sejawat indonesia

Distribusi Jumlah Dokter di Indonesia Bukan Sebatas Persoalan Kesehatan

Mengurai persoalan yang terjadi dengan profesi dokter saat ini di Indonesia, tidak melulu terkait dengan pelayanan kesehatan secara umum. Bahkan, cenderung terpisah. Profesi dokter di Indonesia memiliki persoalan dan pelayanan kesehatan adalah persoalan lain. Selama ini, ketika berbicara terkait persoalan profesi dokter, pemerintah sebagai pembuat kebijakan kerap berkutat di hitung-hitungan rasio jumlah dokter dan jumlah penduduk. Padahal, persoalan yang jauh lebih penting dan memiliki efek yang jauh lebih besar bukanlah pemenuhan tingkat rasio tersebut. World Health Organization (WHO) menetapkan standar rasio dokter dan jumlah penduduk sebesar 1:2500, satu dokter melayani 2500 penduduk. Standar tersebut selama ini seperti ‘ditelan mentah-mentah’ tanpa mempertimbangkan berbagai variabel di indonesia: terutama soal geografi dan demografi wilayah Indonesia. Sehingga, kebijakan yang terkait penerimaan profesi dokter, terkesan untuk memenuhi tingkat rasio tersebut. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya Fakultas Kedokteran yang seolah dipaksakan untuk dibuka. Dalam jangka waktu antara 2008 dan 2010, hanya dalam rentang waktu 2 tahun, terdapat 20 fakultas kedokteran baru yang berdiri. Setelah menuai kritik, terbitlah moratorium (penangguhan) pembentukan FK. Namun, pada September 2017, pemerintah secara resmi telah mencabut moratorium tersbut. Alasan pencabutan itu karena adanya peningkatan akreditasi dari dari delapan kampus C menjadi B. Saat ini, jumlah Fakultas Kedokteran (FK) di Indonesia sebanyak 86, terdapat 75 di antaranya sudah menghasilkan lulusan dokter dan 11 lainnya yang belum. Persentase akreditasi menjadi 20 FK terakreditasi A, 44 FK terakreditasi B, 22 FK terakreditasi C dan akreditasi minimal. Efeknya, rasio jumlah dokter dan jumlah penduduk mampu melampaui standar WHO, yaitu sebesar 1:2000. Namun, angka tersebut akan mengurai masalahnya sendiri ketika dilihat lebih jauh dengan pembagian jumlah dokter dan jumlah penduduk pada tingkatan provinsi yang ada di Indonesia. Ketimpangannya akan terlihat jelas dan itu belum termasuk ketika kita berbicara mengenai kualitas dokter yang ada di Indonesia. Distribusi Dokter Pemerintah memiliki kepentingan dalam memastikan kesetaraan dan meningkatkan status kesehatan di semua wilayah Indonesia. Terutama di daerah terpencil, perbatasan, dan pulau yang sampai sekarang belum terlayani dengan baik. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) 2005-2025, dinyatakan bahwa pembangunan sektor kesehatan nasional di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi semua orang sehingga tingkat kesehatan tertinggi dapat terwujud. Rencana tersebut terbilang masih jauh jika melihat data yang diperoleh dari BPPSDMK pada tahun ini. Ketimpangan distribusi tenaga kesehatan dapat dilihat dari rasio dokter di wilayah DKI Jakarta sebesar 65 per 100.000 penduduk sementara di Jawa Barat dan Banten 11 per 100.000 penduduk. Disparitas juga terlihat di provinsi Sulawesi Barat dengan 12 per 100.000 penduduk dan diikuti oleh Maluku dan Timur Nusa Tenggara (NTT) sebanyak 14 per 100.000 penduduk. Ketersediaan dokter antar provinsi menunjukkan variabilitas yang sangat luas. Provinsi Sulawesi Barat, misalnya, memiliki setidaknya 266 dokter. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat jumlah dokter mencapai 14.108 dokter. Jumlah dokter juga terkait populasi, kepadatan, jumlah rumah sakit dan jumlah dari Pusat Kesehatan Masyarakat. Kondisi ini adalah dampak kebijakan layanan kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hingga 2014 kebijakan tentang Pusat Kesehatan Masyarakat diatur dengan rasio standar per 30.000 penghuni. Karena perkembangan progresif dari Pusat Kesehatan Masyarakat baru pada tahun 2014, rasio Pusat Kesehatan Masyarakat diubah menjadi per distrik. Sehingga, meskipun kuota untuk jumlah dokter di Indonesia melebihi kuota, masih ada lebih dari 700 Pusat Kesehatan Masyarakat yang kekurangan dokter. Ini karena distribusi sumber daya manusia yang tidak merata, secara umum terakumulasi hanya di Jawa-Bali. Di level individu (level mikro), dari berbagai hasil penelitian, ditemukan bahwa distribusi dokter dipengaruhi oleh populasi dalam suatu daerah. Kesenjangan dalam distribusi dokter di Wilayah India dan Cina, misalnya, juga ditemukan sejalan dengan peningkatan indeks Gini. Sedikit berbeda dengan temuan tersebut, studi di Lebanon mengungkap bahwa dokter kurang berminat kepada layanan perawatan primer (Pusat Kesehatan Masyarakat). Dokter di Lebanon lebih senang melakukan praktik secara mandiri di daerah perkotaan. Setidaknya, ada lima masalah utama yang menyebabkannya: pemahaman konsep yang rendah, lingkup pekerjaan dalam layanan primer, rekrutmen masalah, masalah dengan retensi dokter rendah dan tantangan yang dihadapi oleh dokter yang bekerja di daerah terpencil dan terbelakang, serta peran pembuat kebijakan mereka Retensi dokter terutama mereka yang bekerja di layanan primer, memiliki penghasilan yang rendah. Sistem kapitasi yang digunakan sebagai dasar pembayaran pelayanan medis menyulitkan bagi dokter yang bekerja di daerah terpencil, terutama dengan geografis dan kondisi demografis. Lingkungan kerja yang sulit dan tidak menjamin kehidupan sosial juga adalah hambatan lain. Sejalan dengan berbagai temuan tersebut, mengambil contoh Wilayah Indonesia Timur, daerah yang didominasi area pedesaan, fasilitas yang tidak memadai, dan area dengan kepadatan penduduk yang rendah, mampu memberi penjelasan bagi keengganan dokter dan petugas kesehatan lainnya untuk memberi layanan kesehatan secara tetap di wilayah tersebut. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan redistribusi penempatan medis di Indonesia. Kebijakan untuk menarik dan mempertahankan dokter di daerah bisa dalam bentuk hadiah yang lebih menjanjikan, baik material maupun non-material. Misalnya, menjamin kemudahan sekolah spesialis untuk dokter yang bertugas di daerah tersebut. * Upaya untuk mencapai kesetaraan kesehatan, terutama bagi mereka yang dianggap rentan dan dirugikan kini menjadi fokus di berbagai negara. Tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah memastikan bahwa orang yang hidup di pinggiran, daerah terbelakang, dan terpencil juga harus memiliki akses ke layanan kesehatan kepada petugas kesehatan yang kompeten atau fasilitas perawatan kesehatan yang memadai. Sebab, ketimpangan kesehatan, terutama ketersediaan dokter, sesungguhnya lebih dari persoalan pemenuhan akses masyarakat ke fasilitas perawatan kesehatan. Distribusi dokter (dalam kasus di Indonesia) adalah upaya memenuhi persamaan hak untuk setiap warga negara. Satu upaya pemenuhan norma-norma keadilan dan hak asasi manusia—sesuatu yang tentu lebih penting dari apapun.
Sumber:
  1. Inequality trends in the demographic and geographic distribution of health care professionals in China: Data from 2002 to 2016.
  2. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia 
  3. Policy Review on Health Services in Primary Health Center in the Border and Remote Area
  4. Kementerian Kesehatan RI. (2019) Profil Kesehatan Indonesia tahun 2018.
  5. Distribution Analysis of Doctors in Indonesia
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPenjelasan Baru mengenai Sistem Penglihatan Manusia

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar