sejawat indonesia

Inovasi Terapi Kombinasi pada Creeping Eruption

Cuteneous larva migrans (CLM) atau creeping eruption adalah erupsi di kulit berbentuk penjalaran serpiginosa, sebagai reaksi hipersensitivitas kulit terhadap invasi larva cacing tambang atau nematoda (roundworms) atau produknya. Istilah creeping eruption ini digunakan pada kelainan kulit yang merupakan peradangan berbentuk linier atau berkelok-kelok, menonjol dan progresif yang disebabkan oleh invasi larva cacing tambang yang berasal dari feses anjing dan kucing. Meskipun cuteneous larva migrans (CLM) merupakan penyebab paling umum menyebabkan creeping eruption, secara teknis CLM mengacu pada gejala dimana larva nematoda hewan apapun menginfeksi manusia dan dimana manusia yang terinfeksi adalah host terakhir. Cutaneous larva migrans disebabkan oleh larva cacing tambang yang menginfeksi anjing dan kucing domestik, paling sering Ancylostoma braziliense atau A. caninum dan kadang-kadang Uncinaria stenocephala atau Bunostomum phlebotomim. Meskipun cutaneous larva migrans memiliki penyebaran di seluruh dunia distribusi, paling sering terlihat di iklim panas, seperti tenggara AS, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika, dan daerah tropis lainnya termasuk Indonesia. Pada invasi yang disebabkan ini tidak terdapat perbedaan ras, usia, maupun jenis kelamin. Cutaneous larva migrans (CLM) paling sering dilaporkan oleh pelancong yang kembali ke daerah tropis yang pernah terpapar tanah dan/atau pasir di tempat-tempat dimana anjing dan kucing kemungkinan besar terkena cacing tambang. Namun, CLM kemungkinan besar menyebabkan masalah yang signifikan bagi orang-orang yang tinggal di bagian dunia yang kurang berkembang, meskipun penyakit ini tidak dilaporkan secara teratur. Di daerah yang kurang berkembang di dunia, anjing dan kucing sering berkeliaran bebas dan memiliki tingkat infeksi cacing tambang yang tinggi yang menyebabkan kontaminasi pasir dan tanah yang meluas. Dalam survei penduduk pedesaan di Brasil, prevalensi CLM selama musim hujan adalah 14,9% di antara anak-anak di bawah 5 tahun dan 0,7% di antara orang dewasa berusia 20 tahun ke atas. Di Indonesia, prevalensi infeksi cacing tambang sekiar 30-50% dimana pada daerah perkebunan memiliki prevalensi yang lebih tinggi. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat (93,1%) dan di perkebunan kopi di Jawa Timur (80,69%). Tingginya prevalensi tersebut karena kebanyakan para pekerja bekerja tanpa menggunakan alas kaki dan terus menerus terpapar oleh tanah yang telah terkontaminasi dengan larva cacing tersebut. Diagnosis cutaneous larva migrans dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis namun tidak memerlukan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan riwayat melakukan perjalanan ke daerah endemik, berjalan di pantai tanpa alas kaki, berjemur di pantai tanpa alas matras, atau pekerjaan pasien yang sering berkontak dengan tanah. Kemudian akan timbul papul dan diikuti bentuk khas, yakni lesi berbentuk linear atau terowongan (burrow), serpiginosa yang di sertai gatal dan panas. Lesi umumnya ditemukan pada daerah tungkai bawah. Pada pemeriksaan fisis, yang paling sering ditemukan pada awal infeksi adalah papul kecil kemerahan mejadi lesi terowongan serpiginosa dengan ukuran 2-3 mm dan dapat berwarna kemerahan serta terasa sangat gatal atau lesi seperti benang yang lurus atau berkelok – kelok, menimbul, dan terdapat papul atau vesikel diatasnya. Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan tes darah untuk melihat peningkatan kadar eosinofil dan peningkatan kadar serum IgE. Tetapi tidak dapat secara spesifik mendiagnosis penyakit cutaneous larva migrans. Selain itu, keadaan eosinofilia hanya ditemukan pada kurang dari 40% kasus saja. Dapat juga dilakukan pemeriksaam dermoskopi, terlihat struktur oval dengan pinggiran berwarna kuning dan pusat cokelat, yang mewakili tubuh dari larva. Pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis, namun tidak sering dilakukan. Pemeriksaan biopsi pada kulit dapat juga dilakukan untuk melihat keberadaan larva tepat di atas dermoepidermal junction atau di epidermis superfisial namun pemeriksaan ini dianggap tidak sensitif dan tidak diperlukan untuk mengonfirmasi diagnosis klinis. Tatalaksana cutaneous larva migrans yang lazim sampai saat ini masih digunakan bergantung pada derajat morbiditas yang disebabkan oleh infeksi.  Seperti: (1) Salep albendazol 10% dioleskan 3 kali sehari selama 7-10 hari, albendazol topikal 10% dioleskan tiga kali hari selama 7 sampai 10 hari dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan lesi lokal yang antihelmintik oral dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi . Ini adalah alternatif untuk anak kecil dan ibu hamil. Efek samping termasuk dermatitis kontak iritan dan ulserasi kulit. (2) Salep thiabendazol, jika infeksi hanya terjadi lokal maka dapat diberikan terlebih dahulu salep thiabendazol 10 – 15% dioleskan 2 sampai 3 kali sehari selama 5-10 hari. Dapat diberikan pada anak berusia kurang dari 2 tahun atau berat badan kurang dari 15 kg. Pemberian thiabendazole menunjukkan perbaikan gejala pruritus dalam waktu 48 jam setelah pengobatan dimulai dan angka kesembuhan mencapai 98%. (3) Untuk terapi sistemik seperti albendazol sejak tahun 1982, albendazol telah digunakan sebagai terapi dari cutaneous larva migrans. Dosis albendazol yaitu 400 mg untuk anak usia >2 tahun atau >10 kg selama 3-7 hari berturut-turut. Albendazole dapat membunuh semua tahap cutaneous larva migrans meskipun mekanismenya belum diketahui namun diperkirakan terkait penghambatan atau pengurangan pada ambilan glukosa, sehingga dapat menurunkan atau menghentikan produksi adenosine trifosfat (ATP). Albendazol oral efektif digunakan pada lesi multiple atau lesi yang bersifat difus, dan juga dapat digunakan oleh ibu hamil pada trimester II dan III. Respon terapi berupa hilangnya pruritus pada hari ke-3 sampai 5 dan lesi menghilang pada hari ke- 6 sampai 7 setelah pengobatan dimulai. Selain itu, efek samping termasuk mual, muntah, sakit perut, pusing, sakit kepala, penipisan rambut atau rambut rontok, demam, ruam, peningkatan tekanan intrakranial, penekanan sumsum tulang, dan disfungsi hati. Albendazole oral dikontraindikasikan selama kehamilan dan pada mereka dengan penyakit hematologi atau hati. Obat harus dihindari oleh ibu menyusui. Selanjutnya dapat pula digunakan thiabendazol oral dengan dosis 50 mg/kg/hari selama 2 sampai 4 hari. Dalam suatu penelitian, pasien yang diobati dengan thiabendazol merespon dalam minggu pertama dibandingkan dengan kelompok plasebo dalam mencapai perbaikan. Thiabendazole kurang efektif apabila diberikan dalam dosis tunggal. Efek samping dalam pemberian thiabendazole berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala. Namun, ada beberapa kondisi CLM yang tidak dapat diselesaikan dengan terapi topical atau sistemik saja hingga disebut sebagai CLM resisten obat. Penelitian terbaru menyajikan salah satu pengobatan CML yang tidak dapat diselesaikan dengan pengobatan sistemik dan perawatan topical adalah terapi kombinasi cryotherapy dengan prinsip bedah beku menggunakan nitrogen cair atau etil klorida dan albendazol. Efek samping yang dapat muncul termasuk nyeri saat penyemprotan, sehingga utuk mengurangi rasa nyeri dapat digunakan topical anastesi. Selanjutnya, luka erosive setelah penyemprotan dapat dilakukan peawat pasca tindakan seperti pada manejmen luka pada umunya. Studi yang dilakukan oleh Kapadia etc. pada pasien CLM menunjukkan hasil dimana 9 orang terapi albendazol tunggal mengalami peningkatan gejala klini sebesar 78 %, sedangakan 9 orang lainnya yang menerima terapi kombinasi albendazol oral kombinasi dengan cryosurgery (nitrogen cair) mengalami kesembuhan total 100%. Pada dasarnya prinsip terapi CLM adalh dengan menggunakan anti-cacing seperti albendazole, tatapi tidak dapat memberikan kesembuhan maksimal. Dengan menggunakan kombinasi modalitas cryosurgery dapat dianggap sebagai invosi alternative dalam kasus resisten CLM.
Referensi:
  1. Khan AS, Al‐Awadi A, Willis FB, Pujalte GG. Cutaneous larva migrans in the city. Clinical Case Reports. 2020;8(12):3162-3.
  2. Yanuar F, Febrianto B, Diana E, Rahma A, Kariosentono H, Yudhistira R. The use of Cryotherapy and Albendazole as a Beneficial Cutaneous Larva Migrans Therapy: A Case Report. Asian Journal of Research in Dermatological Science. 2021;4:1-7.
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaPenggunaan Biomarker sebagai Faktor Prognostik pada Pasien Pediatri dengan Sepsis

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar