggi karena penurunan fungsi 
hati yang berkaitan dengan usia), jenis kelamin (wanita berisiko tinggi). konsumsi alkohol (alkohol menginduksi terjadinya kerusakan hati dan 
berkurangnya simpanan glutathione). Alkohol (etanol) merupakan pemicu terjadinya kerusakan hati. Alkohol meningkatkan produksi radikal bebas dalam sitokrom P450 mikrosomal yang mana radikal bebas ini dapat meningkatkan stres oksidatif sehingga merusak sel-sel hati, perbedaan genetik dalam aktivitas enzim CYP, dan komorbiditas tertentu (pasien yang didiagnosis dengan acquired immune deficiency syndrome (AIDS) atau mereka yang kurang gizi selain berkurangnya glutathione).

Hampir semua obat psikoterapika dimetabolisme di liver kecuali lithium, gabapentin, sulpiride dan amilsupiride yang mana memiliki kadar metabolisme hati yang minimal (atau tidak ada). Kebanyakan obat berikatan kuat dengan protein (kecuali citalopram, escitalopram, sulpiride dan amisulpride) dan terjadi peningkatan kadar plasma pada gangguan liver. Penggunaan obat dengan first-pass clearance yang tinggi seperti imipramine, amitryptiline, despiramine, doxepin dan haloperidol memerlukan dosis awal yang rendah manakala golongan obat fenotiazin (chlorpromazine), hydrazine dan MAOIs (kemungkinan menyebabkan hepatotoksik) harus dihindari.

Pemeriksaan fungsi liver tidak selalu dijadikan marker untuk gangguan metabolik hepar sehingga presentasI klinis juga perlu dipertimbangkan.   

Farmakokinetik

Fase Absorpsi merupakan fase penyerapan obat pada tempat masuknya obat. Selain itu faktor absorpsi ini akan mempengaruhi jumlah obat yang harus diminum dan kecepatan perjalanan obat didalam tubuh. Biasanya, absorbsi obat pada pasien dengan sirosis tidak berubah meskipun angka tersebut dapat diturunkan. Pada pasien dengan penyakit kolestatik, aliran empedu dari liver ke duodenum terganggu.

Efektivitas obat lipofilik yang bergantung pada aktivitas garam empedu untuk penyerapan (misalnya siklosporin) dapat berkurang selain dapat menurunkan konsentrasi plasma obat. Fase Distribusi merupakan fase penyebaran atau distribusi obat dalam jaringan tubuh. Faktor distribusi ini dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk obat yang digunakan, komposisi jaringan tubuh, distribusi obat dalam cairan atau jaringan tubuh, ikatan dengan protein plasma dan jaringan.

Pada penyakit liver stadium akhir, sebagian besar darah di vena portal keluar dari hati dan mengalir langsung ke sirkulasi sistemik (melalui portosystemic shunt). Proses ini disebabkan oleh shunt intra-dan ekstra-hepatik yang dapat terjadi pada pasien-pasien ini. Therapeutic shunts (bedah dan angiografi) juga dapat digunakan untuk mengurangi hipertensi portal.

Shunt ini dapat mempengaruhi metabolisme lintas-pertama (first-pass metabolisme) dengan mengurangi perfusi hati. Dalam kasus ini, lebih sedikit obat yang melewati hati sebelum distribusi sistemik. Akibatnya, terjadi peningkatan konsentrasi obat dalam darah. Efek ini sangat penting untuk obat-obatan dengan metabolisme lintasan pertama yang ekstensif. Farmakokinetik obat psikotropika lain seperti diazepam dan paroxetine tidak dipengaruhi oleh metabolisme lintas pertama dengan afinitas yang lebih sedikit untuk enzim hati.

Meskipun olanzapine memiliki metabolisme lintas pertama yang bagus, sebagian besar dimetabolisme oleh proses metabolisme hati fase kedua (disimpan dalam penyakit hati), jadi mungkin ini bukan faktor penting untuk obat ini. Fase biotransformasi, fase ini dikenal juga dengan metabolisme obat, dimana terjadi proses perubahan struktur kimia obat yang dapat terjadi didalam tubuh dan dikatalisis olen enzim. Hepar merupakan tempat utama proses metabolisme obat. Beberapa obat psikotropika bersifat larut air dan langsung diekskresikan oleh ginjal seperti litium, gabapentin, dan topiramat.

Namun, semua obat psikotropika lainnya bersifat larut lemak dan harus dimetabolisme di hati yang mana obat-obat tersebut akan menjalani proses detoksifikasi dimana tubuh mengubah obat-obat yang larut dalam lemak secara farmakologis menjadi metabolit hidrofilik yang tidak aktif, yang kemudian dapat diekskresikan oleh ginjal. Kadang-kadang, enzim metabolik juga diperlukan untuk mengkonversi pro-drug ke komponen yang aktif.

Reaksi metabolik yang terjadi di hati dapat terjadi dalam dua fase utama yaitu fase I dan fase II. Reaksi fase 1 terjadi di retikulum endoplasmik halus, sitosol, dan mitokondria. Jalur fase I adalah reaksi metabolik yang dikatalisis oleh superfamili sitokrom P450 (CYP) yang terletak di retikulum endoplasma. Setiap isoenzim CYP bervariasi dalam hal ekspresi dan spesifitas substrat. Pada metabolisme fase 1, enzim sitokrom P-450 (monooxygenases) bertanggung jawab untuk menghidrolisis, mengoksidasi dan mereduksi molekul untuk menghasilkan senyawa yang lebih hidrofilik.

Biasanya, reaksi ini menurunkan aktivitas farmakologi substrat, namun kadang-kadang obat-obatan ini dimetabolisme menjadi metabolit aktif seperti benzodiazepin (diazepam, chlordiazepoxide), antidepresan trisiklik (amitriptyline dan imipramine) dan antipsikotik (klorpromazin, thioridazine, risperidone).

Dalam retikulum endoplasma, elektron akan ditransfer dari NADPH ke dalam sitokrom P450 membentuk NADPH- sitokrom P450 yang bersama sitokrom P450 berinteraksi melakukan oksidasi. Siklus oksidasi tersebut memerlukan sitokrom P450, sitokrom P450 reduktase, NADPH, dan molekul oksigen. Hasil proses ini menghasilkan substrat teroksidasi, namun apabila proses ini terganggu akan terbentuk anion superoksida atau hidrogen peroksida yang bersifat toksin yang jika molekul reaktif ini tidak dimetabolisme lebih lanjut pada Fase II, molekul ini akan menyebabkan kerusakan pada protein, RNA, dan DNA sel. Pada fase II, enzim hati seperti glucoronyl transferase, N-acetyl transferase dan gluthathione-S-transferases yang terletak retikulum endoplasmik dan sitososl bertanggung jawab untuk menkonjugasi obat dengan molekul endogen, seperti asam glukuronat, sulfat, asam amino, asetat atau glutathione.

Proses ini menjadikan molekulnya lebih hidrofilik sehingga obat dapat diekskresi dan dalam sebagian besar kasus, ia mengeliminasi semua aktivitas farmakologi obat. Asam glukuronat yang terkonjugasi (glucoronidation) biasanya dipertahankan pada penyakit hati yang mana ia bermanfaat untuk pemilihan obat psikiatri yang hanya membutuhkan glukuronidasi (dan tidak memerlukan reaksi fase I), yang terjadi pada temazepam, oxazepam, dan lorazepam. Olanzapine juga membutuhkan hampir hanya glucuronidation dalam metabolismenya. Fase eliminasi merupakan proses pengeluaran metabolit yang merupakan hasil dari biotransformasi melalui berbagai organ ekskresi. Kecepatan ekskresi ini akan mempengaruhi kecepatan eliminasi atau pengulangan efek obat dalam tubuh. 

Pertimbangkan alternatif lain rute eliminasi termasuk ekskresi empedu, sirkulasi enterohepatik, dan ekskresi ginjal. Jika pasien datang dengan penyakit kolestatik, obat yang dieliminasi melalui ekskresi bilier (misalnya hydroxyzine) atau daur ulang melalui sirkulasi enterohepatik harus dihindari. Meskipun diyakini bahwa obat yang larut dalam air, seperti lithium, aman digunakan pada pasien penyakit hati, ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan.

Tidak mudah untuk mempertahankan kadar obat dalam serum seperti lithium dengan perubahan status cairan yang dapat terjadi pada pasien dengan gangguan hati. Perubahan ini dapat disebabkan oleh hemodinamik ginjal yang abnormal (yang sering terjadi pada pasien penyakit hati) tetapi bisa juga terjadi pada perubahan status cairan yang mendadak yang dapat terjadi karena beberapa prosedur terapeutik (seperti paracentesis, diuresis ekstrim, atau diare yang diinduksi dalam pengobatan ensefalopati hati).

Jika volume total cairan tubuh tiba-tiba berkurang, dosis obat terapeutik biasa dapat menjadi sangat beracun. Oleh karena itu, ketika menggunakan jenis obat ini (seperti lithium) pada pasien dengan sirosis, koordinasi yang ketat adalah wajib antara spesialis medis yang berbeda yang membantu pasien. 

Farmakodinamik

Farmakodinamik merupakan bagian ilmu farmakologi yang mempelajari efek-efek obat terhadap fungsi berbagai organ, pengaruh obat terhadap reaksi biokimia dan struktur obat meliputi mekanisme kerja obat, reseptor obat dan transmisi sinyal biologi.

Efek obat yang dimaksudkan terbagi kepada dua yaitu efek utama dan efek samping. Pasien dengan disfungsi hati lebih sensitif terhadap efek terapi dan efek samping obat. Secara khusus, efek obat anti-depresan pada sistem saraf pusat, seperti benzodiazepin dan opioid, terlepas dari rute metabolisme (fase I atau II).

Penggunaan setiap benzodiazepin dapat menginduksi ensefalopati, yang dapat dibalikkan dengan antagonis benzodiazepin. Dengan demikian, penggunaan benzodiazepine perlu diperhatikan, khususnya obat yang memiliki usia paruh yang panjang dan yang dimetabolisme oleh reaksi fase I (misalnya diazepam), terutama pada pasien dengan penyakit hati yang memburuk. Sebelum meresepkan obat yang berpotensi hepatotoksik, lakukan pemeriksaan fungsi hati. Selama terapi diberikan, disarankan melakukan pemantauan fungsi hati secara berkala. 

Peningkatan konsentrasi transaminase (>3x dari batas atas normal), bilirubin (>2x dari batas atas normal), dan panjangnya waktu prothrombin adalah indikator liver injury. Obat harus diberikan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya polifarmasi beberapa obat hepatotoksik dan suplemen hepatotoksik yang bebas dijual. Ketika memilih psikotropika, pertimbangkan faktor-faktor khusus pasien, seperti penyakit hati yang mendasari dan konsumsi alkohol.

Pasien yang berpotensi besar mendapatkan obat hepatotoksik harus dikonseling supaya dapat mengenali dan melaporkan gejala disfungsi hati, termasuk mual, muntah, sakit kuning, dan edema ekstremitas bawah. Jika liver injury terjadi, modifikasi terapi dengan agen yang berpotensi menaikkan fungsi hati dan periksa fungsi hati secara berkala.      


Referensi:
  1. Correia DT, Barbosa A, Pinto HC, Campos C, Rocha NBF, Machado S. Psychotropic drugs and liver disease: A critical review of pharmacokinetics and liver toxicity. World Journal Gastrointestinal Pharmacology Therapy. 2017 Feb 6; 8(1): 26-38
  2. David S, Roger S. Oxford Handbook Of Psychiatry. 3rd rev. ed. Oxford University Press, Great Clarendon Street, Oxford, OX2 6DP United Kingdom: Oxford Medical Publication; 2013. 974-975 p.

Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaAsam Urat Dalam Program Kekebalan Maladaptive

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar