sejawat indonesia

Penjelasan Baru mengenai Sistem Penglihatan Manusia

Satu penelitian dari York University, Kanada, memberi kritik terhadap teori lama tentang sistem penglihatan manusia dalam memproses gambar. Sebuah tim yang dipimpin oleh John Tsotsos, menemukan bahwa otak manusia tidak memilih bagian yang menarik dari gambar untuk diproses secara istimewa, seperti dalam teori Donald Broadbent yang sangat berpengaruh pada tahun 1958. Bagi Broadbent, bagian gambar yang menarik adalah yang memiliki relevansi dengan alasan kita melihat satu hal lebih dulu, atau item baru yang segera menarik perhatian. Teori Seleksi Dini (Theory of Early Selection) Broadbent memiliki padanan modern dalam Saliency Map Theory Christof Koch dan Shimon Ullman (diterbitkan pada tahun 1985), teori tersebut mengklaim bahwa daerah-daerah yang menarik ini diproses oleh otak satu per satu, sesuai dengan tingkat salience (daya tarik) mereka, yang merupakan skor numerik seberapa menarik suatu bagian. Sekarang, ada ratusan algoritma salience yang berakar pada karya Koch dan Ullman untuk mencapai peringkat seperti itu. Namun, tim Tsotsos juga menemukan bahwa salience tidak diperlukan sama sekali untuk melakukan proses sederhana dan secara cepat memutuskan apa yang ditampilkan oleh gambar. Selain itu, belum ada algoritma saat ini dalam kecerdasan buatan (AI) yang mampu melakukan tugas serupa dengan sangat baik. Di sisi lain, perhitungan salience memang memainkan peran utama dalam menentukan di mana manusia menggerakkan mata mereka, dan itu adalah gerakan mata yang memilih bagian-bagian dari sebuah tampilan untuk diproses lebih lanjut. "Studi kami ini bertujuan mengurai lebih jauh mengenai proses penglihatan dan menguji algoritma saat ini yang menghitung ukuran salience dan mengajukan pertanyaan 'apakah algoritma tersebut bekerja pada tingkat yang sama dengan yang dilakukan manusia pada berbagai gambar?’ Misalnya, jika tugasnya adalah menentukan apakah ada kucing dalam satu frame, apakah algoritma saliency memilih kucing dengan benar? Studi ini menunjukkan bahwa algoritma ini masih jauh dari kemampuan manusia," kata Tsotsos. Untuk menguji lebih lanjut algoritma yang ada, tim melakukan percobaan tambahan dengan 17 subjek berusia 25 hingga 34 tahun. Dalam salah satu percobaan yang direplikasi, peserta diperlihatkan 2000 gambar berwarna. Subjek tidak terbiasa dengan gambar dan hanya sekali melihat setiap gambar dengan dan tanpa hewan. Gambar-gambar itu kemudian dimanipulasi sedemikian rupa sehingga hanya bagian paling sentral dari retina yang memiliki resolusi tertinggi yang akan melihat apa yang ada dalam gambar dan tidak melihat apa pun di bagian tepi. Peserta diminta untuk melihat bagian tengah setiap foto selama 20 detik sebelum berganti. Para peserta dapat mengidentifikasi dengan benar apakah ada binatang dalam gambar atau tidak. Tsotsos mengatakan temuan ini memiliki konsekuensi penting bagi pemahaman kita tentang penglihatan manusia dan pemrosesan visual manusia terutama untuk mendiagnosis patologi penglihatan, seperti aspek autisme. "Ketika Anda ingin mendiagnosis masalah dalam penglihatan, Anda mendasarkan pada bagaimana sistem pemrosesan visual yang sehat bekerja. Apa yang telah kami lakukan dengan penelitian ini menambah kepingan puzzle terkait bagaimana penglihatan yang sehat bekerja, kemudian akan mengubah cara Anda membandingkan anomali dalam sistem penglihatan agar dapat mendiagnosisnya." Tsotsos menambahkan bahwa potongan puzzle ini juga dapat berguna dalam membangun model baru dan meningkatkan model saat ini untuk aplikasi mengemudi atau keamanan yang terautomasi. Kekacauan Visual dalam Sistem Penglihatan Manusia Dalam penelitian lain, Ilmuwan saraf Georgetown University mengatakan bahwa mereka telah mengidentifikasi bagaimana kita dapat memiliki "kekacauan dalam pemrosesan visual"--hambatan sinyal umpan maju (feedforward) dan umpan balik (feedback) yang dapat menyebabkan kita tidak menyadari rangsangan yang dikenali oleh otak kita. Dalam Journal of Vision, para peneliti menggambarkan apa yang bisa terjadi ketika otak diminta untuk memproses lebih banyak informasi daripada yang bisa ditangani. Kekacauan terjadi ketika neuron sibuk memproses satu gambar, lalu ditugaskan lagi untuk memproses informasi yang lain dengan terlalu cepat, dan kemudian salah satu atau kedua gambar tidak ditanggapi dengan kesadaran sempurna. "Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa orang-orang cenderung buruk dalam mendeteksi objek yang menarik yang muncul dalam waktu yang berdekatan, meskipun otak manusia dapat memproses hingga 70 gambar per detik," kata peneliti senior studi tersebut, Maximilian Riesenhuber, PhD, seorang profesor ilmu saraf di Georgetown University Medical Center. "Penelitian kami menunjukkan batasan spesifik dari sistem visual dan menjelaskan mengapa kesadaran kita tidak dapat mengikuti. Ketika seseorang mengatakan kepada Anda bahwa mereka tidak melihat sesuatu yang terjadi dalam situasi kacau, mungkin mereka melakukannya, tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka melakukannya." Studi ini memberikan bukti untuk teori bahwa bottleneck dapat terjadi di jalur neuronal yang menerima rangsangan visual. Jalur itu dimulai di bagian belakang otak dan meluas ke depan, dengan cepat memproses sinyal visual hingga ke korteks frontal (umpan maju), dan kemudian mengirimkannya kembali ke area yang pertama kali rangsangan tersebut diproses (umpan balik). "Gelombang umpan balik tampaknya penting bagi peserta untuk benar-benar menjadi sadar akan rangsangan yang telah diproses otak mereka dalam umpan maju (feedforward)," jelas Riesenhuber. Studi ini mencakup serangkaian percobaan EEG di mana peserta melihat gambar pemandangan alam mengalir kepada mereka dalam ledakan singkat pada tingkat 12 per detik, dan menjawab berapa banyak frame dengan gambar hewan, dan juga hewan apa itu. Kekacauan dalam pemrosesan visual terjadi ketika bagian belakang otak dirangsang lagi dengan gambar kedua sebelum umpan maju dan loop umpan balik yang diperlukan untuk gambar pertama selesai, Riesenhuber menjelaskan. Para peneliti mengatakan kesimpulan mereka tidak hanya relevan dengan bagaimana, kapan, dan di mana batas kapasitas dalam kemampuan pemrosesan otak dapat muncul, tetapi juga memiliki konsekuensi yang mencakup kesadaran dalam belajar dan memperhatikan. "Selain memperkenalkan teori yang menjelaskan alasan yang mendasari kurangnya kesadaran, penelitian kami juga menunjukkan bagaimana cara menghindari sinyal neuron 'crash' dan meningkatkan kewaspadaan," jelas penulis utama studi tersebut, Jacob G. Martin, PhD. "Ketika kami secara eksperimental mengurangi gangguan antara bagian umpan ke depan dan umpan balik dari dua rangsangan, kami mengamati peningkatan kinerja deteksi dan kategorisasi." "Temuan seperti itu menarik karena bisa mengarah pada metode baru untuk mempercepat proses kognitif dan pembelajaran pada manusia," tambahnya.
Sumber:
  1. PLOS ONE, 2019; 14 (10): e0224306 DOI: 10.1371/journal.pone.0224306
  2. Journal of Vision, 2019 DOI: 10.1167/19.12.20
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaTemuan Vaksin Baru dan Deteksi Dini Gangguan Sistem Pernapasan

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar