sejawat indonesia

Masalah Gangguan Kejiwaan Bayangi Hidup para Kardiologis

Masalah kesehatan mental tenaga medis kembali menjadi bahan perbincangan. Ini terjadi selepas terbitnya artikel ilmiah berjudul Prevalence and Professional Impact of Mental Health Conditions Among Cardiologists di Journal of the American College of Cardiology, 28 Desember 2022 lalu.

Laporan tersebut menyebut bahwa berdasarkan survei internasional oleh American College of Cardiology yang melibatkan 5.931 kardiologis di seluruh dunia, didapatkan fakta bahwa seperempat di antaramya mengaku sedang mengalami gangguan psikologis dan masalah mental. Mulai dari serangan kecemasan, kemarahan tiba-tiba, depresi berat, hingga gangguan kejiwaan lainnya.

Masalah kejiwaan yang dialami kardiologis ternyata sama sekali tak berhubungan dengan imbas pandemi COVID-19 pada tenaga medis. Survei tersebut digelar dari 13 September 2019 hingga 22 Oktober 2019, sekitar dua bulan sebelum kasus pertama infeksi virus SARS-CoV-19 dilaporkan di Cina. Meski disebut terbatas, para peneliti menyebutnya sangat relevan.

Lebih jauh, masalah kejiwaan ternyata bervariasi dalam prevalensi berdasarkan subspesialisasi kardiologi dan durasi lama bekerja seseorang, lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki, dan berkaitan erat dengan kondisi lingkungan kerja yang tidak bersahabat (toxic work environment). Turut pula variabel lain yakni tekanan yang mengikuti kehidupan profesional seperti relasi dengan rekan kerja dan upah.

Studi yang dilakukan oleh Garima Sharma M.D. dan 14 rekannya itu menemukan bahwa masalah kesehatan mental dilaporkan oleh sekitar 42% responden. Alasannya adalah lingkungan kerja yang tidak bersahabat, yang didefinisikan sebagai pengalaman kerja yang sarat diskriminasi berdasarkan usia, jenis kelamin, agama, ras atau etnis, dan terjadi pelecehan seksual atau tekanan emosional. Sebaliknya, prevalensi kekhawatiran ini hanya mencapai 17% pada para kardiologis yang tidak memiliki kondisi tempat kerja seperti itu.


Baca Juga :


Dilansir oleh Medscape pada hari Kamis (5/1/2023), studi ini menunjukkan tumpang tindih yang substansial antara ahli jantung yang melaporkan persaingan/rivalitas tidak sehat di tempat kerja dan mereka yang memiliki masalah kesehatan mental.

Menurut Garima Sharma, M.D., dosen Fakultas Kedokteran Universitas Johns Hopkins Baltimore, negara bagian Maryland, Amerika Serikat, ini adalah temuan yang signifikan. Tak cuma tentang rapuhnya kesehatan mental seorang tenaga medis, tapi juga memberi gambaran utuh terkait persaingan di dunia medis.

Namun, masih ada temuan lain yang membuat prihatin. Tercatat hanya 31% laki-laki dan 42% ahli jantung perempuan (P < 0,001) yang melaporkan masalah kesehatan mental serta telah mencari bantuan dan pendampingan profesional, baik di dalam maupun di luar institusi mereka sendiri.

Menurut Sharma, berarti ada banyak kardiologis yang menyimpan penderitaan mereka diam-diam, alih-alih mencari bantuan.

Lebih rinci, 1 dari 4 ahli jantung mengalami  masalah kejiwaan, termasuk tekanan psikologis, atau gangguan lain yang bersifat akut. Ada variasi geografis yang signifikan pada masalah kejiwaan ini, dengan prevalensi tertinggi di Amerika Selatan (39,3%). Prevalensi terendah sendiri berada di Asia yakni mencapai 20,1%.

Selain itu, kardiologis perempuan juga lebih mungkin mempertimbangkan bunuh diri dalam 12 bulan terakhir saat mengisi survei (3,8% vs 2,3%) ketimbang laki-laki. Tapi juga juga lebih mungkin untuk mencari bantuan profesional (42,3% vs 31,1%) dibandingkan laki-laki.

Hampir setengah dari ahli jantung yang melaporkan gangguan kejiwaan mereka (44%) mengaku merasa tidak puas pada setidaknya satu hal dalam karier profesional mereka. Mulai dari kurangnya apresiasi atas kinerja, diperlakukan dengan tidak adil, dan kompensasi kinerja yang dirasakan belum memadai.

Lebih jauh, Sharma menyebut bahwa temuan survei ini menunjukkan ada dua cara yang bisa digunakan oleh komunitas kardiologi untuk mengurangi hal-hal yang disinyalir sebagai penyebab utama masalah kesehatan mental.

Ia menyebut bahwa mengurangi persaingan dan rivalitas tak sehat di tempat kerja bisa jadi langkah pertama. Lalu kemudian menjadikan kesehatan mental sebagai prioritas dalam karier. Ini disebut untuk mengurangi dampak lain dari faktor usia, jenis kelamin, ras, etnis atau orientasi seksual.

Sharma sepakat bahwa masalah ini memang jarang didiskusikan secara terbuka oleh sesama ahli jantung. Alhasil, ia berharap hasil survei ini bisa menjadi jembatan menuju kampanye kesadaran kesehatan mental para ahli jantung. Sebab, perkara tersebut berdampak langsung pada keperawatan pasien.

Berbicara kepada Medscape, profesor Penyakit Dalam di Ohio State University Laxmi S. Mehta, M.D., menyebut bahwa survei yang dilakukan oleh Sharma beserta kolega tak cuma menjadi gambaran besar tentang kondisi para ahli jantung, tapi juga di dunia kedokteran secara umum.

Bahkan, ini pun diakuinya sudah terlihat pada para mahasiswa kedokteran. Dengan penjelasan rinci tentang prevalensi serta prediktor, diharapkan membuka seluas-luasnya bahasan mental sejak para dokter menempuh pendidikan.

Senada dengan Sharma, Mehta menyebut bahwa perbaikan lingkungan kerja sangat penting untuk mengurangi faktor penyebab penyakit mental. Lebih jauh menurut mantan ketua Workgroup on Clinician Well-Being dari American College of Cardiology tersebut, semua pihak harus bekerja untuk mengurangi stigma yang terkait dengan upaya seseorang dengan masalah kejiwaan mencari pengobatan, serta mengurangi hambatan dalam penerimaannya.


Referensi :

  • Sharma, G., Rao, S. J., Douglas, P. S., Rzeszut, A., Itchhaporia, D., Wood, M. J., Nasir, K., Blumenthal, R. S., Poppas, A., Kuvin, J., Miller, A. P., Mehran, R., Valentine, M., Summers, R. F., & Mehta, L. S. (2022). Prevalence and professional impact of mental health conditions among cardiologists. Journal of the American College of Cardiology. 
  • Stiles, S. (2023, January 5). One in four cardiologists report mental health issues. Medscape. Retrieved January 6, 2023, from https://www.medscape.com/viewarticle/986545 
  • Jilani, S. (2022, March 30). Why so many doctors treat their mental health in secret. The New York Times. Retrieved January 6, 2023, from https://www.nytimes.com/2022/03/30/opinion/doctors-mental-health-stigma.html 
Tags :
Artikel sebelumnya5 Vitamin Terbaik Penghilang Stres
Artikel selanjutnyaShaken Baby Syndrome: Gejala dan Dampaknya pada Bayi

Event Mendatang

Komentar (0)
Komentar

Log in untuk komentar