sejawat indonesia

Fakta Baru, Pemanasan Global Ternyata Pengaruhi Kualitas Tidur

Sudah menjadi fakta di dunia medis bahwa kurang tidur membawa dampak yang tak main-main. Berbagai studi yang dilakukan sudah berulang kali membuktikan hal tersebut. Mulai dari penurunan kinerja kekebalan tubuh, memburuknya kardiovaskular, hingga kesehatan mental yang terganggu.

Belakangan, mencuat pula dugaan bahwa cuaca hangat bisa memengaruhi waktu tidur. Tapi, dalam jurnal penelitian selama lima tahun terakhir yang coba mengungkapnya, banyak pihak berpendapat bahwa hasilnya mungkin kurang dapat diandalkan karena dasar penelitian mereka bertumpu pada memori alih-alih mengukur secara objektif.

Hingga akhirnya penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan University of Copenhagen Denmark mulai menguatkan dugaan awal bahwa meningkatnya temperatur global mengurangi kualitas tidur seseorang. Hasil riset tersebut diterbitkan oleh jurnal ilmiah OneEarth pada 20 Mei 2022.

Nick Obradovich beserta kolega miliar memeriksa lebih dari 7 juta hasil observasi tidur harian berulang dari 47.628 orang dewasa di 68 negara di setiap benua (kecuali Antartika) dari tahun 2015 hingga 2017. Pengamatan ini termasuk durasi tidur malam hari ditambah beberapa faktor lain seperti sleep onset, midsleep dan offset. Data-data tersebut kemudian dibandingkan dengan catatan meteorologi, iklim dan geolokasi.

Hasilnya? Mereka menemukan bahwa peningkatan suhu malam hari memang mengurangi durasi tidur. Ini terlepas dari faktor lokasi, dan efeknya berbanding lurus dengan peningkatan suhu. Selain itu, turut tercatat bahwa kemungkinan tidur kurang dari 7 jam meningkat secara bertahap pada suhu 10 derajat Celcius. Dan saat suhu melebihi 10 derajat Celcius, kemungkinan tidur berkurang meningkat secara berlipat.

Selain itu, suhu yang lebih tinggi dari 25 derajat Celcius pada malam hari dikaitkan dengan “menghilangnya” rata-rata 14 menit waktu tidur per hari ketimbang mereka yang tidur pada suhu di bawah 10 derajat Celcius. Bagaimana dengan penduduk negara tropis atau khatulistiwa seperti Indonesia? Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa jam tidur mereka akan lebih banyak berkurang seiring meningkatnya suhu. Ini disebut sebagai bentuk “adaptasi yang terbatas.”


Baca Juga :

Sains Tidak Menyarankan Tidur dalam Keadaan Marah

Sinaps di Otak Menyusut Saat Tidur


Nick Obradovich dkk memperkirakan bahwa pada tahun 2099, suhu suboptimal dapat mengikis 50-58 jam tidur per orang setiap tahun, dengan perubahan iklim menghasilkan ketidaksetaraan dalam konteks geografis, seiring peningkatan emisi di masa depan cenderung berbeda antara negara-negara maju dan berkembang.

Lebih jauh, temuan mengkhawatirkan juga didapatkan pada kelompok umur lansia (65 tahun ke atas). Rupanya, peningkatan suhu cuma satu derajat Celcius bisa membawa dampak hingga dua kali lipat pada waktu tidur kelompok umur lain.

Selain itu, masih ada hal-hal lain yang diperoleh. Penduduk yang tinggal di negara-negara pemasukan terendah juga bisa tiga kali lebih rentan ketimbang mereka yang tinggal di middle income dan high income countries.

Perempuan bisa secara signifikan lebih terpengaruh daripada laki-laki. Mereka menulis bahwa ini mungkin terjadi lantaran perempuan cenderung memiliki lemak subkutan (subcutaneous fat) yang lebih tebal ketimbang laki-laki, sehingga ini berpotensi mengganggu kehilangan panas (heat loss) di malam hari. Selain itu, suhu inti tubuh wanita menurun lebih cepat pada malam hari ketimbang pria, membuat wanita terpapar termperatur lingkungan yang lebih tinggi saat mulai sleep onset.

Temuan lainnya adalah orang-orang dari iklim dingin kerap susah tidur saat mengunjungi negara beriklim tropis. Maka ditariklah kesimpulan bahwa penduduk negara tropis memang akrab dengan masalah terlelap.

Riset Nick Obredovich dkk sendiri mengingatkan pada apa yang sudah dikemukakan oleh Kazue Okamoto-Mizuno dan Koh Mizuno, dua peneliti dari Tohoku Fukushi University pada tahun 2012 lalu. 

Kazue-Koh menulis bahwa panas memengaruhi level slow wave sleep (SWS, tidur nyenyak) dan rapid eye movement (REM, tidur bermimpi). Sedangkan paparan dingin sama sekali tidak memengaruhi tahapan tidur. Dengan pertimbangan bahwa temperatur 32°C dengan kelembaban relatif 80% hanya mempengaruhi SWS tanpa mempengaruhi REM. Mereka juga menemukan suhu panas memengaruhi SWS terlebih dahulu, sedangkan REM mungkin jarang terganggu dalam kehidupan nyata. 

Kendati demikian, ada variabel yang jadi pembeda. Kazue dan Koh menulis bahwa masalah suhu panas diatasi oleh orang-orang dengan pendingin ruangan (air conditioner). Namun, selama terpapar dingin, respons otonom jantung si pengguna AC dapat terpengaruh tanpa memengaruhi tahap tidur dan sensasi subjektif. Dengan kata lain, tubuh tak mengalami termoregulasi.

AC diyakini memiliki peran yang lebih besar di negara maju. Tapi, beberapa pihak menyebut penelitian yang dilakukan Nick Obradovich dkk masih punya kelemahan sebab data milik Harvard University yang mereka gunakan tak menjelaskan kepemilikan AC di antara subjek. Terlebih mereka yang dipasangi alat sleep trackers ternyata berasal dari kelas menengah ke atas.

Di sisi lain, Nick Obradovich mengakui dampak meningkatnya suhu global dan berkurangnya waktu tidur tidak merata di seluruh dunia. Ia menulis bahwa harus ada penelitian baru yang menyasar negara-negara dengan populasi yang lebih rentan, terutama yang tinggal di wilayah terpanas dan berstatus low income seperti Burkina Faso, Burundi, Afghanistan dan lain-lain. Belum lagi menyoal suhu suboptimal seluruh negara di dunia yang berbeda satu sama lain.

Kendati demikian, temuan ini juga menjadi alarm tanda bahaya bagi para psikiater. Berkurangnya waktu tidur dalam jangka panjang dapat meningkatkan respons stres, mengganggu proses konsolidasi memori, dan memengaruhi sistem kekebalan tubuh. Waktu tidur yang cukup penting untuk kesehatan. Dampaknya dalam kesehatan mental adalah memicu episode manik pada penderita gangguan bipolar, dan suasana hati para penderita depresi bakal kian buruk.


Referensi :
  • Obradovich, Nick et. al. Rising temperatures erode human sleep globally. One Earth, 5, 534-549.
  • Okamoto-Mizuno, K., & Mizuno, K. (2012). Effects of thermal environment on sleep and circadian rhythm. Journal of physiological anthropology, 31(1), 14.
  • Fowler James H. (2017). Nighttime temperature and human sleep loss in a changing climate. Science Advances, 3, e1601555-.
  • Gold, A. K., & Sylvia, L. G. (2016). The role of sleep in bipolar disorder. Nature and science of sleep, 8, 207–214.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaEfektivitas dan Keamanan Food Appetizer pada Anak

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar