Kapan Waktu yang Tepat untuk Keluar dari Tempat Kerja yang Toksik?
Tak dapat dimungkiri, Dokter adalah salah satu profesi dengan ketangguhan yang luar biasa, baik secara fisik maupun mental. Diuji dan dibentuk selama bertahun-tahun melalui studi dan praktik pelayanan kesehatan.
Namun, setangguh apapun seorang dokter, itu seringkali tidak menghindarkannya dari toksisitas di tempat kerja. Padahal, tempat kerja yang toksik adalah salah satu pemicu tingkat burn-out dan level stres seorang dokter.
Apa yang memaksa seorang dokter untuk tetap bertahan di lingkungan kerja yang toksik?
Sebelum menjawabnya, kita harus memahami dulu tanda-tanda tempat kerja seperti itu biar bisa mengembangkan strategi agar lebih dapat diterima dan mempertahankan pekerjaan jangka panjang.
Para ahli telah menawarkan pandangan mereka tentang apa sebenarnya ciri lingkungan kerja (perawatan kesehatan) yang toksik. Berikut beberapa di antaranya:
- Terlalu banyak birokrasi dan tidak cukup fleksibilitas
- Terlalu banyak tugas biasa/hafalan (misalnya, input data yang berlebihan ke EHR) Berjam-jam
- Jumlah pasien yang tinggi (misalnya, memeriksa 20+ pasien klinik dalam satu pagi)
- Merasa lelah, sulit tidur, sakit kepala, atau nyeri sendi yang disebabkan oleh tempat kerja
- Mikroagresi (bullying/diskriminasi tidak langsung) yang melimpah di tempat kerja
- Kurangnya motivasi, kesempatan untuk tumbuh, penghargaan terhadap pekerjaan
- Ketidakseimbangan kehidupan kerja mengganggu kualitas hidup
- Kolega, eksekutif, atau administrator yang ganas
- Manajemen tidak mengatasi masalah dan hanya mengganti karyawan yang tidak puas
Psikiater Robert Emmons, MD, menulis dalam Journal of American Physicians and Surgeons, memberi karakteristik lain, seperti:
- Pengawasan yang menguntungkan organisasi dan bukan pasien
- Hukuman oleh administrasi karena menolak terlibat dalam praktik-praktik yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kita
- Sertifikasi dan pengujian yang berlebihan
- Mengkambinghitamkan dokter untuk masalah organisasi
- Bayaran yang lebih rendah dari yang diharapkan atau di bawah nilai wajar
Lalu, setelah mengetahui karakteristik tempat kerja yang merugikan tersebut, mengapa seorang dokter cenderung untuk bertahan?
Baca Juga:
- Mungkinkah Seorang Dokter Memiliki Work-Life Balance?
- Langkah-Langkah yang Ditempuh Jika Melakukan Medical Error
Kemungkinan pertama adalah Learned Helplesness, satu kondisi di mana seseorang tidak mampu mengontrol sesuatu yang merugikannya, lalu memilih untuk pasrah dan berusaha terbiasa.
Kedua, dokter terbiasa memaklumi dan tidak mengeluh, perilaku yang dipelajari selama sekolah kedokteran dan residensi. Jika seorang dokter mengeluh dan menolak untuk mengikuti prosedur, ini dapat dianggap sebagai pengkhianatan oleh administrator.
Apa yang bisa dilakukan?
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dokter untuk membantu menyelesaikan masalah di tempat kerja dan menghindari kelelahan:
- Menetapkan batasan dan mengatakan "tidak" (misalnya, menolak kunjungan sakit mendadak dari pasien yang tidak terjadwal saat klinik penuh sesak)
- Berhenti memeriksa email kantor pada hari libur
- Menegosiasikan pembayaran tambahan untuk tugas-tugas administratif
- Membicarakannya dengan jaringan teman sejawat yang mendukung
- Memanfaatkan program pelatihan karyawan (jika tersedia)
- Menetapkan rencana lain jika keadaan tidak kunjung membaik
Perhatikan bahwa pengurangan beban kerja atau kenaikan gaji mungkin tidak selalu menjadi jawaban yang tepat untuk setiap dokter. Kadang-kadang, memiliki atasan yang bisa mendengarkan dan menanggapi kekhawatiran dokter dapat membantu.
Tempat kerja toksik adalah kenyataan yang terlalu umum dalam kedokteran. Penting untuk mengidentifikasi situasi ini berdasarkan tanda-tandanya dan mengambil langkah-langkah untuk meredakan stres. Terkadang, itu bisa saja berarti mencari tempat kerja yang baru.
Namun demikian, ada strategi yang dapat digunakan untuk memperbaiki situasi kerja Anda sebelum Anda mempertimbangkan untuk berhenti dan bekerja di tempat lain.
Beberapa tips dari publikasi Managed Healthcare Executive, tentang cara mengurangi toksisitas tempat kerja dapat diterapkan. Jika Anda memegang peran kepemimpinan dalam organisasi layanan kesehatan, pertimbangkan panduan berikut:
- Identifikasi masalahnya—cari tahu apa yang menyebabkan toksisitas
- Mintalah saran atau feedback dari rekan Anda tentang apa yang dapat diperbaiki
- Tetapkan tujuan yang jelas, libatkan karyawan, dan pastikan mereka merasa aman dan nyaman dalam berbagi ide
- Tetap hargai dan konstruktif dengan feedback yang didapatkan
- Mendisiplinkan "antagonis", tidak peduli apa level mereka dalam organisasi
Jika Sebagai karyawan, beberapa langkah berikut ini patut dicoba:
- Temukan rekan kerja yang suportif dan simpatik untuk curhat
- Temukan mentor yang dapat membantu membimbing Anda
- Terlibat dalam latihan kesadaran seperti meditasi terbimbing Temukan hobi yang menyenangkan untuk mengalihkan pikiran Anda dari berbagai hal
- Tetapkan batasan terhadap panggilan telepon dan email yang tidak mendesak di luar jam kerja
- Terakhir, jika yang buruk malah menjadi lebih buruk, Anda tahu apa yang harus dilakukan.
Referensi:
- Sull D, Sull C, Zweig B. Toxic Culture Is Driving the Great Resignation. MIT Sloan Management Review. January 11, 2022.
- Rasool SF, Wang M, Tang M, et al. How toxic workplace environment effects the employee engagement: the mediating role of organizational support and employee wellbeing. Int J Environ Res Public Health. 2021;18(5):2294.
- Wade E. Are You in a Toxic Healthcare Workplace? 5 Signs to Look For. Barton Associates. February 9, 2017.
- Walker T. 15 Ways to Overcome a Toxic Healthcare Work Environment. Managed HealthcareExecutive. July 29, 2019.
- Castrillon C. How to Cope With a Toxic Work Environment. Forbes. March 20, 2022.
- Turgeon C. Why do physicians stay in toxic work environments? KevinMD.com. February 4, 2022.
- 8 signs of a toxic work environment. Cleveland Clinic. January 12, 2022.
Log in untuk komentar