Pro dan Kontra Penggunaan Kortikosteroid pada Pasien Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi tertua. Sepanjang peradaban manusia dan sampai saat ini, masih menjadi masalah kesehatan yang memilki inisiden tertinggi. Indonesia termasuk dalam delapan negara yang menyumbang 2/3 kasus TBC di seluruh dunia, menempati posisi kedua setelah India dengan kasus sebanyak 845.000 dengan kematian sebanyak 90.000 atau setara dengan 11 kematian/ jam.
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis (MTB), yang dapat menular dari individu yang satu ke yang lainnya, melalui perantara droplet. Pada umumnya kasus yang sering dijumpai dalam praktik klinis adalah tuberkulosis paru, dalam arti MTB menyerang dan akhirnya berreplikasi di paru-paru manusia.
Namun, bakteri MTB ini juga dapat menyerang organ lain, seperti limfa, tulang belakang dll, yang kemudian disebut sebagai TB ekstra paru. Pasien yang terinfeksi kuman MTB ini, melalui serangkaian mekanisme mulai dari dihirupnya droplet yang mengandung MTB, kemudian berhadapan dengan sel imun sebagai antibody tubuh untuk melawan kuman, hingga terjadi fagolisosom kuman sebanyak mungkin.
Namun dalam beberapa kondisi, terdapat bakteri yang mampu menurunkan efek bakterisidal yang tinggi, sehingga kekuatan imun tubuh tidak mampu memfagositnya, sehingga kuman tersebut tetap berada dalam organ target yaitu paru-paru, kemudian bereplikasi sebanyak mungkin. Sel-sel APC yang memiliki tugas untuk mengenali dan mengelolah imunogen, yang akan diserahkan ke sel-sel yang berperan dalam respon imun adaptif. Dalam hal ini, sel imun adaptif untuk kuman MTB adalah CD 8 dan Th 1.
Sehingga, mampu membentuk respon inflamasi yang dapat mensekresikan sitokin-sitokin yaitu IL-1, IL-6, IL-12, TNF alfa dan INF- gamma. Sitokin tersebutlah yang nantinya akan mengeliminasi bakteri. Reaksi antara sitokin dan bakteri memberi sinyal ke Limfosit dan Neutrofil, lalu mengurung kuman TB sehingga terbentuk granuloma. Granumola ini kian hari kian rapuh, sehingga dalam waktu yang tidak tentu dapat saja pecah dan isi dari granuloma tersebut terdapat kuman MTB yang mati oleh respon inflamasi dan ada pula kuman MTB yang dormant, sehingga dalam gambaran radiologis dapat divisualisasikan kavitas sebagai tanda utama TB aktif.
Secara umum, gejala klinis yang ditimbulkan oleh kuman MTB ini, secara umum adanya batuk berdahak > 2 minggu, dan disertai dengan gejala tamabahan seperti batuk darah, sesak napas, badan lemas, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan yang tidak disengaja, malaise, berkeringat di malam hari tanpa aktivitas, dan nyeri dada.
Dari gejala klinis tersebut yang perlangsungannya kronik, menetap sepanjang kuman MTB masih berada pada organ target, dan jika tidak ditangani secara maksimal maka akan bermanifestasi menjadi penyakit lainnya, seperti efusi pleura, pneumothoraks, empyema, dan tumor. Dengan gejala yang menganggu aktivitas serta komplikasi yang berisiko besar terjadi, dapat menyebabkan peningkatan mortalitas terhadap pasien TB. Sehingga, pada tinglat Global Membuat penyakit tuberkulosis menjadi perhatian.
Pada tahun 2016, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United nations (UN) mencanangkan Sustainable Development Goals (SDG), termasuk di dalamnya adalah Global TB target untuk priode 2016-2035. Target SDG nomor 3.3 adalah mengakhiri epidemic salah satunya yaitu Tuberkulosis. Sebagai terapi defenitif dari tuberkulosis adalah dengan regimen OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang diberikan berdasarkan berat badan pasien, selama 6 bulan yang terbagi atas tahap intensif dan tahap lanjutan, masing-masing 2 bulan dan selanjutnya 4 bulan.
Selain OAT yang menjadi terapi untuk Tuberkulosis ini, dalam praktik klinis, dan ditunjang dalam beberapa literature menggunakan kortikosteroid sebagai salah satu obat pilihan dalam penanganan tuberkulosis. Penggunaan kortikosteroid ini, menghadirkan pro dan kontra oleh berbagai macam rasionalisasi.
Kortikosteroid Sebagai Terapi Tambahan
Dalam jurnal yang dipublikasikan oleh Health and Human Services, Charlotte Schutz, bersama penulis lainnya. Menuliskan bahwa sejauh pengalaman klinis dari terapi inflamasi untuk tuberkulosis adalah kortikosteroid. Terapi tambahan yang dimaksud sebagai upaya dalam menambah kekebalan dan mempercepat pembersihan kuman MTB dan mengurangi peradagan yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
Menurut hemat penulis, kortikosteroid memilki efek antiinflamasi dan imunosupresif yang kuat dan merupakan salah satu obat yang paling umum digunakan untuk mengendalikan peradangan dalam berbagai kondisi, termasuk infeksi dan penyakit autoimun. Lebih dari 50 uji klinis telah dilakukan untuk mengevaluasi efek kortikosteroid pada TB paru dan TB ekstra paru, dan meta analisis pada 41 uji klinis menemukan bahwa kortikosteroid secara signifikan mengurangi angka kematian.
Mekanisme dari kortikosteroid sebagai terapi tambahan untuk penyakit tuberkulosis, di mana peran kortikosteroid ini sebagai efek antiinflamasi. Sesuai dengan mekanisme dasar terjadinya penyakit ini oleh karena respon inflamasi reaksi antara antigen dan antibodi dari tubuh yang terinfeksi. Dalam study yang secara signifikan mempelajari molecular and cellular action of tuberculosis.
Terdapat mekanisme dasar yang menghambat sinyal inflamasi, di antaranya: (1) Regulasi pada ekspresi gen melalui interaksi dengan glucocorticoid-responsive element (GRE). Regulasi dimulai saat kortikosteroid berikatan dengan glukokortikoid reseptor (GR), sehingga dapat mengubah ekspresi gen dan pelepasan dari heat-shock protein 90 complex. Kondisi ini memungkinkan Steroid-GR complex untuk mentranslokasi ke nucleus di mana terjadi pengikatan dari GRE, selanjutnya Co-activator dan Co-repressors direkrut.
Dari semua molekul Co-activator yang telah ada memilki aktivitas intrinsic histine acetyltransferase dan memodifikasi struktur kromatin untuk menginisiasi transkripsi dari anti-inflamasi seperti annexin-1, IL-10 dan IxB-a (inhibitor Nf-xB); (2) Menghambat aktivitas dari NF- xB, sehingga transkripsi dari sitokin dan kemokin tidak terjadi. Diketahui bahwa NF-xB ini adalah faktor transkrip yang berperan dalam respon selular terhadap rangsangan, memainkan peran kunci dalam mengatur respon imun terhadap infeksi. Sebaliknya, mekanisme dari Co-repressors belum banyak diketahui, namun berdasarkan laporan yang ada bahwa steroid-GR complex dapat berinteraksi dengan negative-GRE untuk menekan transkripsi gen yang berhubungan dengan hypothalamic-pituitary-adrenal yang memilki fungsi respon inflamasi.
Selanjutnya, Korticosteroid-GR complex dapat juga berinteraksi langsung dengan NF-xB, Ap-1 dan immunodulator lainnya, secara signifikan dapat menghambat aktivitas inflamasi. Dengan demikian inhibisi transkripsi dapat beragam dari mediator inflamasi termasuk, cytokines, chemokine, adhesion molecules and eicosanoids.(3) kortikosteroid melalui reseptor signal selular dan second messenger menghambat cascade apoptosis sel, serta meingkatkan fagositosis sel.
Namun, menurut Bilacerouglu S, Perim K, Buyuksirin M,Clikten E. dalam penelitinnya prednisolone: a beneficial and safe adjuct to antituberculosis treatment? A randomized controlled trial. Menerangkan bahwa, pada penyakit tuberkulosis dengan penggunaan kortikosteroid, dalam beberapa bukti terdapat perbaikan dalam parameter klinis seperti penurunanan demam, peningkatan berat badan, durasi rawat inap yang lebih pendek, hasil ini didasarkan atas temuan studi tunggal.
Dengan ini, belum ada bukti penemuan yang kuat yang menunjukkan penurunan mortalitas atau perbaikan hasil mikrobiologis atau klinis yang berkelanjutan ketika dibandingkan antara pemberian obat tambahan kortikosteroid dan/atau tanpa kortikosteroid, dalam hal ini pada pasien hanya diberikan terapi defenitif yaitu Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Berdasarkan hal di atas, pemberian terapi OAT dengan/atau tanpa kortikosteroid dalam beberapa penelitian, menemukan bahwa dengan pemberian kortikosteroid pada pasien TB akan memberikan interaksi terhadap OAT. Seperti, konsentrasi isoniazid dapat berkurang oleh obat prednisolone, melalui dua mekanisme yaitu: a) peningkatan laju asetilasi dan b) meingkatkan pengosongan ginjal.
Dari mekanisme tersebut, juga ditegaskan dalam penelitian The effects of steroid teraphy on pulmonary tuberculosis bahwa dengan pemberian kortikosteroid tanpa pertimbangan klinis sangat memungkinkan terjadinya kasus relaps dan menyebabkan resitensi isoniazid. Namun, rifampisin meningkatkan metabolisme steroid dan menurunkan paruh waktu kerja dengan menginduksi enzim hati. Oleh karena itu, boleh saja diberikan kortikosteroid namun diberikan rifampisin + isoniazid secara bersamaan.
Dalam beberapa keadaan rifampisin tidak lagi diberikan sebagai OAT karena efek samping yang tidak mampu ditoleransi oleh pasien, maka akan menjadi catatan dalam pemberian kortikosteroid. Selain itu, hal yang harus terpantau dari pasien dengan memberikan kortikosteroid sebagai obat tambahan adalah control gejala sistemik yang bisa saja muncul oleh karena efek dari kortikosteroidnya. Dalam penelitian corticosteroid for tuberculosis pleurity, Ryan H mengatakan bahwa pemberian kortikosteroid dapat memicu nyeri epigastrium, hipertensi dan hiperglikemia.
Oleh karena itu, penggunaan kortikosteroid sebagai obat tambahan untuk tuberkulosis seharusnya berdasarkan dari kondisi klinis pasien dan perlu kehati-hatian oleh karena interaksi dengan OAT yang belum ada bukti kuat, Secara penelitian belum memadai pula sebagai referensi mutlak penggunaan kortikosteroid terkait tidak adanya gangguan terhadap interaksi OAT tersebut. Selanjutnya, pemantauan kondisi pasien terus harus dilakukan karena memungkinkan dengan kortikosteroid pula dapat menimbulkan komplikasi seperti efusi pleura.
Referensi:
-
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2021. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
-
Charlotte Schutz, Angharad G Davis, Bianca Sossen. Dkk. 2019. Cortikosteroids As an Adjunct to Tuberculosis Therapy. HHS Public Access.
Log in untuk komentar